Tiga Kebohongan yang Ditolerir dalam Hadis Nabi
Bohong merupakan sifat yang tercela dan dibenci oleh Allah. Berbohong tidak hanya merugikan orang lain, tetapi juga bagi si pelaku itu sendiri. Tidak heran jika seseorang yang pernah sekali saja berbohong akan sulit mendapatkan kepercayaan lagi.
Namun demikian, tidak semua kebohongan secara mutlak dihukumi haram. Terdapat beberapa kondisi tertentu yang diperbolehkan untuk “menutupi” kebenaran sebuah fakta. Imam Al Ghazali dalam karyanya menyampaikan adanya dispensasi berbohong pada tiga kondisi, sebagaimana hadits Nabi yang berbunyi,
أَنَّهَا سَمِعَتْ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَهُوَ يَقُولُ: «لَيْسَ الْكَذَّابُ الَّذِي يُصْلِحُ بَيْنَ النَّاسِ، وَيَقُولُ خَيْرًا وَيَنْمِي خَيْرًا» قَالَ ابْنُ شِهَابٍ: وَلَمْ أَسْمَعْ يُرَخَّصُ فِي شَيْءٍ مِمَّا يَقُولُ النَّاسُ كَذِبٌ إِلَّا فِي ثَلَاثٍ: الْحَرْبُ، وَالْإِصْلَاحُ بَيْنَ النَّاسِ، وَحَدِيثُ الرَّجُلِ امْرَأَتَهُ وَحَدِيثُ الْمَرْأَةِ زَوْجَهَا.رواه مسلم
Artinya: Bahwa sesungguhnya Ummu Kultsum binti Uqbah Abi Mu’ith mendengar Rasulullah saw. berkata; “Tidak ada kebohongan yang dapat mendamaikan dua orang (yang bertikai), kemudian ia berkata baik dan melebih-lebihkan kebaikan.” Ibnu Syihab berkata (dalam riwayat lain) dan aku belum pernah mendengar Nabi mentolerir kebohongan kecuali dalam tiga kondisi; pada saat perang, mendamaikan dua orang, dan perkataan suami kepada istri, atau sebaliknya.
Imam An Nawawi dalam kitab Syarh Shahih Muslim menjelaskan bahwa kebolehan yang terkandung dalam hadis di atas tidak diperselisihkan, selama tujuannya adalah untuk kemaslahatan dan tidak terdapat madarat di dalamnya. Berbeda halnya dengan pendapat Imam ath-Thabari yang menampik kebolehan tersebut. Karena menurut beliau, kebohongan pada tiga situasi tersebut merupakan bentuk tauriyah(menampakkan sesuatu yang bukan dimaksudkan/mengelabui).
Dalam kondisi pertama, al-harb (perang) misalnya dibutuhkan strategi yang kuat untuk mengalahkan lawan, yang tidak mungkin disampaikan secara terang-terangan kepada pihak lawan.
Kondisi kedua, berbohong untuk mendamaikan dua pihak yang bertikai dengan cara yang baik pula. Misalnya pihak ketiga (yang mendamaikan) memberikan hadiah kepada ke dua belah pihak yang diatasnamakan pihak yang bertikai. Atau menyampaikan salam berupa pujian kepada keduanya, “Eh, kata si fulan kamu baik banget, keren, dan lain-lain.”
Kondisi ketiga, yaitu bohongnya suami kepada istri atau sebaliknya dengan tujuan untuk menampakkan rasa sayang berupa pujian atau gombalan, atau berjanji yang tidak wajib. Seperti “Kamu selalu cantik/ganteng kok pakai baju itu”, dan lain-lain. Kebolehan berbohong di antara suami-istri ini menjadi haram apabila bersangkutan dengan kewajiban keduanya dalam menjalankan fungsi dan perannya di dalam rumah tangga. Berbohong tidak punya uang padahal uangnya dipakai untuk berjudi misalnya, dan lain-lain
Wallahu a’lamu bis shawab.
Artikel ini pertama kali dimuat di Bincangsyariah.com