Hukum Provokasi Atas Nama Agama
Bagaimana hukum menjadi provokator yang menebarkan kebencian kepada non muslim dan memicu tindakan anarkis atas nama jihad fi sabilillah?
Adi, Jawa Timur
Jawab:
Di Indonesia ini jihad kadang diposisikan secara rendah. Seorang penyanyi dangdut, misalnya, dengan dangdutnya itu mengaku berjihad. Lho, jihad kok pakai gitar. Jihad itu tinggi kedudukannya. Baru membakar warung remang-remang dibilang berjihad. Saya khawatir kalau jihadnya seperti itu, yang terjadi adalah kekacauan.
Dalam Islam ada kondisi perang dan ada kondisi damai. Allah SWT. Berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 190:
وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas” (Q.S. al-Baqarah: 190)
Kalau mereka tidak memerangi kita, tidak boleh kita menyerang mereka, membakar tempat ibadah mereka, merusak dan menjarah barang milik mereka. Ada sementara ahli tafsir yang berpendapat, memerangi orang yang tidak memerangi kita tergolong melampaui batas, seperti yang tersebut dalam ayat tadi.
Dalam sejarah, ada kalanya Nabi SAW memerangi orang-orang Nasrani, seperti yang terjadi pada pernag Mu’tah. Karena tersiar kabar orang-orang Nasrani yang berada di bawah kerajaan Bizantium sedang bersiap menyerang kaum muslim, Nabi menyongsong mereka di tengah jalan. Tapi di pihak lain, Nabi tidak pernah mengusik orang-orang Nasrani Najran karena mereka tidak pernah melakukan permusuhan. Orang-orang Yahudi juga biasa keluar-masuk rumah beliau dengan damai.
Menurut kami, cobalah ikuti petunjuk Nabi. Beliau itu tidak pendendam. Di antara ciri-ciri muttaqin (orang-orang bertakwa), sebagaimana firman Allah dalam surat Ali-Imran ayat 134, adalah sebagai berikut:
وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ
“Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan kesalahan orang” (Alu Imran: 134)
Pernah dalam suatu peperangan, Nabi SAW tertidur di bawah pohon, sementara pedangnya tergantung di dahan. Seorang lelaki kafir mengendap-endap, mengambil pedang itu, dan menodongnya ke tubuh Nabi. “Siapa yang bisa membelamu dari aku, Muhammad?” “Allah” Mendengar jawaban Nabi itu, sontak lelaki tadi bergetar tubuhnya, pedang pun lepas. Nabi memungut senjata itu lalu balik menodong lelaki tersebut. “Siapa yang membelamu sekarang dari aku?” Orang tadi tidak bisa menjawab, diam ketakutan. (H.R. Muslim dan Ahmad)
Hari itu masih ada pertempuran, meski telah memasuki jeda karena telah menjelang sore. Seharusnya, absah saja kalau Nabi menebaskan pedangnya ke tubuh lelaki malang tadi. Tapi beliau tidak melakukan itu. Para ahli menduga, Nabi khawatir perbuatannya telah didasari dendam pribadi. Kadang seseorang itu membaca ayat sepotong-potong. Misalnya surat al-Baqarah ayat 193:
وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ لِلَّهِ فَإِنِ انْتَهَوْا فَلَا عُدْوَانَ إِلَّا عَلَى الظَّالِمِينَ
“Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. (Q.S. al-Baqarah: 193)
Mereka mengartikan fitnah di situ sebagai syirik, sehingga orang kafir hendak dibunuh semua. Padahal terusan ayat ini adalah, “Tapi jika mereka berhenti, maka tidak ada permusuhan, kecuali pada orang-orang yang lalim.” Lagi pula, penafsiran seperti tadi bertentangan dengan firman Allah surat Yunus ayat 99:
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَآمَنَ مَنْ فِي الْأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا أَفَأَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّى يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ
“Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?” (Q.S. Yunus: 99)
Provokator itu kelakuannya mengadu domba, namimah dalam bahasa Arabnya. Itu jelas berdosa. Provokator itu tidak ada tindakan, tapi akibatnya bisa bermacam-macam. Mungkin pembakaran, mungkin malah pemberontakan. Apa sangsinya? Dalam hukum Islam ada hukum had ada juga hukum ta’zir (penjeraan).
Had adalah hukum yang sudah ditentukan bentuk dan kadarnya (potong tangan, misalnya), sedang ta’zir tidak ada ketentuan yang jelas. Tapi ta’zir bisa saja melebihi hukuman had, tergantung masalah kemaslahatannya. Pengedar narkoba, misalnya, bisa saja dihukum mati. Begitu pula dengan provokator, bisa dihukum berat atau ringan, tergantung bagaimana kemaslahatan umum menghendakinya, tergantung akibat yang ditimbulkan.