Keliru Memahami Taharah, Berharap Dapat Ridha Malah Murka
Kemarau panjang di sebagian wilayah Indonesia, mengakibatkan kesulitan mendapatkan air bersih guna memenuhi kebutuhan sehari-hari: minum, mandi, wudu dan sebagainya. Himbauan untuk berhemat menggunakan air merupakan hal yang mesti untuk dilaksanakan.
Pada 14 abad silam, jauh-jauh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan untuk tidak isrāf (tidak berhemat/berlebihan) menggunakan air, sebagaimana dicatat dalam Sunan Ibnu Mājah. Dikisahkan sahabat Nabi yang bernama Sa’ad Ra. sedang berwudu. Rasulullah lewat dan melihatnya, lantas beliau menegur Sa’ad yang boros menggunakan air. Sahabat Sa’ad kemudian menimpali Rasulullah, apakah di dalam berwudu pun ada isrāf? Rasulullah menjawab: “نعم، وإن كنت على نهر جار” artinya: “Iya, sekalipun kamu (melakukannya) di sungai yang mengalir”.
Namun dalam praktiknya, banyak muslim, bahkan di kalangan santri sekalipun, tidak berhemat menggunakan air. Lebih dari itu, ada yangnalasannya demi bersuci (thaharah) yang sesuai sebagaimana di dalam kitab-kitab fikih. Alasan ini membingungkan, sebab dengan alasan ini seakan-akan yang termuat dalam kitab fikih tidak sejalan dengan semangat dalam hadis nabi tadi. Padahal hadis nabi (sunnah) adalah salah satu dalil (sumber) fikih.
Di antara kasus-kasus yang ditemukan, misalnya:
Boros menggunakan air dalam mencuci pakaian. Setiap potong pakaian diangkat lalu dialirkan air, hingga dipastikan air benar-mengalir di sekujur pakaian tersebut. Satu potong pakaian menghabiskan sekian gayung air. Jika mencuci puluhan potong pakaian, berapa ember air yang dibutuhkan?
Cara seperti ini agaknya berangkat dari penjelasan fikih bahwa cara menyucikan benda atau anggota tubuh dari najis (yang mutawassithah) adalah dengan membuang najisnya kalau masih ada dan mengalirkan air pada tempat najis hingga sifat najisnya hilang.
Kata “mengalirkan air” ini kadang hanya dipahami sebatas makna yang ditangkap sepintas. Ini yang memicu masalah. Padahal mengalir dimaksud tidaklah mengharuskan pemborosan air.
Ini padahal dalam konteks pakaian yang terkena najis. Nah yang dicuci itu apakah semuanya bernajis? Kan tidak. Jika tidak bernajis, maka mestinya penghematan bisa dilakukan. Begitu juga dalam berwudhu dan mandi wajib, pemborosan air dilakukan lantaran memastikan air benar-mengalir di setiap titik anggota tubuh yang wajib dibasuh.
Kasus lain, ada yang tidak mau menggunakan air yang tergenang, di dalam bak atau ember misalnya, kadang malah membuangnya, dan menampung air baru.
Alasannya, air tersebut boleh jadi musta’mal (sudah dipakai untuk basuhan wajib pada anggota tubuh yang mesti dibasuh dalam berwudhu atau mandi wajib), atau bisa jadi ada najis yang masuk ke dalam bak tersebut. Padahal air tersebut masih terlihat tidak mengalami perubahan.
Dalam fikih ada qaidah, al-ashlu baqa maa kaana ‘alaa maa kaan (pada dasarnya, sesuatu itu masih sebagaimana sebelumnya). Air pada dasarnya adalah suci dan dapat menyucikan, jika tidak mengalami perubahan, ia masih tetap suci.
Qaidah induknya: Al-Yaqin Lā Yuzālu bissyakk (kepastian itu hukumnya tak bisa digeser oleh keraguan).
Dalam mengartikan kata yaqin di sini, sebahagian orang memaknainya dengan optimis. Sehingga dia menyatakan, “saya tidak yakin kok airnya suci, maka qaidah tersebut tidak saya pakai”. Padahal yaqin dalam bahasa fikih tidak semakna dengan yakin yang biasa digunakan dalam bahasa Indonesia.
Adapun kasus lain yang serupa, misalnya tidak mau bersuci kecuali jika airnya mengalir, atau airnya banyak dalam bak besar.
Setidaknya ada beberapa hal seharusnya direnungkan dalam hal ini:
1. Kasus-kasus pemborosan menggunakan air seperti di atas, jika benar sesuai dengan fikih, kita bisa pertanyakan, apa iya di zaman nabi, di negeri Arab sana, yang jarang turun hujan, dan belum ditemukan alat-alat untuk menarik air dari perut bumi, orang-orang bersuci seperti itu? Ataukah pemahaman fikih kita yang keliru?
Imam al-Ghazali bahkan cenderung untuk berpendapat bahwa air meskipun sedikit (kurang 2 qullat) tetap suci jika dikenai najis selama najis itu tidak mengubah sifat air, beliau bahkan berharap andai Mazhab Syafi’i dalam hal ini seperti mazhab Maliki.
Beliau mengutarakan pandangannya ini karena melihat kondisi Makkah dan Madinah di masa Nabi yang tidak memiliki banyak air mengalir atau genangan air, dan jika pandangan mazhab syafi’iyyah itu diterapkan, Makkah dan Madinah kala itu mestinya menjadi tempat yang sulit untuk melakukan thaharah (sebagaimana mestinya itu), dan berbagai macam alasan lainnya.
Sebagaimana tidak adanya kasus dan pertanyaan yang diriwayatkan mengenai upaya menghindari air dari najis, bahkan wadah air ketika itu dipakai oleh anak-anak dan budak yang tidak hati-hati dari najis, apalagi sayyidina Umar Ra juga pernah berwudhu dari penyimpanan miliki orang nashrani yang terbuat dari kulit, pada orang nashrani itu peminum khamar, memakan babi.
2. Memahami konsep wārid dan maurūd.
Dalam ilmu fikih, terkait air dan najis, ada konsep wārid dan maurūd yang dirumuskan fuqaha. (Lihat Imam Nawawi, al-Majmu’ juz 1 h. 138) bahwa jika najis sebagai wārid/ jatuh ke air (sebagai maurūd) yang jumlahnya sedikit, maka airnya jadi dihukumi bernajis. Namun jika sebaliknya, air tetap mensucikan.
Maka dalam hal ini, terkait menyuci pakaian, jika pakaian yang dibilas misalnya ditaruh di dalam ember lalu disirami air bersih, dikucek dan diangkat, itu sudah cukup untuk menyucikan pakaian.
Bahkan Imam al-Ghazali lebih longgar lagi, mestinya sama-sama dianggap suci, baik air sebagai wārid atau marūd, dengan mempertanyakan kenapa harus dibendakan kondisi air antara dua hal ini, toh dua-duanya sama-sama bercampur dan sama-sama demi kebutuhan/hajat.
3. Pesan Imam al-Ghazali (505 H) dan Imam Ibnu Daqīq al-‘Ied (702 H).
Imam al-Ghazali nampaknya sangat tidak suka dengan penggunaan air berlebihan, misalnya membasuh anggota wudu lebih dari 3 kali lantaran was-was, dan belum yakin basuhannya sempurna. Jika ini ini diangggap wara’ maka ini wara’nya orang was-was yang tercela.
Imam al-Ghazali bahkan menganggap hal semacam ini sebagai bentuk tasyaddud, dengan mengutip hadis riwayat Ibn Majah beliau mengkritik, “شددوا فشدد الله عليهم” “mereka berlaku sempit, maka Allah pun menyempitkan mereka”.
Sejalan dengan pandangan Imam al-Ghazali tersebut, Imam Daqiq al-‘Ied (w. 702 H) mengingatkan kesalah-kaprahan sebahagian orang dalam memahami makna wara’.
Kesalahan tersebut kemudian berimplikasi dalam praktik yang menurut beliau tak wajar, seperti tidak mau salat di suatu tempat (di jalan, di tanah, di lantai misalnya) hanya karena khawatir bisa jadi di sana ada najis yang sudah mengering, atau tidak mau memakai air yang tidak berubah dari sifat aslinya lantaran menganggap bisa saja air tersebut tidak suci lagi, atau bisa jadi sudah terkena najis.
Alasan-alasan seperti ini menurut beliau hanyalah was-was setan, bukanlah wara’. (Lihat syarah Arba’in Nawawiyyah beliau, hadis ke-6).
Nah, kalau masih ada yang melakukan pemborosan air, dengan alasan wara’, hati-hati dan sejenisnya. Jelaskan, siapa yang mengatakan itu, dengan alasan apa dan dalam kitab apa?
4. Jangan-jangan hanya was-was setan Walahan.
Dalam sebuah hadis, tercantum dalam sunan Ibnu Majah, dijelaskan bahwa di dalam aktivitas berwudu ada setan pengganggu yang bernama “Walahan”, maka Rasulullah menasahi untuk perlu hati-hati terhadap was-was dalam menggunakan air.
“Berlebihan karena was-was mungkin tidak mengganggu pelakunya sendiri, tetapi mengganggu orang lain” (Imam al-Ghzali, Ihyā’) minimal mengurangi jatah air orang lain untuk memanfaatkannya.
5. Biar kotor asal suci?
Di samping itu semua, ada pula masalah lain. Yaitu ungkapan semacam: yang penting suci, biarlah kotor.
Dalam kajian fikih memang dibedakan antara kotor dan tidak suci. Setiap yang kotor belum tentu tidak suci, dan setiap yang tidak suci pasti kotor.
Misal, pakaian berdaki, penuh keringat karena dipakai beberapa hari, pakaian tersebut adalah kotor, namun pakaian tersebut masih suci dan boleh digunakan untuk salat.
Hal seperti juga merupakan masalah, ketika hanya sebatas mementingkan suci doang, tapi tidak menjaga kebersihan dan keindahan.
Wallahu a’lam bishowab.