Citra “Muhammad” Dalam Al-Qur’an
Majalahnabawi.Com – Dulu, penulis bertanya-tanya, mengapa nama Nabi Muhammad saw sedikit sekali tersebut oleh al-Qur’an? Apalagi jika dibandingkan dengan nama nabi-nabi lain yang disebutkan oleh kitab suci umat Islam ini hingga lebih dari 100 kali.
Nama Nabi Musa as misalnya, Al-Quran menyebutnya hingga 136 kali. Sementara Nabi Ibrahim as tersebut hingga 69 kali. Kemudian di bawahnya ada Nabi Yusuf as yang tertulis sebanyak 58 kali dalam Al-Quran. Yang paling sedikit adalah Nabi Idris as, Nabi Zulkifli as, dan Nabi Ilyasa’ as yang hanya tersebut dua kali. Nama Nabi Muhammad saw tersebut lebih banyak dari mereka, yaitu 4 kali, sama dengan penyebutan nama Nabi Ayyub as dan Ilyas as.
Jika patokannya adalah penyebutan nama, maka memang sedikit kata “Muhammad” dalam Al-Quran. Namun, jika kita pahami bahwa Al-Quran diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, maka dari situ diketahui bahwa di setiap ayat yang tertulis dalam mushaf Al-Quran terdapat sosok Nabi Muhammad saw yang menerimanya dan menyampaikannya kepada para sahabat.
Ayat-ayat Al-Quran bak “dialog” antara Allah SWT dan Nabi Muhammad saw. Layaknya dua orang yang sedang berbicara, kita tidak akan menemukan satu sama lain menyebut nama asli lawan bicaranya, kecuali untuk tujuan disampaikan kepada orang lain atau pihak ketiga. Yang ada adalah kata ganti “aku” atau “kamu”. Maka di balik dua kata itulah tersimpan nama dua orang yang sedang berbincang.
Demikian halnya al-Qur’an yang tidak banyak menyebut kata “Muhammad” di setiap ayatnya. Karena nama itu telah tersimpan di banyak kata ganti (dhamir) “ka” yang berarti “kamu”. Atau “qul” yang merupakan kata perintah “berkata” yang ditujukan untuk Nabi Muhammad saw. Juga bentuk kata ganti (dhamir) lain, baik yang muttashil (tersambung) atau munfashil (terpisah). Maka betapa banyaknya nama “Muhammad” disebutkan oleh al-Qur’an jika dhamir-dhamir itu ditampakkan kata asalnya.
Dalam banyak konteks, Allah swt memanggil Nabi Muhammad saw dengan “ya ayyuhan-Nabiy” atau “ya ayyuhar-Rasul” yang berarti “wahai Nabi” atau “wahai Rasul”. Panggilan seperti ini menunjukkan kedekatan, keakraban, kesayangan, atau bahkan penghormatan dari Allah swt untuk Rasulullah saw.
Seorang anak, jika ingin memanggil ayah atau ibunya, maka ia tidak lantas menyebut nama aslinya secara langsung. Dalam konteks Indonesia, panggilan anak kepada orang tua dengan menyebut nama asli secara langsung justru dapat dinilai tidak sopan. Maka umumnya sang anak akan memanggilnya dengan kata “ayah” atau “ibu” sebagai bentuk penghormatan, kedekatan, atau kesayangan. Demikian halnya orang tua yang memanggil “nak” kepada buah hatinya. Begitu juga seorang suami jika ingin memanggil istrinya, maka panggilan “sayang” akan lebih romantis dan menunjukkan kedekatan sekaligus kecintaan. Bahkan suami tidak perlu menambahi kata “ku” setelah kata “sayang” untuk menunjukkan kepemilikan. Karena kata “sayang” dalam konteks ini sudah ma’rifat (khusus) tertuju hanya kepada istrinya, sehingga tidak membutuhkan pengkhususan lagi.
Dari sini dapat dimengerti mana kala Allah swt menyebut “ya ayyuhan-Nabiy” atau “ya ayyuhar-Rasul”, karena yang dimaksud dari kata tersebut tidak lain adalah sosok Nabi Muhammad saw, lawan “dialog”-Nya dalam Al-Quran. Secara psikologi, panggilan semacam ini akan lebih mengena dan menunjukkan kesayangan terhadap lawan bicaranya.
Penyebutan nama “Muhammad” secara langsung dalam Al-Quran terdapat dalam: 1) Q.S. Alu Imran: 144, yang menyatakan akan kerasulan Muhammad di mana sebelumnya telah ada rasul-rasul yang telah wafat, 2) Q.S. al-Ahzab: 40, yang menyatakan bahwa Muhammad saw adalah rasul terakhir, 3) Q.S. al-Fath: 29, yang juga menegaskan Muhammad saw sebagai rasul (utusan) Allah. Dan 4) Q.S. Muhammad: 2, yang berbicara tentang orang-orang yang beriman kepada apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw.
Ada yang menarik dari Q.S. al-Fath: 29 yang berbunyi:
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ …
“Muhammad adalah utusan Allah. Dan orang-orang yang bersama dengannya bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka…”
Mengenai ayat ini, penulis teringat dawuh Kiai Sya’roni Ahmadi Kudus yang mengatakan, “jika membaca ayat ini maka berhentilah (waqf) pada kata ‘rasulullah’, jangan di-washal (sambung).” Hal itu dimaksudkan agar kita tidak memasukkan Nabi Muhammad saw sebagai bagian dari orang yang keras kepada orang kafir. Dengan kata lain, posisikan statemen “Muhammad adalah utusan Allah” sebagai satu kalimat tersendiri. Sementara “dan orang-orang yang bersama dengannya bersikap keras terhadap orang-orang kafir” menjadi kalimat baru.
Dalam pandangan Kiai Sya’roni, secara umum Nabi Muhammad saw tidak bersikap keras terhadap orang kafir. Memang dalam beberapa ayat perang, misalnya Q.S. al-Tawbah: 73 dan Q.S. al-Tahrim: 9, Allah swt memerintahkan Nabi saw untuk berjihad melawan orang-orang kafir dan munafiq serta bersikap keras kepada mereka. Akan tetapi, keramahan dan kelemahlembutan beliau mendahului sifat kerasnya. Dan memang beliau diutus sebagai rahmat bagi seluruh alam, sebagaimana termaktub dalam Q.S. al-Anbiya’: 107.
Kiai Sya’roni menyontohkan bahwa pada dasarnya Nabi saw enggan bermusuhan dan berperang melawan mereka, namun para sahabat memintanya sehingga turunlah ayat izin perang (Q.S. al-Hajj: 39). Dari 27 peperangan yang diikuti, beliau hanya pernah membunuh satu orang dari kalangan kafir, yaitu Ubay ibn Khalaf. Ini terjadi ketika Perang Uhud, di mana sebelumnya Ubay memang bertekad ingin membunuh Nabi saw, sehingga demi membela dan mempertahankan diri serta adanya perintah dari Allah swt, Nabi saw pun membunuhnya.Kelembutan dan keramahan Nabi saw dicontohkan oleh Kiai Sya’roni melalui peristiwa Fathu Makkah (Pembebasan kota Makkah).
Ketika itu para sahabat yang mengikuti Fathu Makkah ini berencana untuk membalas kematian sahabat, saudara ataupun keluarga mereka yang dibunuh oleh orang-orang kafir. Namun Nabi saw memiliki pemikiran dan sikap berbeda. Sesampainya di Makkah, saat orang-orang kafir ketakutan dan khawatir dibunuh, justru Nabi saw bersikap lemah lembut.
Mereka dikumpulkan di Masjidil Haram terlebih dahulu, lalu malah dilepaskan oleh Nabi saw. Sekiranya mau, beliau dapat membunuh mereka atau menjadikan mereka sebagai tawanan. Namun Nabi saw tidak menginginkan pertumpahan darah. Ia menginginkan perdamaian.
Pemahaman Kiai Sya’roni terhadap Q.S. al-Fath: 29 ini sesuai dengan uraian Imam al-Razi dalam Mafatih al-Ghayb dan Syekh Wahbah Zuhayli dalam Tafsir al-Munir, meskipun keduanya juga tidak menampik adanya penafsiran lain yang memasukkan Nabi Muhammad saw ke dalam golongan orang yang bersikap keras terhadap orang kafir. Prof. Quraish Shihab termasuk mufassir yang berpandangan demikian. Namun ia memahami kata “keras” dalam ayat ini dengan arti “tegas”, yakni tidak berbasa-basi yang dapat mengorbankan akidah. Bahwa Nabi saw dan para sahabatnya bersikap tegas terhadap orang kafir.
Baik Kiai Sya’roni maupun Prof. Quraish Shihab, meskipun berbeda sudut pandang, keduanya sama-sama ingin menghindarkan sifat “keras” dari pribadi Rasulullah saw. Karena terlampau banyak bukti yang menunjukkan kelembutan beliau terhadap siapapun, orang Islam maupun non-Muslim.Semoga kita dapat meniru akhlak Nabi Muhammad saw yang kita peringati kelahirannya hari ini. Amiin.
Shallallahu ‘ala Muhammad, Shallallahu ‘ala Muhammad, Shallallahu ‘ala Muhammad, Shallallahu ‘alayhi wa sallam…