adab

Majalahnabawi.com – Tirakat? Apa itu tirakat? Kenapa ia begitu penting sehingga dibutuhkan dalam pendidikan? Bukankah pendidikan itu cukup butuh pendidik, peserta didik, kurikulum, dan sarana prasarana sederhana, sudah cukup? Lalu, dimana posisi tirakat itu?

Ada yang bilang bahwa tirakat adalah bentuk jawanisasi kata tharîqah  yang dalam bahasa Arab dipakai untuk menunjukkan makna “jalan yang dilalui.” Ada yang bilang, bukan begitu. Tapi, seakar kata dengan taraka, yatruku, tarkan,wa tirkânan, yang berarti meninggalkan sesuatu. Ya, begitulah sumber lisan mengklarifikasi asal usul kata tirakat yang begitu popular, khususnya di lingkungan pesantren.

Jika ia berasal dari tharîqah yang  telah mengalami jawanisasi alias vernakularisasi maka ia akan mirip dengan kata tarekat yang juga jelas-jelas terambil dari kata tharîqah itu. Tharîqah yang divernakularisasi menjadi tirakat ini berarti sebuah perilaku menempuh jalan spiritual untuk mencapai suatu keinginan. Tirakat juga popular dengan istilah riyâdlah, yang umumnya dalam bahasa kita diterjemahkan menjadi olah raga. Namun, kali ini yang diolah bukan raganya, melainkan jiwanya. Ya, tirakat adalah olah jiwa. Ibaratnya, jika senam adalah riyâdlahnya raga (olah raga), maka tirakat adalah riyâdlah nya jiwa (olah jiwa).

Tirakat yang berasal dari tharîqah ini ditempuh dengan cara menahan atau meninggalkan hawa nafsu untuk mengasah batin agar lebih tajam dan mudah menerima kebenaran dan ilmu pengetahuan serta mendekatkan diri kepada Sang Mahapemiliknya. Tirakat biasanya ditempuh dengan cara puasa, membaca al-Quran, dzikir, atau dengan cara hidup sederhana secukupnya.

“Bapak-ibu, Belajar itu butuh tirakat.” Ya, begitulah pesan Kiai Ali Mustafa Yaqub siang itu mengawali sambutannya berbahasa Indonesia.

“Santri itu harus tirakat. Dulu, santri itu tirakatnya dengan puasa bertahun-tahun, makan ala kadarnya. Pakaian ala kadarnya, dan tidak keluyuran kemana-mana dan tidak sering pulang.”  Kata beliau melanjutkan sambutan halal bihalal kedua yang dihelat oleh keluarga besar Madrasah Darus-Sunnah siang itu.

“Dulu, bapak-ibu, kami ketika nyantri di Tebuireng, makanan saya yang paling enak itu adalah sate. Santri sekarang mungkin juga sama, sate, makan paling enaknya.” Kisahnya yang mulai membuat para hadirin makin keroncongan perutnya.

“Tapi sate jaman dulu itu beda dengan sate sekarang.Sate kesukaan saya dulu itu bukansate kambing atau sate ayam. Tapi, sayur terong.” Glerrrrr…. Seketika tawa hadirin itu melupakan rasa laparnya.

“Pernah suatu ketika, malam-malam, tidak ada listrik, hujan lebat, tidak ada persediaan makanan apapun. Lauk tidak punya. Hanya tinggal beras sama garam saja. Perut sudah kelaparan. Mau masak koq gak ada lauknya. Akhirnya sambil masak nasi, kami cari sayuran malam-malam. Bukan ke warung, tapi ke kebon. Akhirnya nemu pohon lamtoro (petai cina). Mending kalau buahnya, masih enak itu. Ini daunnya. Daun lamtoro. Akhirnya kami potong cabangnya. Trus disisir daunnya. Setelah terambil semua daunnya, barulah direbus dengan bumbu garam. Itu sudah lezat sekali.”  Para hadirin makin serius membayangkan kisah kenangan tahun 1960-1970-an itu.

“Dulu, sewaktu mondok, kami tidak pernah dikunjungi orangtua. Jadi, wajar kalau tidak pernah punya uang. Kalau dikirim pun kadang bukan dikirim uang, tapi beras dan bumbu-bumbu atau sebagian hasil tani. Setelah itu dimakan rame-rame. Kami juga tidak pernah pulang. Lebaran tidak pulang. Bahkan, saat ayah kami meninggal dunia pun, kami tidak pulang. Kata senior yan gjuga guru kami saat itu, ‘Sudah, kamu di sini saja. Tidak usah pulang. Anggap saja saya ini seperti ayahmu.’” Hadirin pun makin penasaran, lupa dengan tirakat yang menjadi kebutuhan santri itu, karena serius menyimak kisah mondok zaman dulu.

“Dulu, kami punya baju itu hanya tiga pasang saja. Setiap hari, ada yang dicuci, ada yang dijemur, dan satu lagi kami pakai. Hampir tidak ada baju yang disimpan dalam lemari. Itu hampir sepuluh tahun seperti itu.”  Aduh, makin ngeri jadi santri kalau begini.

“Lalu, kami selama mondok juga tidak pernah kemana-mana. Hanya di pondok saja. Belajar. Yang lain main bola, jalan-jalan ke pasar, mungkin kalau sekarang jalan-jalan ke mall, kami hanya diam di pondok.” Wah, ini sih bisa membuat anak-anak jadi tidak luas jaringannya, tidak luas wawasannya, dan kuper.

“Kalau tidur, tidak ada itu yang pakai kasur dan bantal. Apalagi pakai ranjang.  Tidur di lantai. Di masjid. Dimanapun bisa tidur.”

Begitulah penggalan riwayat bilmakna  dari kisah yang kami dengar siang menjelang ashar saat itu.

“Itulah yang disebut tirakat, bapak-ibu!” Kata beliau menyimpulkan inti dari kisah tersebut.

“Pendidikan itu butuh tirakat. Belajar itu butuh tirakat. Santri itu harus tirakat. Meskipun di tengah kota, anak-anak juga harus tirakat.” Mulai terbayang wajah-wajah kuatir dari wajah sebagian wali santri, merasa ngeri jika anaknya akan menjalani kehidupan seperti itu di pondok.

“Tapi tirakatnya anak santri sekarang di Jakarta tidak harus seperti itu, bu. Anak-anak tidak perlu metik daun lamtoro, nyuci sendiri, tidur di lantai, ndekem (berdiam diri di pondok), dan seterusnya.”

Anak-anak santri di sini makannya tiga kali sehari, tidak masak sendiri, dimasakiin, makannya juga harus bergizi, dicucikan bajunya, tapi kalau sudah besar harus nyuci sendiri. Ada saatnya jalan-jalan, rekreasi. Tidurnya juga di kasur, pakai bantal.”

“Sebagai gantinya, anak-anak sekarang tirakatnya cukup dengan puasa senin-kamis. Baju tidak harus tiga pasang. Tapi jangan terlalu banyak. Masak, satu lemari isinya baju doang. Jalan-jalan juga tidak boleh setiap hari, tapi ada waktunya sendiri nanti anak-anak diajak rekreasi.  Dulu saya tidak tau mana-mana, tapi Alhamdulillah sekarang sudah kemana-mana, dari Papua sampai Amerika.”

“Insya Allah di sini tidak ada sate, sayur terong. Trus, ada saat-saatnya amkan berjamaah. Karena makan berjamaah itu berkah. Alhamdulillah, dulu tidak pernah makan sate beneran, sekarang bisa.”

“Boleh dikunjungi, tapi jangan terlalu sering. Jangan setiap hari dikunjungi. Nanti, anaknya tidak bisa belajar.”

“Santri itu ibarat tanaman. Ia butuh disiram air. Kunjungan bapak ibu itu ibarat siraman air. Tapi jangan kebanyakan dan jangan kekurangan siraman.Tanaman yan gtidak pernah disiram akan kering dan mati. Tapi kalau kebanyakan disiram juga akan mati karena akarnya jadi busuk.” Terang Kiai tentang filosofi tirakat santri metropolitan.

Ya, begitulah tirakatnya santri metropolitan.

“Jadi, tirakatnya tidak boleh ditinggalkan. Hanya caranya saja yang beda.”

“Kata Imam Yahya bin Abi Katsir rahimahullah, ilmu itu tidak bisa didapat dengan badan enak-enakan.”

لَا يُنَالُ اْلعِلْمُ بِرَاحَةِ اْلجِسْمِ

Kata beliau mengutip maqalah para ulama yang diriwayatkan oleh Imam Muslim itu.

Mendengar penjelasan itu, wali santri pun terlihat lega dan kembali lagi rasa laparnya. Setelah sambutan, beliau langsung menutup dengan doa. Dan setelah itu, makan-manak bersama dengan menu sayur asam plus ikan asin. Lezzaat!

Begitulah kenangan empat tahun lalu, begitu jelas di benak kami bagaimana beliau saat itu menyampaikan kisah hidupnya secara runtut. Masjid Munirah Salamah, Zuhur 15 Syawal 1436 Hijriah. Alhamdulillah, bi ni’matihi tatimmus shôlihât

By Ahmad ‘Ubaydi Hasbillah, MA

Dosen di Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences