Menilik Kode Etika Dakwah Nabi saw; Catatan Singkat Tadarus Karya Kiai Ali Mustafa Yaqub

Majalah Nabawi – Dakwah merupakan upaya seseorang untuk mempengaruhi orang lain. Agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan baik bagi da’i ataupun pihak yang didakwahi, dakwah Nabi saw terdahulu mengenal adanya ‘aturan-aturan permainan’ atau yang dikenal sebagai kode etika dakwah.

Secara umum etika dakwah merupakan etika Islam itu sendiri. Di mana seorang da’i, sebagai seorang muslim dituntut untuk memiliki etika-etika yang terpuji dan menjauhkan diri dari perilaku-perilaku tercela. Namun, untuk dakwah sendiri ada etika-etika khusus seperti yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw berikut ini.

Tidak Memisahkan antara Ucapan dan Perbuatan

Dalam berdakwah Nabi saw tidak pernah memisahkan antara apa yang beliau katakan dengan apa yang beliau kerjakan. Artinya, apa yang beliau perintahkan, beliau pun mengerjakannya. Begitu pula apa yang beliau larang, beliau meninggalkannya. Dengan demikian para sahabat tidak kesulitan dalam melakukan apa yang beliau perintahkan karena telah melihat praktek dari perintah-perintah tersebut. Tetapi ada kalanya Nabi saw tidak melakukan apa yang beliau perintahkan, seperti perkara yang menyangkut kewanitaan. Dan sebagai gantinya, biasanya salah satu istri beliau mencontohkannya.

Etika dakwah seperti ini merupakan suatu keharusan bagi para da’i. Dan nampaknya, tanpa hal itu dakwah mereka akan jauh dari kata berhasil. Bahkan Allah mengancam orang-orang yang hanya pandai dalam berbicara tetapi tidak melaksanakannya.

يَأَيُّهَا الّذِيْنَ أمَنُوْا لِمَ تَقُوْلُوْنَ مَالَا تَفْعَلُوْنَ (2) كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللّهِ أَنْ تَقُوْلُوا مَالَا تَفْعَلُوْنَ (3)

“Hai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan hal-hl yang kalian tidak melakukannya? Amat besar murka di sisi Allah, bahwa kalian mengatakan apa-apa yang tidak kalian kerjakan” (al-Shaff : 2-3)

Tidak Melakukan Toleransi Agama

Toleransi memang dianjurkan oleh Islam. Tetapi dalam batas-batas tertentu dan tidak menyangkut masalah agama (aqidah). Dalam masalah agama (aqidah), Islam memberikan garis tegas untuk bertoleransi, kompromi, dan sejenisnya.

Tidak Mencerca Sesembahan Lawan

Pada waktu Nabi saw masih tinggal di Makkah, orang-orang musyrik mengatakan bahwa Nabi saw sering mencerca sesembahan mereka. Dengan begitu secara emosional mereka mencerca Allah sesembahan Nabi saw. Orang-orang muslim pada kala itu juga sering mencerca sesembahan orang-orang musyrik. Akhirnya, hal tersebut membuat orang-orang musyrik mencerca Allah, kemudian Allah menurunkan ayat yang berbunyi:

وَلَا تتَسُبُّوا الَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللّهِ فَيَسُبُّوا اللّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ

“Dan janganlah kamu memaki sesembahan-sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memki Allah dengan melmpaui batas tanpa pengetahuan” (al-An’am : 108)

Tidak Melakukan Diskriminasi

Dalam menjalankan tugas dakwah, Nabi saw tidak melakukan diskriminasi sosial di antara orang-orang yangmenjadi objek dakwahnya. Beliau tidak mementingkan kelas elite saja, sementara orang-orang kelas bawah dinomorduakan.

Tidak Memungut Imbalan

Satu hal yang penting dalam dakwah Nabi saw juga nabi-nabi sebelumnya, beliau tidak pernah memungut imbalan atas objek dakwah. Beliau hanya mengharap imbalan dari Allah swt.

Lantas, apakah memungut imbalan dari pihak yang didakwahi itu dilarang secara mutlak? Ada tiga pendapat berbeda terkait masalah ini:

1. Memungut imbalan dalam menyiarkan agama mutlak keharamannya, baik ada perjanjian atau tidak sebelumnya. Ini merupakan pendapat para ulama Madzhab Hanafi

2.Memungut imbalan dalam menyiarkan agama boleh hukumnya, baik ada perjanjian atau tidak sebelumnya. Ini merupakan pendapat Imam Malik bin Anas, Imam al-Syafi’i, dll.

3.Memungut imbalan dalam menyiarkan agama hukumnya haram jika ada perjanjian sebelumnya, dan boleh jika tidak ada perjanjian sebelumnya. Ini merupakan pendapat al-Hasan al-Bashri, al-Sya’bi, Ibnu Sirin, dll.

Yang menjadi perhatian di sini bahwa perbedaan pendapat para ulama ini adalah dalam hal menyebarkan agama Islam (berdakwah). Misalnya mengajarkan al-Quran, Hadis, Fiqih, dll. Sedangkan dalam hal membaca al-Quran, para ulama sepakat mengharmkannya. Alasannya karena dalam proses mengajar ada unsur jasa, yang mana adanya transfer ilmu dari da’i kepada objek dakwah Sedangkan membaca al-Quran benar-benar ibadah murni kepada Allah seperti halnya ibadah salat.

Tidak Berkawan dengan Pelaku Maksiat

Ternyata dahulu saat berdakwah, Nabi saw tidak pernah berkawan dengan pelaku maksiat, bukan berarti di zaman Nabi tidak ada pelaku maksiat, tetapi memang begitulah etika dakwah. 

Mengawani pelaku maksiat akan berdampak serius karena pelaku maksiat akan merasa tindakannya direstui oleh da’i yang mengawaninya. Ini tentu saja berlaku selama si pelaku maksiat masih berprofesi dengan maksiat tersebut, namun jika telah meninggalkan maksiatnya, bertaubat, dll tentulah akan berbeda masalahnya. 

Nabi Muhammad saw justru mengungkapkan bahwa da’i yang akrab dengan pelaku maksiat, Allah swt akan melaknatnya.

Tidak Menyampaikan Hal-Hal Yang Tidak Diketahui

Seorang da’i merupakan penyampai ajaran agama Islam. Seorang da’i yang menyampaikan suatu hukum, sementara ia tidak tahu mengenai hukum tersebut, maka itu akan menyesatkan orang lain. Ia lebih baik mengatakan tidak tahu atau wallahu ‘alam jika ia tidak mengetahui jawaban dari suatu permasalahan. Dalam hal ini Allah menegaskan:

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِه عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ اُولئِك كَانَ عَنْهُ مَسْؤُوْلاً

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang tidak kamu ketahui. Karena sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati; semua itu akan dimintai pertanggungjawabannya”. (al-Isra: 36)

Similar Posts