Oleh: Faris Maulana Akbar*

Angin gurun berhembus gersang, membawa hawa panas khas padang pasir. Langit biru sangat cerah menjadi singgasana matahari yang sedang terik, membuat para kafilah-kafilah yang sedang melakukan perjalanan melihat fatamorgana. Peluh membasahi pakaian mereka yang berlapis-lapis. Beberapa orang menjadikan surbannya menutupi wajah, menyisakan dua bolah mata untuk terus memperhatikan langkah dan arah agar tidak tersesat.

Jauh dari kota Madinah, tepatnya di Syam, tampak tiga orang sedang berkumpul. Dua diantaranya terlibat pembicaraan serius. Salah seorang dari keduanya berkulit hitam legam kekar. Yang satunya lagi berkulit putih bersih dan juga kekar. Seorang berkulit putih lainnya hanya diam mengikuti pembicaraan.

“Para penduduk Madinah menginginkanmu untuk melakukannya, Bilal,” ujar seorang lelaki putih berbadan kekar dan tampak berwibawa, yang tak lain adalah Sayyiduna Umar bin Khattab Ra.

Bilal bin Rabah, lelaki hitam bertubuh kekar itu tertegun setelah mendengarkan pernyataan Khalifah kedua pengganti Rasulullah Saw. tersebut. “Aku tak bisa, Umar. Aku tak akan mampu melakukannya lagi,” ujarnya dengan mata berkaca-kaca.

Umar diam sejenak. Ia sungguh mengerti mengapa Bilal mengatakan hal tersebut dan menolak ajakannya. Seorang lelaki putih bersamanya, Aslam al-Qursy Ra. juga tahu mengapa Bilal bersikap seperti itu.

“Tapi, ummat muslim di Madinah sedang membutuhkanmu, Bilal. Mereka ingin mendengarkanmu mengumandangkan adzan. Mereka rindu suaramu. Mereka rindu lantunan adzanmu, wahai muadzin Rasulullah!” Umar terus membujuk bekas budak yang dimerdekakan oleh Sayyidina Abu Bakar.

By Admin

Media Keilmuan dan Keislaman