Kupas Sejarah Haji di Nusantara: Monopoli Haji Masa Kolonial
Mengingat Terusan Suez sudah dibuka pada tahun 1869, maka hal tersebut membuka pelayaran ke dunia timur lebih mudah, tanpa memakan waktu yang lama dari sebelumnya. Dengan begitu bertambah pula jumlah jamaah haji Indonesia yang melaksanakan pergi haji ke tanah suci. Dampak dari hal tersebut membuat pemerintah Hindia Belanda mulai merumuskan peraturan-peraturan baru bagi jamaah haji Indonesia. Kebijakan ini lebih dikenal dengan istilah “resolusi”.
Beberapa kali kebijakan pemerintah terkait pemberangkatan jamaah haji mengalami perubahan. Sebuah resolusi hasil dari kebijakan pemerintah ini diberlakukan kepada seluruh muslim Indonesia bagi yang hendak menunaikan ibadah haji. Berikut Resolusi yang mengatur perihal pemberangkatan jamaah haji masa kolonial Belanda.
Resolusi 1825
Resolusi ini merupakan upaya dari antisipasi adanya gerakan atau pelopor kemerdakaan oleh orang-orang yang telah melaksanakan ibadah haji. Selain itu hal yang melatar belakangi adanya Resolusi 1825 ini adalah adanya sekitar 200 calon jamaah haji yang mengajukan permohonan izin dari Pemerintah Belanda untuk melaksanakan ibadah haji ke tanah suci. Isi dari Resolusi 1825 ini diantaranya adalah Penetepan Ongkos Naik Haji (ONH). Yaitu sebesar f.110 (sudah termasuk paspor haji, paspor haji wajib dimiliki tiap jamaah haji).
Resolusi 1831
Resolusi tahun 1831 merupakan aturan baru dikeluarkan untuk merevisi dari Resolusi 1825. Bahwasanya pada resolusi 1831 ini, setiap jamaah haji harus membayar Ongkos Naik Haji (ONH) dua kali harga sebuah paspor, yaitu f. 220. Peraturan ini berlaku hingga tahun 1859 ketika pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan kebijakan baru.
Ordonasi 1859
Ordonasi 1859 dibuat lebih ketat dari sebelumnya, dengan dalih pemerintah agar minat ibadah haji ke Mekkah semakin bekurang. Salah satu latar belakang terumusnya Ordanasi 1859 adalah banyaknya penyalahgunaan gelar ‘haji’ oleh jamaah haji yang ke tanah suci. Bahkan tidak sedikit ditemukan nya jamaah haji yang tidak kembali pulang ke tanah air, sehingga menimbulkan masalah-masalah kecil dilingkungan ekonomi-sosial keluarga yang ditinggal.
Berikut isi dari Ordonasi 1859:
- Mewajibkan calon jamaah haji memiliki surat keterangan (izin) dari Bupati. Yaitu menunjukan bahwa dia, memiliki cukup biaya baik untuk perjalanannya pulang-pergi, maupun kebutuhan sandang pangan sanak keluarga yang ia tinggal.
- Sepulang dari tanah suci, jamaah haji tersebut akan menghadapi ujian / tes dari Bupati, yang dengan dasar itu mereka akan diizinkan menyandang gelar ‘haji’ dan memakai pakaian haji bergaya Arab.
Karena pada kasusnya, banyak yang melaksanakan keberangkatan haji ke Mekkah, ketika transit kapal di Singapura ia bekerja di sana, lalu langsung kembali ke Indonesia tanpa melanjutkan perjalanan haji ke Mekkah, sehingga disandangkan gelar padanya ‘Haji Singapura’.
Menyikapi hal tersebut, pemerintah daerah akan melaksanakan penyeledikan terhadap jamaah haji yang baru pulang dari Mekkah. Hasil dari penyelidikan tersebut akan diberi sertifikat dan izin berpakaian ala Arab bagi yang lulus ujian. Bagi yang tidak lulus dan terbukti ia tidak mengunjungi Mekkah dan melaksanakan haji, maka ia tidak akan mendapatkan sertifikat haji, tidak boleh memakai pakaian ala Arab, dan dikenakan denda sebesar f. 25 hingga f.100 untuk tiap-tiap pelanggaran.
Di antara tujuan dari penerapan peraturan-peraturan tesebut adalah:
- Dengan maksud politik yang mendalam, yaitu agar Pemerintah Hindia Belanda dapat mengontrol jamaah haji yang sedang bermukim (berguru ilmu agama) di Mekkah, sehingga Pemerintah Belanda dapat mengendalikan sikapnya dari hal-hal yang merugikan pihak Hindia Belanda, seperti terjadinya perlawanan/ pemberontakan terhadap kolonial Belanda.
- Membatasi jumlah jamaah haji di Nusantara dengan cara maninggikan Ongkos Naik Haji (ONH) dan menjatuhkan denda bagi pelanggar-pelanggar kebijakan Pemerintah Belanda. Karena sejak terbukanya Terusan Suez, jumlah jamaah haji pertahunnya membludak dari tahun-tahun sebelumnya.Sumber: M. Dien Madjid, Berhaji di Masa Kolonial (Jakarta: CV Sejahtera, 2008).