Tipologi Ulama dalam Jarh wa Ta’dil
Majalahnabawi.com – Dalam meneliti perawi dan penilaian ulama kepada perawi tersebut, kita harus cermat dan teliti. Dengan buka banyak kitab tarajim, tarikh, dan ‘ilal.
Hadis merupakan salah satu dokumen penting dalam syariat Islam. Hal tersebut tentunya tidak terlepas dari unsur kajian hadis itu sendiri yang berupa matan dan juga sanad. Dalam rangkaian sanad terdapat para punggawa hadis, baik dari kalangan sahabat, tabiin, tabi’ tabi’in dan generasi setelahnya yang membawa pesan-pesan Rasulullah Saw untuk disampaikan kepada seluruh manusia yang pada akhirnya menjadi acuan para pendekar fikih dalam membangun argumentasi mazhabnya dalam berijtihad.
Bukan hanya menjadi landasan para ulama mazhab saja, akan tetapi hadis juga menjadi salah satu implementasi tatanan sosial kehidupan masyarakat muslim di seluruh penjuru dunia, berikut aspek-aspek lainnya yang berkaitan.
Karena hadis merupakan salah satu aspek penting dalam syari’at Islam, maka keautentikan hadis sebagai sumber acuan hukum menjadi suatu hal yang krusial. Untuk mengakses hal tersebut, maka para ulama merumuskan suatu gagasan ilmu yang disebut dengan ilmu ‘Jarh wa Ta’dil’. Ilmu ini dimunculkan untuk mengkritisi kredibilitas dan kapabilitas para perawi yang mentransmisikan hadis ke orang-orang setelahnya.
Tak heran makanya ada perawi yang dinilai tsiqah ada juga perawi yang dinilai cacat atau bermasalah. Hal itu acuannya apakah perawi tersebut dinilai kredibel atau tidak?. Maka hal tersebut implikasinya pada hadis yang diriwayatkannya, apakah hadisnya itu dinilai sahih, hasan, atau dha’if?.
Klasifikasi Ulama Penilai Perawi
Aktualisasinya di lapangan, ketika para ulama mengkritik seorang perawi, hal ini terbagi menjadi tiga golongan. Ada ulama yang ketat (Mutasyaddid), moderat (Mutawassith), dan longgar/permisif (Mutasahil) dalam melakukan pengkritikan.
Bagaimana kelanjutannya? Jangan kemana-mana, simak kutipan renyah berikut!
Ketat (Mutasyaddid)
Yaitu ulama yang keras (berlebihan) dalam men-jarh perawi dan bijaksana dalam men-ta’dil perawi. Jika misalkan perawi melakukan dua sampai tiga kesalahan dalam periwayatan hadisnya, maka oleh kelompok mutasyddid ini perawi tersebut dinilai cacat dan hadisnya dinilai layn (lemah). Siapa saja yang termasuk kelompok mutasyadid ini?, di antaranya yaitu ada Syu’bah bin al-Hajjaj (w. 160 H), Yahya bin Sa’id al-Qaththan (w. 198 H), Yahya bin Ma’in (w. 233 H), Abu Hatim al-Razi (w. 277 H), dan al-Nasa’i (w. 303 H).
Kasusnya apabila yang termasuk kelompok ini men-tsiqah-kan seorang perawi, maka ungkapannya tersebut sangat kuat untuk kita jadikan pegangan. Kenapa? Karena mereka sangat bijak ketika men-tsiqah-kan seorang perawi. Beda lagi kalau misalkan pen-tsiqah-annya itu menyalahi ijma‘ ulama yang mendhaifkan perawi tersebut atau karena ada jarh mufassar (jarh yang disebutkan kecacatannya) maka, pen-tsiqah-annya itu tidak bisa lagi kita jadikan acuan. Apakah hanya selesai sampai di sini saja? Tentu tidak. Mari kita lanjutkan…
Nah, apabila yang termasuk kelompok ini men-jarh seorang perawi, maka dilihat dulu ada tidaknya ulama lain yang mendhaifkannya. Jika ada yang seideologi dengannya dan tidak ada seorang pun yang men-tsiqah-kannya, maka perawi tersebut dihukumi dhaif.
Tapi, apabila tidak ada seorangpun yang mendukung pendapatnya, maka pendapatnya itu tidak bisa kita terima secara mutlak. Akan tetapi tidak juga kita buang secara mentah-mentah. Lah terus mau kita gimanain? Nah, kita lihat dulu jarh-annya, apakah termasuk jarh mufassar atau bukan?. Kalau misalkan jarh-nya mufassar, meskipun tidak ada ulama yang mendukung pendapatnya, maka jarh-nya itu kita terima.
Moderat (Mutawassith)
Yaitu ulama yang moderat dalam men-tsiqah-kan perawi dan bijak dalam men-jarh perawi. Di antara ulama yang masuk dalam kategori ini di antaranya: Sufyan al-Tsauri (w. 161 H), Abdul Rahman al-Mahdi (w. 198 H), Ibn Sa’d (w. 230 H), Ibn al-Madini (w. 234 H), Imam Ahmad (w. 241 H), Imam al-Bukhari (w. 256 H), Abu Zur’ah (w. 264 H), Abu Dawud (w. 275 H), Ibn ‘Adi (w. 365 H), dan al-Daruquthni (w. 385 H).
Kasusnya sedikit berbeda dengan yang mutasyaddid. Bedanya yaitu apabila kelompok ini men-ta’dil (men-tsiqah-kan) ataupun men-jarh seorang perawi, maka pendapatnya bisa kita jadikan pegangan, selama pen-tsiqah-annya itu tidak bertentangan dengan jarh mufassar.
Longgar/Permisif (Mutasahil)
Yaitu ulama yang terlalu longgar (gampang) dalam men-ta’dil perawi dan men-jarh-nya. Di antara ulama yang masuk kategori ini di antaranya: al-‘Ijli (w. 261 H), Abu ‘Isa al-Tirmidzi (w. 279 H), Ibn Hibban (w. 354 H), al-Daruquthni (w. 385 H) di lain kesempatan, al-Hakim (w. 405 H) dan al-Baihaqi (w. 458 H).
Kasusnya, apabila kelompok ini men-tsiqah-kan perawi, maka pendapatnya itu harus kita pertimbangkan terlebih dahulu. Oke, jika ada ulama lain yang mendukung pendapatnya, maka pen-tsiqah-annya itu kita terima. Kalau tidak ada bagaimana? Nah apabila tidak ada ulama lain yang mendukung pendapatnya, maka pendapatnya itu tidak bisa kita terima.
Mengapa demikian? karena sulit bagi kita untuk mengklaim keorisinalitas-an pendapatnya tersebut, jika yang mengatakannya itu cuma satu orang. Bisa jadi kalau misalkan cuma satu orang yang memverifikasi ke-tsiqah-an seorang perawi, hal tersebut ada motif-motif lain di belakanggnya.
Kemudian apabila kelompok ini men-jarh perawi, maka hal ini tergantung siapa dulu yang melakukan jarh tersebut. Yang ketiga ini berbeda dengan dua tipologi di atas ketika melakukan jarh. Mengapa demikian? Karena kelompok ketiga ini ada juga yang mutasyaddid ketika melakukan jarh seperti Ibn Hibban dan ada juga yang lemah ketika melakukan jarh-nya contohnya seperti al-‘Ijli.
Perbedaan dalam Menghukumi Perawi
Hal ini bisa kita lihat contohnya ketika al-‘Ijli menghukumi rawi dengan shaduq, padahal dha’if menurut ulama lain. Atau ketika al-‘Ijli men-dha’if-kan perawi, maka rawi tersebut dihukumi dha’if jiddan (sangat lemah) atau matruk oleh ulama lain. Jadi intinya tergantung siapa dulu yang men-jarh-kan. (lihat kitab Dhawabit al-Jarh wa al-Ta’dil karya Abdul Aziz bin Muhammad).
Mengamati
Seperti yang sudah diulas di atas, bahwa para ulama kritikus hadis terbagi tiga kelompok tersebut. Sebetulnya adanya klasifikasi ini diakibatkan karena adanya penilaian yang berbeda. Adanya klasifikasi mutasyaddid karena adanya yang mutasahil. Kalau misalkan tidak muncul yang mutasahil, mungkin yang mutasyaddid menjadi acuan standar bagi para ulama hadis. Begitupun juga yang mutawassith. Tujuan adanya klasifikasi ini tiada lain adalah sebagai bahan pertimbangan bagi para pen-takhrij hadis ketika menjustifikasi seorang perawi. Karena bisa jadi seorang perawi ditsiqah-kan oleh yang mutasahil, sedangkan oleh yang mutasyaddid tidak demikian. Konsekuensinya nanti akan ada distingsi (perbedaan) para ulama ketika menghukumi sebuah hadis. Hal yang demikian menjadi PR besar bagi para pen-takhrij ketika menghukumi sebuah hadis.
Mengapa demikian? Karena seorang pen-takhrij ketika menemukan penilaian yang berlawanan terhadap seorang perawi, maka tidak cukup melihat kitab tarajim (biografi) saja, tapi juga melihat kitab-kitab lain yang berkaitan seperti kitab Tarikh dan juga ‘ilal. Sehingga nantinya keputusan kita terhadap hadis tersebut akan lebih objektif dan selektif.