Air Mata di Tahun 11 Hijriyah
Ketika kaum muslimin meraih kemenangan di perang khaibar pada 8 Hijriyah, seorang wanita Yahudi datang kepada Rasulullah Saw untuk memberikan hadiah daging domba bakar yang telah ditaburi racun. Ia hendak membalas dendam kepada Rasulullah Saw atas kematian ayah, paman, suami dan saudaranya pada perang khaibar. Ia berkata “Apabila Muhammad benar-benar seorang nabi, maka tentu saja tuhannya akan menolongnya”.
Rasulullah Saw memakan daging domba tersebut bersama Basyar bin Barra, setelah memakannya Basyar bin Barra meninggal dunia, sedangkan Rasulullah Saw diberikan mukjizat oleh Allah hingga beliau selamat.
Empat tahun berlalu setelah kemenangan perang khaibar. Suatu ketika, Rasulullah Saw dilanda sakit kepala yang amat dahsyat, namun beliau tetap berusaha mengimami shalat magrib dengan membaca surat Al-Mursalat. Seusai shalat, Rasulullah Saw demam hingga tak mampu lagi mengimami shalat, beliau pun berpesan agar Abu Bakar menggantikannya di shalat selanjutnya.
Ketika itu Rasulullah Saw beristirahat di rumah Maimunah, namun beliau selalu menanyakan kapan waktunya tinggal di rumah Aisyah. Mengerti maksud Rasulullah Saw, Maimunah bersama istri-istri Rasul yang lain kemudian menyerahkan waktu mereka kepada Aisyah. Maka, selama kondisi Rasulullah Saw buruk, beliau tinggal di kediaman Aisyah.
Hari demi hari kondisi Rasulullah Saw semakin memburuk, beliau hanya terkulai lemah di rumah Aisyah, selain sakit yang dideritanya, efek racun dalam daging domba yang diberikan wanita Yahudi empat tahun silam belum hilang dan rasa sakit dari racun itu seakan-bisa membuat urat leher putus.
Berhari-hari kondisi Rasulullah Saw belum juga membaik, para sahabat begitu rindu akan nasihat dan keberadaan Rasulullah Saw di tengah-tengah mereka. Maka, Rasulullah Saw meminta untuk dimandikan dengan air dari tujuh bejana yang masih ditutup, beliau berharap kondisinya bisa membaik sehingga mampu datang kepada umatnya. Setelah mandi, beliau meminta Abbas bin Abdul Muthalib dan Ali bin Abi Thalib untuk memapahnya ke masjid, lalu Rasulullah Saw shalat berjamaah di sana.
Seusai shalat, Rasulullah Saw naik ke mimbar dan berkhutbah, beliau berkata “Ada seorang hamba yang diberikan pilihan oleh Allah, yaitu antara kehidupan dunia dan akhirat, lalu hamba itu memilih akhirat, ia ingin bertemu dengan kekasihnya, Allah SWT”. Mendengar ucapan beliau, Abu Bakar menyadari bahwa yang dibicarakan Rasulullah Saw adalah dirinya sendiri, dan ucapannya menandakan bahwa ajal Rasulullah Saw sudah semakin dekat, Abu Bakar tak kuasa menahan air matanya.
Senin di Rabiul Awwal; 11 Hijriyah, sakit yang diderita Rasulullah Saw semakin parah dan kondisinya semakin kritis, lalu para sahabat berkumpul di rumah Aisyah. Fathimah tampak amat bersedih seraya berkata “Alangkah parahnya sakit yang diderita engkau wahai ayahku”. Rasulullah Saw kemudian memandang Fathimah seraya berkata “Wahai anakku, setelah hari ini, ayahmu tidak akan pernah sakit lagi”.
Kepala Rasulullah Saw berada di pangkuan Asiyah tatkala ajalnya semakin dekat. Beliau jatuh pingsan, saat tersadar beliau mengalihkan pandangannya ke atap sambil mengucapkan “اللَّهُمَّ الرَّفِيقَ الْأَعْلَى” (Ya Allah, kekasih yang MahaTinggi)
Mendengar ucapan tersebut, Aisyah teringat akan perkataan Rasulullah Saw bahwa seorang nabi tidak akan diwafatkan kecuali setelah diperlihatkan kepadanya kedudukannya di surga nanti, kemudian ia dipersilahkan untuk memilih antara dunia atau akhirat. Aisyah menyadari saat itu suami tercintanya sedang diberikan pilihan. Dari ucapannya, beliau telah memilih untuk bertemu dengan kekasihnya dan tidak memilih hidup lebih lama di dunia. Aisyah menahan tangisnya sambil menyandarkan tubuh lemah Rasulullah Saw ke dadanya.
Abdullah bin Abu Bakar masuk ke rumah Aisyah sambil membawa siwak. Rasulullah Saw pun memperhatikan Abdullah, Aisyah tahu bahwa Rasulullah Saw sangat suka bersiwak, “Maukah aku ambilkan siwak untukmu Ya Rasulallah? Ucap Aisyah, Rasulullah Saw mengangguk, namun ternyata siwak itu terlalu kasar, Aisyah pun melembutkan siwak itu dengan menggigit-gigitnya lalu memberikannya lagi kepada Rasulullah Saw. Kemudian beliau bersiwak dengan sebaik-baiknya.
Setelah itu Rasulullah Saw memasukkan tangannya ke dalam sebuah baskom berisi air yang berada di sampingnya lalu mengusapkan wajahnya dengan air seraya berkata dengan suara yang amat parau “Laa ilaaha illa Allah, sesungguhnya ada sekarat dalam kematian” beliau mengangkat tangannya sambil berdoa “Fii rofiiqil A’la”.
Tiba-tiba Aisyah merasakan kepala Rasulullah Saw memberat, urat-uratnya tegang, peluhnya mengucur deras, dan nafasnya sesak, beliau hendak mengembalikan siwak itu kepada Aisyah, namun saat menjulurkan tangannya, siwak itu terjatuh; tangan dan tubuh Rasulullah Saw melemas. Malaikat maut telah mencabut nyawa kekasih Allah yang amat dicintai, seketika wangi harum menyebar di ruangan itu, Rasulullah Saw menghembuskan nafas terakhirnya di pelukan Aisyah, di antara dagu dan kerongkongannya.
Aisyah kemudian membaringkan jasad mulia itu sambil menahan tangisnya. Dengan seketika, suara isak tangis pecah di ruangan tersebut, Fatimah menangis seraya berkata “Wahai ayahku yang telah memenuhi panggilan Rabbnya, wahai ayahku yang surga firdaus adalah tempat kembalinya.”
Kabar mengenai kematian Rasulullah Saw menyebar dengan cepat ke setiap penjuru, Abu Bakar yang sedang berada di rumah istrinya segera kembali ke Madinah dan menghampiri jasad Rasulullah Saw yang tertutup kain, dengan menguatkan hati, Abu Bakar membuka kain tersebut, memeluk sosok yang terbaring itu, kemudian menciumnya di antara kedua matanya seraya berkata “Wahai orang yang aku cintai melebihi ayah dan ibuku, sesungguhnya engkau telah merasakan kematian yang telah Allah tetapkan kepadamu, maka setelah ini kau tak akan merasakan kematian lagi”
Kabar kematian Rasulullah Saw membuat sekelompok pasukan yang ingin melaksanakan ekspedisi ke bagian utara mengurungkan misinya dan kembali ke Madinah, di antara pasukan tersebut ada Umar bin Khattab, ia tampak panik dan tidak mempercayai kabar tersebut, dengan wajah penuh amarah ia mengangkat pedangnya tinggi-tinggi seraya berkata “Siapa yang mengatakan Rasulullah Saw telah wafat? bohong!” Barangsiapa yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw telah wafat, maka akan aku tebas lehernya”.
Mendengar perkataan Umar, orang-orang kemudian terdiam, hingga datanglah Abu Bakar dan menyuruh Umar duduk, namun Umar menolak. Melihat laki-laki keturunan Quraisy yang sangat disegani itu datang, kaum muslimin pun memusatkan perhatian mereka kepada Abu Bakar. Abu Bakar menguatkan hatinya, lalu di depan umat muslim ia memuji Allah dan berkata “Wahai manusia, barangsiapa menyembah Muhammad maka sesungguhnya Muhammad telah wafat, dan barangsiapa menyembah Allah, maka sesungguhnya Allah itu MahaHidup dan tidak mati, kemudian ia membaca ayat :
وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَى عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ
Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika Dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, Maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi Balasan kepada orang-orang yang bersyukur. (QS Ali Imran :144)
Orang-orang bagaikan lupa ingatan hingga tak menyadari bahwa ayat itu telah diturunkan saat Abu Bakar membacakannya, kaum muslimin pun menangis dan menyadari bahwa Rasulullah Saw hanyalah manusia dan beliau pun wafat sebagaimana lainnya, kemudian mereka membaca ayat tersebut dan mengulangnya lagi. Mendengar ayat tersebut, Umar bin Khattab begitu terkejut hingga tubuhnya tersungkur ke tanah, kakinya gemetar dan tidak sanggup berdiri, ia begitu mencintai Rasulullah Saw, namun kini ia menyadari bahwa Rasulullah Saw telah meninggalkannya.
Di hari itu matahari tidak terlihat seperti biasanya, langit bagaikan tertutup jubah kelabu, sore itu tenggelamnya matahari seakan membawa seluruh cahaya di dunia. Dalam sekejap hati kaum muslimin bagaikan runtuh tertimpa langit, di hari Senin saat Rasulullah Saw dilahirkan; dunia bagaikan disinari cahaya yang begitu terang, namun Senin ini; saat ruh Rasulullah Saw berpisah dari jasadnya; dunia seakan menjadi gelap gulita.
Keesokan harinya, kaum muslimin menguatkan hati mereka untuk menguburkan Rasulullah Saw di tempat beliau diwafatkan, di kamar Aisyah. Beberapa sahabat yang bertugas menguburkan Rasulullah Saw memaksa tangan mereka menutupi jasad mulia itu dengan tanah, suasana kesedihan diselimuti oleh keheningan, hanya terdengar suara isak tangis dan dentingan cangkul yang mengadu-ngadu, umat muslim saling menasihati agar tidak menangis, namun mereka tak kuasa menahan air mata yang semakin menghambur keluar dari kelopak mata, perlahan jasad yang mulia itu tertutup rata dengan tanah.
Begitulah kisah seorang laki-laki yang begitu mulia, seorang figur yang begitu dicintai oleh umatnya, yang akhlak dan sifatnya menjadi contoh bagi seluruh umat manusia, yang kedatangannya menjadi pelita saat dunia gelap gulita, dialah Muhammad Ibnu Abdillah, Rasul utusan Allah, kekasih Allah.
Wallau a’lam bisshowaab