Shalawat Menggunakan Sayyidina, Bid’ah kah?
MajalahNabawi.com – Shalawat adalah satu-satunya ibadah yang akan senantiasa mendatangkan kebaikan dan rahmat Allah Swt bagi pembacanya, baik dilantunkan dengan sadar (kehadiran hati) maupun tidak.
Bukan hanya makhluk, bahkan Allah Swt serta para malaikatpun bersalawat kepada Nabi Muhammad Saw (Q.S. Al-Ahzab: 56). Hal ini menunjukkan betapa agung dan mulianya kedudukan beliau Saw di sisi Khaliq maupun di hadapan semua makhluk.
Terdapat banyak riwayat yang menjelaskan keutamaan membaca shalawat. Di antaranya adalah hadis yang menyebutkan tentang dilipatkannya satu shalawat kepada Nabi Saw menjadi sepuluh kali lipat rahmat bagi yang membacanya. (H.R. Muslim).
Berkenaan dengan lafadz shalawat, umat muslim tidak jarang berselisih pendapat tentang boleh tidaknya menambahkan kata “sayyidina” –yang artinya ‘tuan’ atau ‘baginda’- ketika bershalawat kepada Nabi Muhammad Saw.
Ada yang menganggap penambahan kata tersebut adalah bid’ah, karena tidak sesuai dengan apa yang Rasulullah Saw ajarkan dalam hadis. Dimana disebutkan dalam suatu riwayat dari Ka’b ibn ‘Ujroh al-Tsabit, ia bertanya kepada Nabi Saw tentang bagaimana cara bershalawat kepada beliau. Kemudian Nabi Sw menjawab:
قال : “قولوا اللهم صل على محمد وعلى آل محمد كما صليت على إبراهيم و على آل إبراهيم إنك حميد مجيد اللهم بارك على محمد وعلى آل محمد كما باركت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم إنك حميد مجيد.” – متفق عليه
Shalawat ini kemudian dikenal dengan nama shalawat Ibrahimiyyah, yang memang secara tekstual tidak terdapat lafadz sayyidina. Maka, apa yang diajarkan Nabi Saw itulah yang mutlak menjadi penuntun langkah, tidak kurang dan tidak lebih.
Adab dalam Menyebut Kekasih Paling Mulia
Dalam menyebut seseorang yang lebih tua saja tidak pantas bila hanya memanggil namanya. Terlebih Rasulullah Saw sang pembawa risalah kebenaran, tentu lebih berhak dan lebih pantas untuk dimuliakan dalam penyebutannya. Hal tersebut adalah bagian dari adab dan tata krama. Bukan tanpa pegangan, kebolehan penyebutan sayyidina saat membaca shalawat, berdalil pada hadis Nabi Saw yang berbunyi:
كان النبي صلى الله عليه وسلم يقول : ” أنا سيد ولد آدم ولا فخر”
“Aku adalah sayyid (tuan)nya anak Adam (manusia), dan tidak ada kesombongan sama sekali.” (H.R. At-Tirmidzi & Ibn Majah)
Dalam hadis ini Rasulullah Saw secara jelas menyebut dirinya sayyid. Ucapan tersebut bukan berarti kesombongan. Imam Nawawi dalam syarh Sahih Muslim menjelaskan bahwa hal tersebut merupakan bentuk tahadduts bi an-ni’mah atas kedudukan mulia yang Allah Swt berikan kepada beliau.
Lebih dari itu, pernyataan Nabi Saw ini adalah amanat yang harus beliau sampaikan kepada kita selaku umatnya, agar kita paham dan yakin akan kedudukan beliau lalu memperlakukan beliau sebagaimana mestinya. Kemudian kita mampu memposisikan diri sesuai tanggungjawab sebagai umat Rasulullah Saw.
Pihak kontra kembali lagi menyatakan ketidaksepakatan mereka, karena dalam hadis lain Nabi Saw bersabda:
لا تسيدوني في الصلاة
“Janganlah mengucapkan sayyidina padaku saat shalawat (sholat).”
Namun setelah dikaji, hadis tersebut lemah (la ashla lahu) bahkan ada yang menyebutnya maudhu’. Sehingga tidak bisa dijadikan hujjah atau dasar hukum.
Pada dasarnya kebolehan menyertakan kata sayyidina adalah ekspresi sikap yang mengedepankan etika (adab). Hal tersebut juga didasarkan pada kaidah “iltiyazamu al-adab muqoddamun ‘ala imtitsali al-amr”. Yang berarti “mempertahankan adab (kesantunan) lebih diutamakan daripada memenuhi perintah”.
Penambahan sayyidina, selama tidak sampai bertentangan maknanya tidaklah masalah, terlebih hal tersebut Nabi Saw sendiri pernah menyebutnya. Perkara ini sebenarnya bukanlah perdebatan pada hal yang mendasar atau prinsipil.
Maka tidak sepatutnya terlalu dibesar-besarkan sehingga menyebabkan benturan antar pihak yang saling silang pendapat. Yang lebih penting dari itu semua, adalah membuktikan cinta kita kepada Rasulullah Saw dengan meneladani akhlak serta menjalankan risalah yang dibawanya.
Wallahu a’lam bi al-showab.