Menjual Makanan di Siang Hari Bulan Ramadhan
Bulan Ramadhan menjadi bulan yang dinanti-nanti dan diharap kedatangannya oleh umat islam. Berbagai kegiatan ibadah kerap ramai dilakukan pada bulan diturunkanya al-Qur’an ini. Mulai dari ibadah individual seperti puasa, shalat tarawih, dan tadarus al-Quran, sampai pada ibadah sosial seperti zakat yang menjadi media bagi umat islam saling berbagi dan memberi pada sesama terutama bagi yang kurang mampu.
Salah satu inti ibadah yang hanya ada pada bulan ramadhan adalah puasa shaum. Dalam berbagai literatur agama yang bernuansa fiqh dijelaskan bahwa, pengertian shaum adalah menahan diri dari lapar, dahaga, dan segala yang membatalkan puasa dari terbitnya matahari (subuh) sampai terbenam matahari (maghrib).
Dari definisi di atas sejenak dapat kita pahami bahwa inti dari puasa adalah menahan. Seputar kata menahan ini, ada sedikit problem dalam aplikasinya terutama di negara kita Indonesia. Meski sudah dibahas berulang kali, namun masalah ini tetap hangat diperbicangkan yaitu tentang bukanya warung makan di siang hari pada saat orang berpuasa.
Bolehkah warung makan membuka jam pelayanan di saat orang sekitarnya sedang berpuasa dan menahan untuk tidak makan?.
Bagai berenang dalam lautan yang dalam sambil membawa beban, di satu sisi tentu ini sedikit mengganggu orang sekitar yang sedang berpuasa, namun di sisi yang lain bagaimana nasib para pemilik warung yang sudah menjadi mata pencahariannya, bagaimana nasib ekonomi mereka, dan bagaimana pula nasib orang yang diperbolehkan tidak berpuasa seperti dia yang sedang bepergian jauh namun kemudian kesulitan mencari makan dikarenakan warung makan di sepanjang jalan semua tutup.
Bagaimanakah Islam menyikapi hal dilematis semacam ini, sebagai agama yang rahmatan lil alamin, bagaimanakah langkah solutif Islam yang bijak. Berikut jawaban sederhana yang bisa ditawarkan sebagai langkah solutif dengan pendekatan filosofis hubungan puasa dan manusia, serta pendapat para ulama fiqh.
Hikmah Tuhan memerintahkan umat Islam menahan diri selama 30 hari dalam satu tahun berpuasa sebenarnya untuk meningkatkan kualitas keimanan dan ketaqwaan seorang muslim. Dengan adanya puasa, seorang muslim dapat memperbaiki kualitas ketakwaanya. Hal ini sebagaimana termaktub dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 183 yang berbunyi:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Berbicara tentang takwa, berbicara pula tentang hakikat sebenarnya diciptakannya manusia oleh sang pencipta. Manusia yang bertakwa adalah manusia yang paripurna secara moral dan akhlak. Salah satu tanda ketakwaan orang berpuasa adalah mau menghormati orang lain yang tidak berpuasa, baik yang berhalangan puasa sesama muslim sendiri maupun pengannut agama lain.
Dari sini dapat dijawab bahwa, bukanya warung makan pada siang hari saat orang berpuasa adalah boleh-boleh saja sebagai bentuk rasa penghormatan pada dia yang tidak berpuasa.
Inilah wujud Islam rahmatan lil ‘alamin ketika ajaran agama tetap dijalankan dengan tetap menjaga rasa kemanusiaan, toleransi, dan tetap menghormati yang berbeda. Namun untuk menjaga kewibawaan ajaran agama, tentu ada syarat-syarat dan batas-batas tertentu yang harus diperhatikan dalam kebolehan membuka warung di siang hari ini. Pendapat di atas sebagaimana pendapat ulama dalam kitab fiqh I’aanah at-Thalibin.
Jelas kalau menjual saja hukumnya boleh boleh saja, namun jika terdapat dugaan kuat bahwa pembeli tersebut akan memakan disiang hari pada bulan puasa itu maka hukumnya dalah Haram. Keterangan dari kitab :
وقوله من كل تصرف يفضي إلى معصية بيان لنحو وذلك كبيع الدابة لمن يكلفها فوق طاقتها والأمة على من يتخذها لغناء محرم والخشب على من يتخذه آلة لهو وكإطعام مسلم مكلف كافرا مكلفا في نهار رمضان وكذا بيعه طعاما علم أو ظن أنه يأكله نهارا
(Keterangan “dari setiap tindakan yang berakibat maksiat”) seperti menjual Hewan tunggangan pada orang yang akan membebaninya diluar batas kemampuannya, menjual Budak wanita untuk menyanyi yang diharamkan, menjual kayu pada orang yang akan memakainya untuk alat malaahi, dan seperti orang muslim dewasa yang memberi makanan pada orang kafir dewasa disiang hari ramadhan, begitu juga menjual makanan bila yakin atau menduga kuat ia akan memakannya disiang hari ramadhan. [ I’aanah at-Thaalibiin III/24 ]. Wallahu a’lam bishowab.