MUFASSIR, BENARKAH?; (Fragmen Buku Kaidah Tafsir Quraisy Shihab)

Majalahnabawi.comIlmu al-Mauhibah, salah satu maknanya ialah sesuatu yang dianugerahkan Allah kepada seseorang, dengannya menjadikan ia berpotensi menjadi mufassir; lahir dari upaya membersihkan hati dan meluruskan tauhid serta memperdalamnya.

Al-Quran merupakan “kalam Ilahi”. Istilah kalam ilahi menunjukkan bahwa al-Quran bukan sembarang kalam (perkataan), Ia-lah kalam Allah yang “qadimun laisa bi shautin wala bi harfin”, demikian ulama memberi determinasi menggunakan isim nakirah; menunjukkan kalam Allah yang sama sekali tidak memerlukan apapun jenis suara dan huruf.

Wong, kalam manusia tertentu saja bisa besar esensialnya di mata manusia lain, padahal sama-sama punya lisan, keluar suaranya pun sama-sama dari mulut, dan manusia tidak bisa berbicara kecuali membutuhkan suara dan huruf. Lah, bagaimana dengan kalam Allah yang sama sekali menegasikan suara dan huruf? Bukankah sangat jauh bedanya? Bahkan tidak pantas dibandingkan, karena memang tidak selevel.

Oleh karenanya, sebegitu mulianya al-Quran menjadikannya demikian sakral. Membacanya saja tanpa mengerti maknanya, sudah dijamin mendapatkan ganjaran kebaikan. Karena demikian sakralnya al-Quran, Quraisy Shihab sebagai salah seorang mufassir kebanggaan Nusantara memberi rambu-rambu kepada mereka yang ingin masuk ke ranah tafsir atau bahkan berkeinginan menjadi mufassir yang dengan segala piranti keilmuannya dianggap mampu menafsirkan al-Quran. Rambu-rambu sangat urgent, supaya tidak serampangan menarik kesimpulan tafsir ayat.

Bagi mereka yang seenak nafsu menafsirkan Quran, pikir-pikir lagi, deh. Baru “hijrah” saja kok sudah merasa mampu menangkap utuh makna ayat Quran? Hanya mengandalkan terjemah saja, kok sudah impresif berkonklusi dan memberi fatwa? Yang menggelikan lagi, sudah hanya mengandalkan terjemah, kemudian memberi fatwa, lantas memberi argumentasi hanya dengan premis cocokologi dan terkesan agitatif, hehe.

Ilmu yang Harus Mufassir Kuasai

Sebelum to the point, akan penulis hadirkan dahulu beberapa prasyarat bagi mereka yang ingin dirinya dianggap cakap dan mampu untuk menafsirkan al-Quran secara independen dan ingin menggaungkan qoul baru; 1) menguasai ilmu Bahasa Arab dan perangkat ilmu gramatikalnya, 2) ilmu Balaghah ‘Arabiyyah dengan segala perangkat ilmu turunannya, 3) ilmu Qira’at, 4) ilmu Ushuluddin, 5) ilmu Ushulul Fiqhi, 6) ilmu al-Fiqh, 7) ‘Ulumul Quran, 8) Hadits al-Nabawi (terutama yang berkaitan dengan penafsiran ayat), dan 9) ilmu al-Mauhibah.

Mari coba kita profondatif kepada prasyarat ke-9. Ilmu al-Mauhibah, salah satu maknanya ialah sesuatu yang dianugerahkan Allah kepada seseorang, dengannya menjadikan ia berpotensi menjadi mufassir; lahir dari upaya membersihkan hati dan meluruskan tauhid serta memperdalamnya.

Oleh karenanya pada bab-bab awal, agaknya alasan primordial Quraisy Shihab menuturkan pesan-pesan Ilahi untuk para penafsir al-Quran ini lantaran beliau merasa pesan-pesan inilah yang perlu ditekankan supaya orang-orang yang ingin masuk ke ranah tafsir, terlebih dulu mesti memperhatikan. Jika pesan-pesan demikian saja dialeknya, bagaimana dengan prasyarat di muka yang penulis paparkan. Wah, potensi serampangan dalam menafsirkan ayat akan terbuka lebar, pantas saja banyak muncul “penafsir karbit” yang sifatnya bahkan etnosentris, hehe.

Interaksi Al-Quran

Quraisy Shihab menuturkan sejatinya al-Quran itu interaktif. Bahkan pada dasarnya, al-Quran terlebih dulu berinteraksi kepada manusia, dengan harapan ia menyambut baik interaksi tersebut. Lantas bagaimana regulasi pola interaksi yang baik dengan al-Quran?

Pertama, keikhlasan. Demikian dimaksudkan bahwa motivasi untuk memahami maksud firman-firman Allah itu haruslah jernih dan tulus. Artinya dengan perangkat motivasi tersebut, akan lahir kesungguhan untuk mempelajari.

Kedua, ketulusan untuk mengenal al-Quran dan menampik segala keraguan terhadapnya. Mengenal al-Quran juga berarti mengenal siapa yang meng-kalam-kannya. Mengenalnya berarti bersahabat dengannya. Bersahabat dengannya berarti bersahabat juga dengan penciptanya. Maka bersahabat dekatlah dengan al-Quran. Seorang sahabat pasti akan memberi banyak informasi rahasia karena kedekatan dan kepercayaan yang dialokasikan kepada fathner sahabatnya secara khusus.

Ketiga, sikap rendah hati. Sikap demikian mengarahkan manusia untuk senantiasa pandir diri. Jangan pernah mengganggap diri tahu segala, lantas merasa manafsirkan ayat adalah pekerjaan mudah. Tidak begitu Bung! Menafsirkan itu butuh proses lama, tidak asal jeplak lantas paham. Antum congkak terhadap al-Quran, nyatanya hanya lahir kesesatan. Sikap rendah hati akan mengarahkan untuk tidak memaksakan pendapat dan diri untuk menyingkap makna dalam tempo singkat. Jika sudah merasa tidak mampu, maka pandirlah, sudahi sementara. Insya Allah di masa yang akan datang akan lahir penafsir yang mampu mengungkap makna kebenaran dari ayat yang dimaksud. Demikian janji Allah dalam surah Fusshilat ayat 53.

Cukup Ilmu dan Adab

Setidaknya 3 poin tersebut terlebih dahulu diperhatikan bagi mereka yang ingin menafsirkan al-Quran, di samping memenuhi prasyarat mufassir di muka. Allah swt. sungguh menyambut baik siapapun yang mengambil langkah berani dan meluruskan niat untuk memahami al-Quran. Namun tidak lantas menegasi bahwa terdapat usaha kompleks nan sungguh-sungguh yang mesti dilalui oleh sang penafsir. Allah mengisyaratkan dalam surah Alu ‘Imran ayat 7; terkandung pesan bagi setiap yang berusaha untuk menarik makna ayat, haruslah berhati-hati dan mempersiapkan diri terlebih dahulu. That is important.

Bahkan dalam menafsirkan ayat al-Quran itu, manusia tidak bisa menganggap perangkat keilmuan yang dimiliki, terlahir urgensitas positif bagi hasil penafsirannya. Allah memberi isyarat dalam surah al-‘Alaq ayat 4 dan 5; ayat ini memberi indikasi 2 pola pemberian ilmu oleh-Nya. Pertama, dengan sarana. Kedua, tanpa sarana. Artinya ada ilmu yang mesti dijembatani usaha dan ada pula ilmu yang langsung diberi Allah secara cuma-cuma. Dan seorang penafsir al-Quran itu baiknya profondatif atas keduanya.

Penulis bukanlah seorang ahli tafsir. Setidaknya tulisan ini menjadi pengingat untuk diri penulis sendiri utamanya, sementara di lain sisi penulis gatal ingin menyinggung beberapa orang yang penulis temui terutama di medsos; serampangan dalam menarik makna ayat al-Qur’an.

“Al-Quran sangatlah mulia. Siapa yang bermain-main dengannya akan sangat hina. Dan akan dimuliakan setinggi-tingginya, siapa saja yang bersungguh-sungguh kepadanya karena-Nya. Maka berhati-hati lah”.

Wallahu A’lam.

Tangerang, 29 Juni 2022

Similar Posts