Imam Al-Khalil bin Ahmad; Kekecewaan sebagai Tonggak Kesuksesan

Majalahnabawi.com – Jika berbicara tentang kecewa, tentu saja setiap orang pasti pernah mengalami dan merasakannya. Kekecewaan pada dasarnya adalah suatu perasaan yang wajar, manusiawi. Dan tentunya setiap orang pun pasti punya cara yang berbeda untuk mengatasinya. Dan ternyata sekelas Imam Al-Khalil pun pernah merasakan kekecewaan.

Imam Al-Khalil Bin Ahmad Al-Farahidi merupakan seorang ulama ahli bahasa dan sastra Arab, dan Mu’jam al-‘Ain itu merupakan karya monumentalnya. Beliau memiliki dua orang murid kebanggaan, yaitu imam Sibaweh (w. 180 H) dan imam al-Ashma’i, yang terkenal sangat brilian dan genius. Keduanya memperdalam ilmu linguistik pada imam Al-Khalil.

Beliau juga merupakan sosok “Syeikh” yang sangat terbuka dalam wacana-wacana ilmiah, ia sering berdebat dengan murid-muridnya. Dialog dan diskusi selalu mewamai “Halaqoh” yang dihadirinya.

Pada saat itulah sering kali imam Al-Khalil Bin Ahmad berdebat sengit dengan muridnya, yaitu imam Sibaweh dan imam al-Ashma’i dalam banyak permasalahan. Imam Sibaweh sering berselisih pendapat dengan gurunya. Dengan argumentasi-argumentasi yang tak terbantahkan, imam Al-Khalil Bin Ahmad pun sering dibikin “kalah” oleh muridnya itu.

Setelah keilmuan imam Sibaweh di bidang linguistik mengalami kemajuan pesat, dan bahkan melampaui gurunya sendiri, kemudian ia memutuskan untuk pulang ke kampung halamannya. Dan ternyata banyak diantara teman-temannya yang ikut nyantri kepadanya. Semua itu tak lebih karena, sejak di halaqoh-nya “Imam Al-Khalil”, Imam Sibaweh sudah menjadi idola para penuntut ilmu.

Kepiawaian Imam Sibaweh dalam waktu singkat akhirnya tersebar ke segenap penjuru negeri Bashrah. Berita kealiman Imam Sibaweh yang mengalahkan kealiman gurunya yaitu imam “Al-Khalil Bin Ahmad” ini menarik simpati banyak orang untuk belajar kepadanya. Banyak orang tua mengirimkan anak-anaknya untuk berguru kepada Imam Sibaweh. Bahkan sedikit demi sedikit murid-murid Imam Al-Khalil Bin Ahmad pun pindah kepada Imam Sibaweh. Yang mana pada akhirnya kharisma Imam Sibaweh ini dapat mengalahkan gurunya yaitu Imam Al-Khalil Bin Ahmad.

Imam Al-Khalil Bin Ahmad pun sangat terpukul dan kecewa, dengan perasaan gundah gulana karena semakin surut pamornya, kemudian Imam Al-Khalil ingin mengasingkan diri dari dunia ramai. la bertekad memohon pada Allah, untuk diberikan ilmu baru yang bisa menandingi atau mengalahkan “keilmuan Sibaweh” murid kesayangannya itu.

Dengan membawa luka yang dalam, beliau akhirnya pergi ke tanah suci, tepat di “Multazam” yaitu tempat yang dipercaya punya tuah itu, lantas imam Al-Khalil berdo’a kepada Allah agar diberi ilmu yang belum pernah dimiliki oleh siapa pun dan siapa saja yang ingin mendapatkan ilmu itu, harus belajar kepadanya. Sayup-sayup terdengar olehnya “bisikan ilham” memerintahkan imam Al-Khalil untuk pergi mengembara.

Dalam pengembaraan yang tak jelas rimbanya itu, akhirnya imam Al-Khalil mendapat inspirasi untuk menciptakan sebuah ilmu baru yang mengupas tentang irama lagu-lagu sya’ir/syi’ir. Ketika mendengar kicau burung, dersir angin padang pasir atau suara gemuruh gelombang, beliau yang punya intuisi (dzauq) sangat tajam ini, menorehkan tintanya untuk memulai menggagas sebuah ilmu baru.

Akhimya terciptalah ilmu Arudl itu. Sebuah disiplin ilmu yang membahas tentang kaidah-kaidah yang berguna untuk mengetahui wazan syair Arab yang benar dan yang salah.  Bahr-bahr syair mulai dari bahr rojaz yang enak didengar sampai bahr thowil yang sering didendangkan lewat nadzom “Ala-La” itu, merupakan karya besar imam Al-Khalil Bin Ahmad. Perlu diketahui bahwa beliau wafat pada tahun 175 H. Demikianlah penggalan kisah perjalanan hidup imam Al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi.

Dari kisah di atas dapat disimpulkan bahwa Kekecewaan akan menjadi suatu energi positif apabila disikapi dengan arif. Kalau perlu, jadikanlah itu sebagai sebuah amunisi yang siap meruntuhkan apa saja. Sebagaimana pepatah mengatakan: “Kegagalan atau kekecewaan adalah tonggak untuk meraih kesuksesan”.

Semoga kisah di atas bisa memotivasi jiwa yang sedang kendur, dan menginspirasi generasi muda yang hidup di zaman sekarang ini. Untuk itu mulai sekarang, jadikan kegagalan maupun kekecewaan itu sebagai api penyemangat baru, dan jangan jadikan itu sebagai energi negatif yang akan memadamkan api semangat kita.

Saat kita sedang berada di bawah, tak perlu perlu putus asa dan patah semangat. Sepanjang nyawa masih di kandung badan, serta jiwa dan pikiran masih mampu bekerja dengan optimal, maka di situlah akan selalu ada harapan. Ingatlah, saat kita sedang berada di bawah itu, sikap dan mental kita sedang diuji oleh yang Maha Kuasa agar kita dapat menjadi seseorang yang tangguh dan lebih baik lagi daripada hari-hari sebelumnya.

Similar Posts