Kritik Hadis Kesunnahan Memanah

Akhir-akhir ini banyak orang yang berlomba-lomba mengamalkan hal-hal yang dianggap sebagai sunnah Rasulullah SAW. Semua hal yang mereka baca dari hadis-hadis Rasul, seketika langsung diamalkan dengan anggapan bahwa hal tersebut merupakan sunnah Rasul Saw.

Anggapan seperti ini nampaknya sudah menjadi trend di kehidupan ustadz-ustadz seleb Indonesia. Sebut saja memanah dan berkuda. Dua hal ini menjadi hal yang sering digaungkan lewat medsos-medsos mereka. Bahkan beberapa hari yang lalu, viral di tengah kehidupan maya seorang ustadz yang melakukan latihan memanah di dalam Masjid.

Tentu hal ini menjadi pertanyaan besar di benak kita. Benarkah memanah atau berkuda itu sunnah? Sehingga sangat dianjurkan untuk dipelajari bahkan sampai dilakukan di dalam masjid.

Beberapa literatur hadis yang menunjukkan keutamaan memanah adalah hanya ada beberapa hadis. Salah satunya merupakan tafsir Rasulullah atas surat al-Anfal ayat 60:

وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ

Artinya:

Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi.

Setelah mengucapkan ayat tersebut kemudian nabi mengulang-ulang sebuah kalimat sebanyak tiga kali untuk menafsirkan ayat yang dibacanya.

ألا إِنَّ الْقُوَّةَ الرَّمْيُ

Artinya:

Ketahuilah bahwa sesungguhnya yang dimaksud dengan kekuatan itu adalah memanah.

Dalam hadis lain sebagaimana ditulis Ibnu Hajar dalam Fathul Barinya, juga dijelaskan terkait keutamaan seorang pemanah yang masuk surga karena anak panahnya. Hadis ini diriwayatkan oleh Uqbah bin Amir.

Juga ada satu hadis lagi yang menjelaskan kerugian bagi orang yang mampu memanah tapi tidak mengamalkan kemampuannya, bahkan dalam riwayat Ibnu Majah, orang yang tidak mengamalkan kemampuannya dalam memanah dikatakan sebagai orang yang durhaka kepada Rasul (ma’siyat dan berdosa).

Nampaknya, hadis-hadis tersebutlah yang dijadikan landasan kesunnahan memanah. Sehingga mereka gencar sekali mengampanyekan memanah hingga menjadikan masjid sebagai tempat latihan.

Tentunya, masyarakat harus mengetahui bagaimana kategori sebuah tindakan rasul itu sebagai sunnah atau tidak. Atau dalam bahasa Kiai Ali Mustafa Yaqub, kita harus membedakan antara sunnah dan budaya dalam membaca hadis.

Membaca hadis di atas, pensyarah Sunan Abu Dawud, Abdul Muhsin bin Hammad al-Abbad mengatakan bahwa hadis di atas diungkapkan kepada para sahabat ketika kekurangan pasukan pada masa perang. Sehingga senjata yang paling efektif untuk menunjang peperangan saat itu adalah panah, mengingat panah adalah satu-satunya senjata yang ada saat itu.

Ibnu Hajar juga menekankan bahwa poin penting dalam hadis-hadis di atas adalah kemampuan untuk mengalahkan musuh dengan cara yang lebih efektif. Maka Rasul pada saat itu melihat bahwa panah adalah senjata yang paling efektif. Dan Rasul akan sangat kesal sekali itu jika ada seorang pemanah jitu tapi dia menyianyiakan kemampuannya.

Hal ini tentu sangat berbeda dengan sekarang dimana senjata sudah semakin berkembang dan dinamis. Bahkan saat ini juga bukan masa-masa perang sebagaimana anjuran menguasai memanah yang dikatakan Rasul pada saat itu.

Maka dari itu, Yusuf al-Qaradhawi dalam Kaifa Nataamal Maa Sunnah menyarankan untuk fokus kepada isi bukan pada sarana ketika memahami hadis. Dalam metode memahami hadis, diharuskan untuk bisa membedakan antara sarana yang berubah dan tujuan yang tetap. Dalam hal ini, panah adalah sebuah sarana bukan tujuan. Sedangkan tujuannya adalah mampu mengalahkan lawan dengan sarana yang paling efektif.

Sehingga dari penjelasan beberapa ahli di atas, bisa kita simpulkan bahwa panah adalah hanya sarana yang bisa digunakan pada saat itu. Jika pada masa sekarang, ketika musuh menyerang kita dari berbagai hal mulai persenjataan, cyber, kecerdasan dan keilmuan yang lain, maka sunnahnya adalah menguasai hal-hal tersebut, tentunya bukan hanya memanah saja.

Jika berlatih memanah dan ingin ahli menjadi pemanah maka hal itu tentu diperbolehkan saja. Tetapi jika ada orang yang menganggap bahwa memanah adalah menjadi sebuah kesunnahan yang akhirnya menimbulkan prilaku tidak etis seperti berlatih di masjid dan sebagainya apalagi sampai menyalahkan orang yang tidak mampu memanah, maka hal itu adalah sebuah kesalahan.

Menutup tulisan ini, saya ingin mengutip penjelasan Imam al-Qarafi yang berbunyi: “al-Jumudu al-manqulat dhalalun fid din.” (berprilaku kaku dalam memahami teks-teks agama adalah sebuah kesesatan dalam beragama).

Wallahu Alam

Artikel ini pernah dimuat di islami.co

Similar Posts