Menyoal Hadis Kebolehan Merampok atas Nama Fai

Percaya atau tidak, sebagian kecil umat Islam di Indonesia ada yang berpemahaman ekstrim. Kelompok yang berpemahaman ekstrim ini biasanya itu mereka yang menganggap bahwa Indonesia itu adalah darul kufri (negara kafir) yang menerapkan sistem demokrasi dengan Pancasila dan UUD 45 sebagai dasar bernegara. Menurut mereka, Indonesia bukan negara Islam karena tidak menerapkan syariat Islam secara kaffah.

Di antara kelompok ini ada yang memiliki pemahaman bahwa menipu, mencuri, dan merampok harta orang yang mereka anggap musyrik atau kafir itu halal. Perlu diketahui, orang musyrik menurut mereka itu adalah orang-orang yang bertawasul kepada orang-orang salih yang sudah meninggal. Sementara, orang kafir menurut mereka itu orang yang berhukum selain pada hukum Allah.

Sekalipun beragama Islam, tapi orang yang mempercayai selain hukum Allah itu disebut kafir murtad. Harta orang yang mereka anggap musyrik dan kafir murtad itu oleh mereka disebut dengan harta fai. Dalam hal ini, penulis tidak ingin menyebut siapa dan kelompok mana yang memiliki pemahaman demikian, namun penulis hanya ingin meluruskan pemahaman yang kelihatannya janggal apabila semua harta orang yang mereka anggap kafir atau musyrik kemudian boleh diambil. Oleh karena itu, penulis ingin meluruskan pemahaman hadis yang biasa mereka gunakan berkaitan dengan fai.

Biasanya, hadis yang dijadikan pedoman dalam melakukan aksi fai adalah perbuatan Abu Bashir atau sahabat yang memiliki nama asli ‘Utbah bin Usaid bin Jariyah ats-Tsaqafi saat membunuh dan mengambil harta kafir Quraisy yang hendak melakukan perjalanan ke Syam. Hadis tersebut diriwayatkan dalam kitab-kitab induk hadis, seperti Shahih al-Bukhari, Sunan Abi Daud, Musnad Ahmad, dan lain sebagainya. Hadis mengenai peristiwa Abu Bashir itu memang benar adanya. Namun, pemahaman segelintir umat Islam yang menjadikan hadis tersebut untuk melegalkan melakukan fai di Indonesia sungguh sangat keliru bila melihat konteks utuh hadis tersebut.

Peristiwa Abu Bahsir di atas terjadi pasca perjanjian Hudaibiyah yang terjadi pada enam hijriah. Salah satu isi perjanjian Hudaibiyah adalah jika ada warga Mekah yang menyebrang kawasan Madinah tanpa seizin dari walinya maka akan dikembalikan ke Mekah. Sementara itu, jika ada warga Madinah yang menyebrang kawasan Mekah maka tidak diperbolehkan kembali ke Madinah. Salah satu yang menentang kebijakan isi perjanjian Hudaibiyah ini adalah sahabat Umar. Walaupun ditentang keras oleh Umar, Nabi tetap teguh pada pendiriannya. Ketika perjanjian Hudaibiyah selesai dicatat, dan Nabi beserta para sahabat selesai melakukan umrah, maka semuanya kembali ke Madinah dengan rasa aman tanpa adanya pertumpahan darah.

Setelah Nabi tiba di Madinah, tidak berapa lama kemudian Abu Bashir yang merupakan anggota suku Bani Zuhrah, salah satu suku terbesar di Mekah, kabur dari keluarganya yang belum Islam, dan waktu itu dia sudah menjadi seorang Muslim. Setelah Abu Bashir tinggal di Madinah selama tiga hari, ada dua orang utusan dari Bani Zuhrah yang diperintah untuk menjemput Abu Bashir sesuai kesepakatan Hudaibiyyah, “Orang Mekah yang datang ke Madinah harus dikembalikan.”

Dua orang utusan tersebut adalah Khunais bin Jabir dan Kautsar. Keduanya tersebut diperintah oleh keluarga Abu Bashir, yaitu Akhnas bin Syariq, saudara dekat Abu Bashir, dan Azhar bin ‘Auf. Karena menepati perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah mengembalikan Abu Bashir kepada dua orang utusan tersebut, “Abu Bashir, penduduk Mekah itu kan sudah membuat perjanjian damai di Hudaibiyah sebagaimana kamu ketahui. Tentu kami tidak mungkin melanggar janji tersebut. Kembalilah kamu bersama keluargamu di Mekah.”

“Rasul, apakah Anda tega mengembalikan saya ke tangan orang-orang musyrik? Tentu mereka akan melecehkan agama saya dan menyiksa saya di sana,” protes Abu Bashir kepada Rasulullah. “Sudahlah, kamu pasrah dan berserah diri pada Allah. Pasti Allah akan memberikan kamu kelapangan dan jalan keluar,” jawab Rasulullah menenangkan Abu Bashir. Sebelum berangkat bersama kedua utusan dari Mekah tersebut, sahabat Umar membisiki Abu Bashir, “Sudahlah tak usah takut, dia lelaki, dan Anda juga lelaki, apalagi Anda membawa pedang.” Ini isyarat dari sahabat Umar kepada Abu Bashir untuk melawan.

Singkat cerita, ketika sudah tiba di Dzul Hulaifah menuju Mekah, Abu Bashir melakukan perlawanan seperti yang disarankan Umar. Akhnas bin Jabir pun tewas seketika. Satu utusan lagi, yaitu Kautsar, langsung ketakutan dan kembali mengadu kepada Rasulullah atas perbuatan Abu Bashir. Saat itu Abu Bashir mengikuti Kautsar di belakangnya.

“Rasul, semoga engkau tidak menghukum saya atas perbuatan yang saya lakukan. Saya yakin kalau saya kembali ke suku saya di Mekah, mereka pasti akan melecehkan agama saya, dan saya melakukan apa yang saya bisa lakukan. Sementara, di antara saya dan mereka itu tidak janji dan tuntutan apa-apa. Allah pun menyelamatkan saya dari mereka,” jelas Abu Bashir pasca melakukan perlawanan terhadap Akhnas bin Jabir hingga tewas.

Rasulullah merespon tidak setuju atas perbuatan Abu Bashir, “Wah sembrono Anda. Sama saja Anda itu mau mengobarkan perang, Abu Bashir.” Abu Bashir pun sadar bahwa Rasulullah tidak merestui perbuatannya, dan berharap ia tetap kembali ke sukunya di Mekah sesuai perjanjian Hudaibiyah. Akhirnya Abu Bashir pergi dan tiba di dusun al-‘Ish (saat ini masuk dalam teritori Provinisi Madinah).

Dulu daerah ini merupakan jalur yang dilalui oleh pendudukan Mekah untuk melakukan kegiatan ekonomi menuju Syam. Abu Bashir pun menetap di sini untuk beberapa waktu lama, dan disusul sekitar ratusan Muslim yang kabur dari Mekah, di antaranya ada Abu Jundal. Sekelompok umat Islam yang ada di daerah al-‘Ish ini enggan melanjutkan perjalanan menuju Madinah karena khawatir Rasulullah Saw. mengembalikan mereka lagi ke Mekah sesuai perjanjian Hudaibiyah.

Nah, di sini ratusan umat Islam melakukan perlawanan terhadap setiap sekelompok orang musyrik melalui al-‘Ish hendak melakukan perjalanan ke Syam. Setiap ada kafilah orang-orang musyrik Mekah, umat Muslim langsung menyetop, membunuh, dan mengambil harta mereka.

Setelah mendapatkan tekanan seperti ini, akhirnya suku Quraisy mengutus Abu Sufyan bin Harb untuk menyampaikan penghapusan salah satu isi perjanjian Hudaibiyah dan direvisi. “Siapa pun dari suku Quraisy yang hendak masuk Islam dan tinggal bersamamu di Madinah, maka itu diperbolehkan dan tidak terlarang,” pesan Abu Sufyan kepada Nabi atas revisi perjanjian Hudaibiyah.

Kalimat di atas yang digarisbawahi dijadikan landasan oleh segelintir kelompok umat Islam untuk menghalalkan aksi pencurian atas nama fai. Padahal menurut Syekh Wahbah al-Zuhaili dalam al-fiqhul islamiy wa adillatuh mendefinisikan harta fai adalah harta yang diambil dari kafir harbi (orang kafir yang memerangi umat Islam) tanpa adanya peperangan. Kata Syekh Wahbah, ketika seseorang kafir harbi memasuki kawasan atau daerah umat Islam dalam masa gencatan senjata, dan salah satu orang Islam mengambil harta tersebut maka itu termasuk harta fai bagi bagi umat Musim, bukan hanya milik orang yang mengambilnya saja. Hal ini menurut Syekh Wahbah adalah pendapat Imam Abu Hanifah.

Apakah kelompok tersebut menganggap semua orang yang ada di Indonesia sebagai kafir harbi (kafir yang memerangi umat Islam)? Padahal di Indonesia tidak ada peperangan apapun. Selain itu, Abu Bashir melakukan perlawanan dan tekanan saat di al-‘Ish karena ia ditindas menjalankan agamanya dan disiksa karena masuk Islam. Bukankah di Indonesia umat Islam bebas menjalankan ibadah dan mengamalkan ajaran agama? Bahkan sebagian hukum Islam dijadikan undang-undang dalam hukum negara Indonesia, seperti undang-undang pernikahan, wakaf, waris, dan lain sebagainya. Mengapa masyarakat di Indonesia disamakan oleh sekelompok umat tersebut dengan Kafir Quraisy? Padahal mayoritas masyarakat Indonesia adalah umat Islam.

Menurut Imam Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, perlawanan yang dilakukan oleh Abu Bashir terhadap orang musyrik yang menindas dan melarang kebebasan beragama itu dibenarkan. Selain itu, menurut Ibnu Hajar, apa yang dilakukan Abu Bashir membunuh Akhnas bin Jabir yang sudah diceritakan di atas tidaklah melanggar perjanjian Hudaibiyah, karena saat itu Abu Bashir di penjara di Mekah, dan tidak termasuk bagian dari perjanjian Hudaibiyah antara Nabi dan suku Quraisy. Perlawanan yang dilakukan Abu Bashir hanyalah untuk menyelamatkan dirinya dari siksaan.

Bila sekelompok umat itu merasa ditindas karena kelompok mereka ditangkap oleh pihak keamanan itu sangatlah wajar, karena mereka melakukan perlawanan terhadap negara dan pemimpin yang sah. Dalam fikih, mereka dikategorikan sebagai bughat yang mana negara berhak menghukumnya sesuai hukum yang berlaku di Indonesia.

Artikel ini sebelumnya diterbitkan oleh Islami.co

Similar Posts