(Mem)Budayakan Membaca, (Me)Lestarikan Menulis
Oleh: M. Syarofuddin Firdaus
Sebagai seorang akademisi, kiranya telah menjadi kesepakatan bersama akan keharusan memperluas cakrawala pengetahuan guna meneguhkan identitasnya yang sedang bergumul dengan berbagai macam ilmu pengetahuan. Terlebih menyandang status tambahan yang masa aktifnya berlaku sepanjang hidup di dunia; [maha]santri. Ya, begitulah kira-kira yang familiar di kalangan pesantren bahwa santri adalah identitas abadi! (Selanjutnya akan disebut pelajar karena dianggap lebih menengahi dalam penyematan nama antara akademisi dan [maha]santri).
Seorang pelajar dituntut untuk menimba ilmu sebanyak mungkin, tanpa batas dan tanpa pengecualian. Segala macam disiplin ilmu dibolehkan ditimba bagi setiap pelajar. Meskipun pada nyatanya hal tersebut tetap kembali kepada minat masing-masing. Dan tak jarang juga akan adanya kesadaran dalam diri seorang pelajar terhadap batas kemampuan otak yang dimilikinya dalam menerima suatu pengetahuan, sehingga ia hanya mempelajari beberapa saja dari sekian banyak bidang disiplin ilmu yang ada.
Selain fakta tersebut, hal lain yang dijadikan pembatas akan mempelajari berbagai disiplin ilmu adalah adanya pemetakan disiplin ilmu itu sendiri di lembaga pendidikan, terutama di perguruan tinggi/universitas. Akibatnya tak sedikit dari sekian banyak pelajar yang hanya memfokuskan dirinya pada materi-materi yang disuguhkan oleh pihak universitas. Hal itu secara tidak langsung membatasi dirinya untuk tidak menimba ilmu pengetahuan lainnya, yang secara otomatis juga menciptakan semacam jurang pemisah yang semakin menggalinya semakin lebarlah jurang tersebut. Ketika benar-benar lebar, maka ia tidak dapat melihat sesuatu yang berada di seberang jurang tersebut. Artinya, pengetahuannya hanya sebatas apa yang tertera pada materi tersebut, dan buta terhadap pengetahuan yang lain.