Curahan Hati Sayyidah Aisyah

Oleh: Muhammad Fadhlullah*

Kisah sendu seorang wanita muda yang masih lugu. Mengikuti alur hidup sebagaimana suratan takdir menuntunnya. Menjadi istri muda dari baginda besar yang merupakan seorang idola kebanyakan orang pada masanya. Perihal cinta mencintai, kecemburuan adalah satu hal yang niscaya, kecemburuan yang saling menyelimuti antar satu pecinta dengan pencinta lainnya. Tak terkecuali kecemburuan sahabat Nabi terhadap istri sang baginda.

Diawali dengan kebiasaan Nabi Muhammad saw dalam peperangan, sebelum berangkat ke medan perang, beliau terlebih dahulu mengundi istri-istrinya, untuk kemudian dibawa salah seorang di antaranya untuk turut dalam perjalanan tempur. Kala itu Rasulullah Saw hendak bertempur di Bani Mustholiq, maka undian di antara istri-istrinya dilakukan sebagaimana biasanya. Ternyata, yang mendapatkan undian dan berhak menemani perjalanan Rasulullah saw kala itu adalah seorang wanita muda yang cenderung lugu, satu-satunya istri baginda Rasul yang bukan seorang janda, Sayyidah Aisyah Ra. Bertepatan setelah turunnya ayat perihal perintah untuk berhijab bagi para wanita muslimah. Sayyidah Aisyah turut menemani perjalanan Nabi, di dalam sekedup yang ditempatkan di atas unta tunggangan.

Singkat cerita, perang Bani Mustholiq pun usai, Rasulullah saw bersama pasukan hendak berpulang ke kota Madinah, namun hampir sampai kota Madinah Rasulullah menginstruksikan rombongannya untuk istirahat. Mendengar itu, Aisyah yang memiliki hajat pada waktu itu, beranjak keluar dari sekedupnya, kemudian menunaikan hajat-nya. Namun, seusai ia menunaikan hajatnya, ia mendapati kalung yang di lehernya terjatuh entah ke mana, maka ia mencarinya. Sayang sungguh sayang, pencarian terhadap kalungnya menjadi sebab tertinggalnya ia dari rombongan yang telah melanjutkan perjalanan.

Konon, pada umumnya wanita pada masa itu ringan tubuhnya, sehingga absennya nona Aisyah dari sekedup, tidak disadari para sahabat. Menyadari dirinya tertinggal oleh rombongan Aisyah kembali ke tempat semula rombongan berhenti, sambil berharap rombongannya menyadari bahwa dirinya tertinggal, lalu kembali menjemputnya. Menunggu dalam sepi, ia pun tertidur, sebelum akhirnya ia ditemukan oleh seorang sahabat Nabi, Shafwan bin al-Mu’aththal, yang kemudian mengantarnya kepada rombongan Nabi.

Melihat Aisyah datang berdua bersama orang lain yang bukan mahramnya, lantas beberapa orang sahabat yang turut dalam rombongan kala itu termakan oleh bius pikiran yang tidak sehat, bahwa hal yang tidak senonoh mungkin saja sudah terjadi. Padahal tidak terjadi hal apa-apa, bahkan tidak pula terjadi percakapan di antara sahabat Shafwan dengan Aisyah, kala penjemputan terjadi. Bermula dari sini, tersebarlah berita yang tidak benar terhadap nona Aisyah. Beberapa orang yang tersebut sebagai provokasi dalam kejadian ini adalah: Abdullah bin Ubay, Hasan bin Tsabit, Misthah bin Utsatsah, dan Hamnah bintu Jahsy.

Sepulang dari perjalanan, Aisyah dilanda sakit yang membuatnya lemah. Namun, perbincangan tentangnya tidak henti berkoar di kalangan sahabat, dengan tanpa ia sadari. Barulah Aisyah menyadari ada hal yang mengganjal, tatkala Rasulullah saw menjenguknya namun beliau tidak menunjukkan kelembutan sebagaimana yang beliau tunjukkan seperti biasanya, ketika Aisyah sedang sakit.

Beberapa hari setelah berkurang rasa sakitnya, Aisyah beranjak keluar rumah bersama Ummu Misthah (Ibunda dari Misthah bin Utsatsah, yang tak lain adalah seseorang yang turut menyebarkan berita yang tidak benar tentang Aisyah), ia adalah kerabat dari keluarga Abu Bakar. Dalam perjalanan pulang, Ummu Misthah terjatuh, seraya berkata: “Celakalah Misthah”. Aisyah terheran dengan ucapan Ummu Misthah yang mencela Misthah, lalu Aisyah berkata: “Apakah kamu mencela seseorang yang telah ikut berperang dalam perang Badar?” Ummu Misthah menimpali, “Wahai putri, apakah Anda belum mendengar apa yang dia ucapkan?”. Aisyah bertanya kembali “Apa yang telah diucapkannya?” Maka Ummu Misthah menceritakan kepadanya tentang ucapan orang-orang yang membawa berita dusta (tuduhan keji) tentang Aisyah.
Sudah jatuh tertimpa tangga, begitu istilah peribahasa yang kiranya mengena. Sakit terselimuti sakit, malang menimpa Aisyah. Di tengah sakit fisiknya, ia dirundung sakit batin oleh karena desas-desus, berupa berita dusta mengenai dirinya.

Beberapa saat setelah pulang ke kediamannya, Aisyah kembali dijenguk oleh Rasulullah saw sembari ditanya bagaimana keadaannya. Aisyah kemudian menjawab sambil juga meminta izin kepada sang kekasih, ia berkata: ”Apakah engkau memberiku izin untuk pulang ke rumah kedua orang tuaku?”. Rasulullah pun memberinya izin. Aisyah ingin mencari ketenangan serta keterangan dari orang tuanya terkait perbincangan orang-orang sekitar mengenai dirinya. Lantas, ia bertanya kepada Ibundanya: “Wahai Ibu, apa yang sedang orang-orang bicarakan tentangku?” Ibunda dari Aisyah menjawab: “Wahai putriku, tenanglah. Demi Allah, sangat sedikit seorang wanita yang tinggal bersama seorang laki-laki yang dia mencintainya serta memiliki para madu melainkan mereka akan mengganggunya”.
Cerita demi cerita Aisyah dengarkan, sakit yang merundung semakin menjadi ia rasakan. Sang nona menangis sepanjang malam sampai pagi datang menjelang.

Di tempat lain, sang kekasih, Rasulullah saw tengah gelisah, karena semenjak perkara Aisyah muncul, wahyu Allah belum lagi mendatanginya. Bahkan, sempat terfikir oleh Rasulullah saw untuk berpisah atau bercerai dengan Aisyah. Terkait dengan itu, maka beliau pun memanggil dua orang sahabatnya, guna meminta masukan terkait gulana yang melandanya.

Usamah berkata: “Mengenai keluarga Anda, tidaklah kami mengenalnya melainkan ia adalah orang yang baik.”
Sedangkan Ali bin Abi Thalib mengatakan: “Wahai Rasulullah, Allah tidak akan menyusahkan Anda, masih banyak wanita-wanita selain ia.” Kemudian, Ali memberi saran kepada Rasul untuk bertanya juga kepada budak dari Aisyah yang bernama Barirah. Maka Rasulullah saw pun memanggil Barirah dan bertanya kepadanya: “Wahai Barirah, apakah kamu pernah melihat sesuatu yang meragukan pada diri Aisyah?”. Barirah menjawab: “Demi Dzat Yang mengutus Anda dengan benar, Aku tidak pernah melihat padanya sesuatu yang meragukan. Kalaupun Aku melihat sesuatu padanya tidak lebih dari sekedar perkara kecil, dia hanya seorang wanita muda yang lugu. Dia pernah tidur di atas adonan milik keluargaya, yang kemudian dia memakan adonan tersebut.”

Saran demi saran telah Rasulullah dengarkan, namun, seakan tidak ingin gegabah Rasulullah belum juga mengambil sebuah tindakan.

Satu bulan pelik permasalahan belum kunjung usai. Aisyah masih tak henti diselimuti duka. Derai air matanya seakan tak ada habis bercucuran. Sampai pada suatu ketika Rasulullah kembali menengok Aisyah seraya mengucapkan syahadat, kemudian berkata: “Wahai Aisyah, sungguh Aku telah mendengar kabar tentang dirimu. Jika kamu tidak bersalah, pasti Allah telah memberi kejelasan tentangnya. Namun, jika kamu telah melakukan dosa, maka mohonlah ampun kepada Allah dan bertaubat. Karena jikalau seorang hamba telah melakukan dosa, kemudian bertaubat, maka Allah akan menerima taubatnya”. Mendengar perkataan Nabi, Aisyah seakan merasa disudutkan, maka ia pun meminta pembelaan kepada Ayahandanya, Abu Bakar. Namun, sang Ayah tidak dapat melakukan pembelaan. Lalu Aisyah meminta pembelaan kepada Ibundanya. Namun, lagi, yang Aisyah dapati hanya perkataan kosong yang tiada berisikan pembelaan terkait permasalahan yang menimpanya.

Aisyah, seorang wanita yang masih muda, lugu nan tak mampu berbuat banyak. Dia berkata: “Aku hanyalah seorang wanita yang masih belia, Aku belum banyak membaca Al Qur’an. Demi Allah, sungguh Aku telah mengetahui bahwa kalian telah mendengar apa yang diperbincangkan oleh orang-orang, hingga kalian membenarkan berita tersebut. Seandainya Aku katakan kepada kalian bahwa Aku tidak melakukan itu dan demi Allah, Dia Maha Mengetahui bahwa Aku bersih dari perbuatan itu, kalian pasti tidak akan membenarkan diriku. Seandainya Aku mengakui (dan membenarkan fitnah tersebut) kepada kalian, padahal Allah Maha Mengetahui bahwa Aku bersih, kalian pasti membenarkannya. Demi Allah, Aku tidak menemukan antara Aku dan kalian suatu permisalan melainkan seperti Ayahanda dari Nabi Yusuf as ketika dia berkata:

فَصَبْرٌ جَمِيلٌ وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ عَلَى مَا تَصِفُونَ
“Bersabarlah dengan sabar yang baik, dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan.” (Q.S. Yusuf:18)

Aisyah berharap Rasulullah saw mendapat jawaban dalam mimpinya, bahwa Aisyah bersih dari perkara yang diperbincangkan. Namun kuasa Allah berada di atas pengharapan hamba-Nya. Allah bukan sekadar memberikan mimpi, melainkan menurunkan wahyu kepada Nabi Muhammad saw mengenai bersihnya Aisyah dari tindakan keji yang sebagaimana dituduhkan dan diperbicangkan. Sepuluh ayat pada surat An-Nuur, terhitung dari ayat 11 sampai ayat 21 Allah turunkan sebagai pembelaan terhadap Aisyah atas tuduhan yang dilancarkan kepadanya.

Kisah pilu yang berakhir bahagia. Kesabaran Sayyidah Aisyah disinggung dan terabadikan dalam Al-qur’an, sebagai bahan pembelajaran bagi umat manusia keseluruhan.
Maka adakah yang lebih manis dari pada buah kesabaran?

Catatan: Kisah ini merupakan intisari yang dikutip dari Hadis al-Ifki, yang bersumber dari Aisyah ra pada sub-Kitab al-Maghazi, dalam Kitab al-Jami’ as-Shahih, karya Imam al-Bukhari (w.256 H).

*Penulis adalah mahasiswa jurusan Ilmu Al Quran dan Tafsir di Institut Perguruan Tinggi Al Quran (PTIQ) Jakarta asal Tangerang.

Similar Posts