Model Pesantren Alam Versi Kiai Ali Mustafa Yaqub
Majalahnabawi.com – Tahun 2013 adalah puncak pemikiran pak kiai, khususnya dalam bidang pendidikan. Pada tahun ini beliau sedang membangun gedung pesantren putra dan juga rumah hunian untuk para dosen. Pada tahun itu pula, pemikiran beliau tentang manajemen pendidikan pesantren benar-benar teraplikasikan dengan baik. Mendekati sempurna, karena tiga tahun setelah itu, beliau meninggal dunia.
Dalam membangun gedung baru itu, beliau tak lupa melengkapinya dengan taman indah. Beliau sangat menyukai alam hijau. Suasana pondok yang serba hijau.
Cukup mahal biaya pembuatan taman saat itu. Puluhan juta harus dikeluarkan untuk menciptakan pondok yang sejuk, asri, dan hijau.
Bahkan, tak jarang berliau memberikan pelajaran khusus kepada para santri yang tidak disiplin dalam urusan kebersihan dan kerapihan, dengan cara “dihipnotis” agar berubah menjadi disiplin. Ya, hipnoterapi itu biasanya dilakukan dengan cara deklarasi di depan seluruh santri. Santri yang tidak disiplin di bidang ini, biasanya diutus untuk maju ke depan kelas, lalu mengikrarkan berulang-ulang sebuah komitmen,
أُحِبُّ النَّظَافَةَ وَاْلاِنْتِظَامَ
“Saya cinta kebersihan dan kerapihan”
Minimal santri tersebut harus mengikrarkannya sebanya sepuluh kali. Ya, begitulah hipnoterapi yang sederhana.
Di lain kesempatan, beliau juga berkali-kali mengingatkan kami, baik secara langsung maupun melalui telpon.
Misalnya, saat beliau lewat depan pondok, lalu melihat jemuran yang tidak rapi, ada pakaian yang dijemur di pagar, digantung di jendela kamar, atau sandal tidak rapi, hingga sampah plastik dan daun yang tampak di halaman, maka beliau pasti langsung mencari kami. Kadang langsung memanggil kami jika sedang di rumah atau di pondok. Kalau nggak, pasti langsung menelpon dan kemudian bercerita bahwa pondoknya tidak rapi dan kotor, banyak sampah berserakan.
“Syuf, ij’al al-ma’had fil hadiqah, wal hadiqah fil ma’had.”
[Hey, Jadikan pondok ini di dalam taman, dan jadikan taman dalam pondok!]
Taman, bagi beliau memiliki makna yang dalam. Bukan sekedar bunga-bunga, hijau-hijauan. Tapi simbol kerapian dan kebersihan. Orang yang memiliki taman dan memeliharanya, pasti akan peduli dengan kerapian dan kebersihan. Begitulah penjelasan beliau lebih lanjut saat itu. Jadi, taman di dalam pondok ini bukan sekedar gaya-gayaan.
Selanjutnya, beliau menginginkan bahwa dengan taman, suasana belajar akan semakin nyaman. Pandangan santri tidaklah benda-benda mati dan keras seperti tembok, tiang, pintu, batu, dan seterusnya. Belajar dalam suasana natural yang asri pasti akan lebih menjaga pikiran dan hati tetap segar dan jernih. Jarak pandang pun menjadi tampak lebih luas dan jauh, meskipun sebenarnya lokasinya sempit.
Begitulah fungsi taman. Memperluas jangkauan pandangan mata, memperluas jangkauan otak dalam menyerap ilmu. Apalagi, untuk konteks pondok di kota besar yang lahannya sangat terbatas. Tanpa taman, entah santri akan jadi seperti apa.
Dengan taman itu, sebenarnya beliau juga ingin menjadikan pesantren ini seperti sekolah alam. Beliau suka sekali dengan nuansa itu. Ya, Pesantren Alam, Pesantren of Universe. Tampaknya, istilah ini masih asing di kalangan praktisi pesantren. Banyak pesantren yang memiliki kekayaan alam dan dibuat senatural mungkin, tapi bagi beliau tidak memenuhi kriteria, “Pondok dalam taman, dan taman dalam pondok,” tersebut.
Di sinilah, dalam hal urusan taman, kebersihan, ketertiban, keindahan, dan kerapihan, beliau meletakkannya sebagai hal yang sangat prinisp dalam pendidikan. Taman, bagi beliau adalah merupakan wujud dari salah satu trilogi pendidikan di Darus-Sunnah yang tak boleh dipisah-pisah antar satu sama lain. Taman merupakan wujud nyata dari “Istijmâm [recreation],” yang merupakan bagian dari kurikulum wajib Darus-Sunnah, selain dirâsah (study), dan munazzhamah (organisation).
Istijmâm adakalanya di luar, yang diagendakan rutin setiap tahun atau secara mandiri pada saat liburan semester. Adakalanya, juga di dalam pondok. Dan, ini yang terpenting. Istijmâm santri yang di dalam pondok inilah yang kemudian difasilitasi dengan adanya taman.
Karena itu, beliau selalu marah besar jika kurikulum istijmâm ini tercemari oleh sampah atau ketidakrapian, ketidaktertiban, dan ketidakindahan. Puncaknya adalah, jika sudah berkali-kali diingatkan, koq masih juga mendapati sampah atau jemuran yang tidak tertib, beliau akhirnya mengeluarkan senjata terakhirnya,
“Syuf, hal turîd an amûta bis-sur’ah?!”
[Hey, kamu ingin saya cepat mati, ya?!]
Sampah memang seringkali membuat beliau jadi pusing. Begitu pula ketidakrapian dan ketidaktertiban. Karena itu, puncak teguran beliau adalah sampai pada kata-kata yang demikian menghentakkan itu.
Semoga, Darus-Sunnah selalu bersih, rapi, tertib, dan indah seperti cita-cita Pesantren of Univers nya Pak Kiai. Begitulah pemikiran pendidikan yang beliau tuangkan di akhir-akhir hayatnya. Lantas, masihkah kita mau meneruskannya?
Penulis: Ustadz Dr. Ahmad ‘Ubaydi Hasbillah, M.A. Hum.