Adakah Jenis Riba Selain Dalam Komoditas Ekonomi?
Dewasa ini acap kali kita temukan penggunaan riba sebagai stereotipe bagi dunia perbankan konvensional. Penggunaan istilah tersebut biasanya digunakan berbarengan dengan himbauan untuk menghindari pemanfaatan bunga di bank konvensional. Hal itu terjadi karena adanya keterangan yang menyamakan antara bunga dengan riba, merujuk pada pengertiannya secara bahasa, yang berasal kata rabaa-yarbuu [ربا – يربو] yang bermakna kelebihan dan tambahan [الفضل والزيادة]. Adapun riba menurut istilah fuqaha’ ialah memberi tambahan pada hal-hal yang khusus.
Lantas, adakah unsur riba selain pada komoditas ekonomi?
Dalam beberapa riwayat, Rasulullah Saw menggunakan kata riba tidak pada tempatnya, namun sebagai kiasan dari perbuatan yang diharamkan. hal ini dilakukan karena adanya kesamaan antara riba dengan tindakan yang Rasulullah Saw kiaskan dengan riba tersebut. Secara lingkup makna, Rasulullah Saw menunjukkan bahwa riba tidak hanya terbatas pada komoditas ekonomi saja, namun juga terdapat dalam hal-hal lainnya yang bahkan tidak berhubungan dengan persoalan ekonomi.
Salah satu diantaranya adalah Hadis riwayat Abu Daud, dari Sa’id ibn Zaid Ra Nabi Muhammad Saw bersabda:
إن من أربى الربا الاستطالة في عرض المسلم بغير حق
“Sesungguhnya seburuk-buruk riba adalah merusak kehormatan orang lain dengan cara yang tidak dibenarkan”.
Dalam hadis tersebut, kata riba menjadi majas dari kata “ghibah”, yaitu menggunjing orang lain. Al-Baidlowi menjelaskan, titik persamaan antara riba dengan menggunjing ada pada justifikasi yang berlebihan maupun mencela kekurangan orang lain. Bedanya, jika dalam komoditas ekonomi yang ditambah adalah keuntungan pribadi, maka dalam menggunjing orang lain yang bertambah adalah kekurangan orang lain yang dibuat-buat.
Jika dalam komoditas ekonomi yang berkurang adalah harta orang lain, maka dalam menggunjing yang berkurang adalah kehormatan orang lain. Tak heran, apabila secara tegas Rasulullah Saw. menganggap bahwa menggunjing orang lain sebagai riba terburuk.
Meski demikian, riba jenis ini lebih banyak peminatnya. Padahal sudah jelas disebutkan bahwa ghibah termasuk kategori riba yang paling buruk, dan keharaman riba sudah jelas. Selain dari hadis, Alquran juga menyebutkan keharaman ghibah secara tegas, di dalam surat al-Hujarat ayat 12 Allah Swt. berfiman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
“Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu untuk menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat, Maha Penyayang”
Keharaman ghibah yang disebutkan dalam ayat tersebut ditunjukkan secara jelas dengan menggunakan fi’il nahi. Selain itu Allah Swt. menyamakan perbuatan ghibah dengan memakan daging bangka, maka sebagaimana Allah mengharamkan daging bangkai, Allah juga mengharamkan menjelekkan harga diri sesama orang lain.
Selain riwayat di atas, kalimat riba juga disebut bukan dalam komoditas ekonomi, melainkan pada perbuatan zina, yaitu seorang anak yang menikahi ibunya sendiri yang disebutkan dalam hadis riwaya Ibnu Majah, dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw bersabda:
الربا سبعون حوبا، أيسرها أن ينكح الرجل أمه.
“Riba itu mempunyai tujuh puluh tingkatan, yang paling ringan adalah seperti seseorang yang berzina dengan ibunya”
Dalam riwayat lain milik Imam al-Bazzar, dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw bersabda:
الربا سبعون حوبا فأيسره – أو أيسرها – مثل الذي يقع على أمه، وإن أربا الربا عرض المسلم.
Selanjutnya adalah riwayat Abu Daud, dari Abu Umamah RA., Nabi Muhammad Saw bersabda:
من شفع لأخيه بشفاعة، فأهدى له هدية عليها فقبلها، فقد أتى بابا عظيما من أبواب الربا.
“Barangsiapa memohonkan untuk saudaranya dengan sebuah permohonan, kemudian saudaranya tersebut memberikan hadiah kepadanya lantaran permohonan tersebut lalu ia menerimanya, maka sungguh ia telah mendatangi salah satu pintu besar di antara pintu-pintu riba”
Sebagaimana yang disebutkan hadis di atas bahwa seseorang yang dimintai pertolongan kemudian ia menerima hadiah atas pertolongan tersebutmaka ia telah melakukan perbuatan riba. Hal tersebut dikarenakanperbuatan menolong yang seharusnya dilakukan semata-mata karena mencari Ridha Allah dan mendapat pahala dari-Nya namun ia mencari tambahan dengan menerima hadiah tersebut.
Wallahu a’lam bishowab.