Dualisme Hukum dalam Perkara Talak di Indonesia
Suami adalah pemegang hukum talak dalam keluarga. Oleh karena itu, seorang suami harus berhati-hati dalam mengucapkan shighat talak kepada istrinya. Karena perkara talak tidak bisa dianggap main-main ataupun candaan. Sekali saja sighat talak itu terucap, maka hukum talak pun jatuh kepada sang istri.
ثَلاَثٌ جِدُّهُنَّ جِدٌّ وَهَزْلُهُنَّ جِدٌّ النِّكَاحُ وَالطَّلاَقُ وَالرَّجْعَةُ[1]
“Tiga hal yang seriusnya dianggap serius, dan bercandanya dianggap serius; nikah, talak, dan rujuk.”
Dalam kasus talak, yang mana telah ditetapkan bahwa talak yang diperbolehkan kepada seorang suami untuk merujuknya kembali adalah dua kali. Talak satu dan talak dua. Sebagaimana telah disebutkan dalam Alquran surah Al-Baqarah ayat 229;
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh dirujuk lagi dengan cara yang baik atau menceraikan dengan cara yang baik.”
Selain syariat Islam, UU Perkawinan Indonesia juga mengatur masalah ini, bahwa jatuhnya hukum talak dinilai sah ketika diucapkan di depan hakim saat persidangan. Hal ini tertulis dalam Pasal 115 KHI dan Pasal 39 ayat 1 UU No. 1/ 1974 menyatakan bahwa:
“Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama, setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.”
Dari dua hukum tersebut, sebagai umat Islam tentunya harus patuh terhadap hukum Islam. Namun, sebagai penduduk Negara Republik Indonesia yang baik dan taat aturan juga harus mengikuti Undang-Undang.
Lantas, hukum manakah yang harus kita ambil sebagai pedoman terkait masalah talak?
Dalam kaidah fiqhiyyah yang berbunyi حكم الحاكم إلزام يرفع الخلافyang artinya Peraturan hakim (penguasa) itu bersifat mengikat dan menghilangkan perselisihan. Dari kaidah ini dapat difahami bahwa aturan yang dibuat oleh pemerintah dalam suatu wilayah harus diikuti oleh penduduknya.
Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa keputusan hakim dapat menghilangkan perselisihan selama tidak bertentangan dengan dalil qath’i dan ijma’. [Al-Furuq, Juz II/ hal.192]
Maka dapat disimpulkan dari pertentangan hukum Agama Islam dan Undang-Undang tentang sah jatuhnya hukum talak di Indonesia adalah ketika sudah diputuskan di depan hakim saat persidangan. (HR. Abu Daud dalam kitab Sunan Abi Dawud, No. 2196 dalam Bab Talak dengan Bercanda.)
Wallahu a’lam bishowab.