Dakwah, Konflik, dan Kerukunan Umat Beragama

Sampai saat ini, Papua masih dihadapkan dengan problem terbatasnya Sumber Daya Dai (SDD). Kebutuhan masyarakat akan dai cukup darurat dan mendesak. Islam di Papua dari hari ke hari terus mengalami peningkatan, namun kurangnya juru dakwah menghambat laju perkembangan Islam Papua. Stok SDD terbatas sedangkan yang dibutuhkan tidak terbatas.

Jumlah muallaf yang terus bertambah seharusnya diimbangi dengan jumlah dai yang banyak dan mumpuni. Sayangnya sampai saat ini SDD masih sangat terbatas. Akibatnya adalah perkembangan Islam cenderung jalan di tempat saja. Stagnan tidak berkembang pesat.

Maka gairah besar masyarakat untuk mempelajari Islam tidak benar-benar tertuntaskan kecuali dalam angan-angan saja. Sehingga wajar apabila kemudian ada muallaf yang tidak tahu tata cara melaksanakan salat meski sudah bertahun-tahun memeluk agama Islam.

Begitulah sekilas gambaran umum tentang di Islam Papua yang kami dapati saat berdakwah di Kaimana pada bulan Ramadan yang lalu. Dari hasil pengamatan, kami menyimpulkan bahwa permasalahan mendasar Islam di Papua –khususnya Kaimana– adalah krisis dai yang sampai saat ini belum terpecahkan.

Islam Identitas (Islam KTP)
Permasalahan mendasar lain yang patut menjadi perhatian penting adalah banyaknya masyarakat “Islam identitas” yang kami temui di Kaimana, mereka Islam tapi tidak salat, muslim tapi tidak puasa, muslim tapi tidak melaksanaan kewajiban-kewajiban agama.

Maka tempat peribadatan seperti masjid dan mushalla pun seperti kosong di tengah masyarakat muslim yang jumlahnya banyak. Hal ini belum termasuk pelanggaran-pelanggaran lain seperti minum minuman keras, judi, prostitusi atau lainnya.

Islam KTP begitulah fenomena dikenal, tidak hanya terjadi di Kaimana, tapi juga di daerah-daerah Papua lainnya, bahkan hal itu juga yang menjadi aib besar masyarakat Islam Indonesia, Islam KTP. Memang tidak mungkin semua orang taat dalam beragama, dalam kehidupan umat manusia adalah sunnatullah baik dan buruk, taat dan tidak taat, dan lain sebagainya. Karena itulah pesan-pesan agama harus disampaikan.

Tapi mari abaikan sejenak hal tersebut dan kita lihat apa faktor yang menyebabkan Islam KTP merajalela negara yang berpenduduk muslim terbesar ini?

Pertanyaan ini memunculkan banyak jawaban, tapi jawaban yang paling menarik buat kami adalah faktor terbatasnya tenaga dakwah yang benar-benar membaktikan dirinya untuk menegakkan Islam. Menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar dan membimbing umat ke jalan benar. Hal inilah yang tidak lazim kami temukan di Papua, khususnya Kaimana.

Banyak umat muslim di KTP yang beridentitas dengan sangat jelas tertulis Islam, sayangnya ketegasan identitas ini tidak berbanding lurus dengan ketegasan dalam melaksanakan perintah-perintah agama. Kondisi seperti inilah yang menuntut kita untuk terus melakukan dakwah, menyampaikan pesan-pesan Ilahi, menyebarkan ayat-ayat Allah dan sabda Rasul-Nya.

Kristen KTP
Permasalahan di atas sebenarnya tidak hanya terjadi dalam tubuh agama Islam saja, di agama Kristen pun mengalami permasalahan serupa. Sehingga agama identitas pun, menurut hemat kami, juga menjadi masalah serius dalam agama Kristen.

Pada akhirnya, yang dikejar dalam agama hanyalah kuantitas umatnya, bukan kualitas keberagamaannya. Untuk itulah kemudian gencar Kristenisasi dengan pendanaan yang cukup besar, sedangkan Gereja-gereja kosong sepi dari peribadatan. Simbol agama tegak tapi ajaran agama tidak tegak.

Lebih dari itu, larangan mabuk-mabukan juga kerap dilanggar, bahkan larangan lain dalam agama juga sering diabaikan begitu saja. Akhirnya larangan-larangan agama dilakukan, sementara perintah-perintah agama ditinggalkan. Permasalahan “agama identitas” seperti ini bukan hanya menjadi masalah serius agama Islam, tapi di Kristen pun juga menjadi masalah yang cukup mendasar, Islam dan Kristen Identitas.

Konflik Antar Golongan
Sebenarnya sudah banyak lembaga-lembaga keislaman yang menempatkan dai untuk berdakwah di Papua. Sayangnya stok dai yang disiapkan juga belum bisa menambal kekurangan tersebut. Justru yang perlu disayangkan, banyaknya lembaga tersebut malah menimbulkan masalah baru yang memicu konflik internal dalam agama Islam.

Perbedaan ideologi masing-masing kelompok membuat Islam menjadi terkotak-kotak dan terpecah-pecah. Masing-masing saling menyalahkan, seraya mengklaim diri paling benar memahami Islam. Akibatnya keniscayaan perbedaan bukan lagi sebagai rahmat, akan tetapi menjadi pemicu polemik yang semakin merenggangkan hubungan persaudaraan antar sesama, siapa yang berbeda, ia salah, sesat, menyimpang atau bahkan keluar dari ajaran Islam.

Semua saling mengklaim, membuat masyarakat awam bingung. Mereka bertanya manakah ajaran Islam yang benar jika semua mengaku paling benar? Padahal semua itu hanya berawal dari sebuah perbedaan yang seharusnya menjadi kewajaran dalam agama. Untuk itu, cita-cita dakwah Islam akhirnya berubah menjadi konflik antar golongan yang membuat masyarakat awam tidak tentram dalam menjalankan ajaran agamanya.

Lebih lanjut, konflik perbedaan tersebut pada akhirnya mengakibatkan terjadinya rebut-merebut umat, saling memperbesar jumlah jamaah, atau saling memperbanyak masa. Korbannya adalah ketentraman masyarakat terusik karena tuduhan-tuduhan salah atau sesat oleh salah satu kelompok. Warna-warni Islam yang seharusnya mewarnai khazanah keilmuan Islam berubah menjadi suatu yang membingungkan, perbedaan bukan lagi menjadi citra betapa luasnya khazanah kelimuan Islam, tapi Islam seolah-olah adalah agama yang membingungkan.

Logika masyarakat tidak bisa disamakan dengan logika para ilmuan yang dapat menyikapi perbedaan dengan mudah. Tapi logika masyarakat adalah logika instan yang cenderung anti perbedaan.

Maka tak heran jika ada banyak dai yang kurang mendapat respon positif di tengah-tengah masyarakat. Hal ini wajar, sebab hal semacam itu tanpa sadar sebenarnya disebarkan oleh konflik-konflik perbedaan yang dipertontonkan oleh kelompok-kelompok Islam yang pada dasarnya datang dengan misi dakwah yang baik, namun sayang misi mulia itu dijungkirbalikan oleh ego golongan masing-masing yang begitu kokoh.

Kerukunan Antar Umat Beragama
Uniknya, kerukunan antar umat beragama di Papua bisa dikatakan terjalin relatif sangat baik. Hubungan antara muslim dan non muslim begitu indah dinikmati. Seolah-olah perbedaan identitas agama itu tidak tampak begitu ketara apabila melihat jalinan persaudaraan antar sebangsa dan setanah air.

Wajah agama akan benar-benar tampak ketara ketika masjid menggema dengan suara adzan dan umat muslim datang melaksanakan ibadah. Umat Kristen akan benar-benar tampak saat lonceng gereja berbunyi dan mereka datang untuk beribadah. Setelah itu, mereka lebur dalam kerukunan yang kuat dan padu.

Fenomena keharmonisan hubungan muslim dan nom-muslim ini terkadang sebuah ironi tersendiri dalam Islam. Bagaimana tidak, mereka bisa rukun dengan umat agama lain, tetapi tidak bisa rukun antar sesama muslim, antar sesama muslim sendiri terkadang masih melihat golongan dan baju yang dipakai.

Jika berasal dari golongan yang sama, maka hubungan akan sangat baik. Sebaliknya, jika berbeda maka kecurigaan, saling menuduh dan saling menyalahkan akan kerap menjadi pertentangan yang tak bisa dilerai. Perbedaan ideologi terkadang mampu memberi sekat dan batasan dalam mengamalkan perintah ukhuwah islamiyah. Maka inilah tantangan utama yang harus diselesaikan oleh umat Islam, rukun dan akur dalam perbedaan.

Peran Putra Daerah
Peran dakwah menjadi keniscayaan di dalam agama Islam. Saat masa-masa awal Islam, dakwah menjadi tonggak utama Rasulullah Saw dalam menyebarkan agama Islam. Islam pun pada akhirnya meraih kegemilangan luar biasa berkat kegigihan dakwah sang Rasul ini. Tidak ada yang memungkiri hal itu.

Di Indonesia, Islam menjadi besar dan kuat juga tidak bisa dilepaskan dari perjuangan dan kegigihan dakwah yang dilakukan oleh 9 wali songo yang sampai saat ini terus melegenda dalam sejarah Islam Indonesia. Maka dakwah menjadi keniscayaan dalam agama Islam. Dakwah tidak hanya mengibarkan panji Islam tapi juga membentengi akidah dan membentuk perilaku luhur umat manusia.

Di Papua, kuantitas umat Islam semakin meningkat. Para pendatang semakin menambah jumlah penduduk muslim, dan hadirnya banyak muallaf ke pangkuan Islam menjadi gambaran bahwa Islam benar-benar sangat menyentuh hati masyarakat Papua.

Di sini peran dakwah sangat menentukan. Untuk konteks Papua, dakwah paling jitu adalah dengan melibatkan putra daerah. Lebih istimewa lagi apabila dai tersebut adalah putra asli Papua. Dakwah Putra Papua akan lebih mudah diterima oleh penduduk Papua.

Hal ini antara lain dikarenakan mereka memiliki kedekatan emosional yang kuat, mereka lebih tahu dan paham mengemas dan membahasakan pesan-pesan Islam kepada penduduk setempat. Tentu penduduk asli akan lebih dipercaya oleh mereka ketimbang pendatang.

Karena itu dakwah terbaik di Papua adalah dengan melibatkan penduduk setempat. Apalagi jika kegiatan serta dakwah tersebut muncul langsung dari penduduk setempat. Untuk memenuhi hal itu, ketersediaan SDD yang memadai cukup penting dalam membina dan mengkader putra daerah menjadi dai.

Peran penting putra daerah inilah yang kami temukan langsung saat berdakwah di Kaimana. Dakwah kami menjadi lebih mudah diterima oleh masyarakat tatkala putra daerah menjadi mitra kami dalam berdakwah. Dari sinilah kami melihat antusiasme masyarakat benar-benar tinggi untuk mempelajari Islam. Seolah semangat itu tidak akan pernah padam asalkan dikemas dan disampaikan dengan kedekatan emosional ke-Papua-an, yang salah satunya adalah peran dai putra Papua.

Wallahu A’lam bi al-Shawab

Similar Posts