Belajar Damai dari Dialog Asyariyah-Muktazilah
Suatu hari Qadhi ‘Abdu al-Jabbar pemuka tokoh Muktazilah bertemu dengan Abu Ishaq al-Isfarayini, tokoh Asyariyah. Keduanya memulai dialog tentang konsep perbuatan baik dan buruk bagi Allah.
Qadhi ‘Abdu al-Jabbar memulai percakapan, “Subhana Man Tanazzaha ‘an al-Fahsyaa”(Maha Suci Allah zat-Nya suci dari segala keburukan). Abu Ishaq al-Isfarayini menjawab, “Subhana Man La Yaqa’u fi Mulkihi illa Man Yasya” (Maha Suci Allah Zat yang hanya atas kehendak-Nya terjadi segala sesuatu di alam semesta).”
Kedua tokoh tersebut ingin menyampaikan gagasan kelompok masing-masing yang bersilang pendapat sangat tajam, tentang perilaku buruk manusia, apakah termasuk kehendak Allah atau bukan. Muktazilah (Qadhi ‘Abdu al-Jabbar) memiliki prinsip berdasarkan nalar bahwa perbuatan maksiat manusia tidak mungkin lahir dari kehendak Allah, karena jika itu terjadi berarti maksiat manusia adalah bentuk lain dari pada ketaatannya terhadap kehendak Allah. Aswaja (Abu Ishaq al-Isfarayini) berpendapat sebaliknya, bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam semesta tidak mungkin luput dari kehendak Allah.
Pada status ini, tidak perlu dilihat dan diperpanjang problem konsep baik dan buruk menurut Muktazilah dan Aswaja. Hal yang lebih penting dari dialog di atas adalah bagaimana kedua tokoh yang memiliki pendapat berbeda bisa mengungkapkan pendapatnya dengan sangat sejuk, bahkan bisa dikatakan bernilai ibadah karena diungkapkan dalam ungkapan tasbih.
Keduanya tidak menggunakan kata-kata kasar yang menyinggung apalagi penghinaan dan pendustaan untuk menjatuhkan lawan diskusinya. Hal itu tidak sejalan dengan etika dialog dalam ajaran Islam; serta tidak sejalan dengan kedewasaan pola pikir mereka yang sangat sudah matang, sehingga tidak mudah tersulut emosi atas perbedaan yang dihadapi.
Artikel ini pertama kali dimuat di Bincangsyariah.com