Filsafat Arthur Schopenhauer: Manusia Menderita karena Kehendaknya Sendiri
Majalahnabawi.com – Arthur Schopenhauer merupakan salah satu dari sedikit filsuf Barat yang pemikirannya cenderung pesimistis, murung, dan dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran Timur. Ia dilahirkan di Danzig, Jerman (sekarang Gdańsk, Polandia) pada tahun 1788. Ayahnya adalah seorang bankir dan pedagang kaya bernama Heinrich Florist Schopenhauer, dan ibunya bernama Johanna Henriette Troisiener Schopenhauer.
Selama hidupnya, Schopenhauer pernah mengajar sebagai dosen di Universitas Berlin sekitar tahun 1820-an. Namun, ia berhenti mengajar karena banyak mahasiswa di sana lebih menyukai kuliah Hegel ketimbang kuliah dari dirinya. Akibat kalah saing, Schopenhauer menaruh kebencian yang begitu besar terhadap Hegel, dan kerap kali menyerang pemikiran dan mengolok-oloknya sebagai “badut filsafat.”
Karya utama dari seorang Schopenhauer adalah The World as Will and Representation dan On the Fourfold Root of the Principle of Sufficient Reason. Buku yang disebut terakhir adalah disertasi doktoralnya.
Sebagian besar pemikiran Schopenhauer dipengaruhi oleh Plato dan Immanuel Kant. Selebihnya, ia terpengaruh oleh gerakan romantik, Upanishad, dan Buddhisme. Adapun inti pemikiran seorang Schopenhauer adalah perihal kehendak, yang di kemudian hari memengaruhi filsuf yang dijuluki sebagai “Sang Pembunuh Tuhan,” Friedrich Nietzsche.
Kehendak sebagai Sumber Penderitaan
Seperti yang telah disinggung di atas, pemikiran Schopenhauer dipengaruhi oleh Plato dan Kant, yang memandang realitas indrawi sebagai realitas semu. Sebagaimana diketahui, Plato memandang bahwa realitas indrawi hanyalah tiruan atau salinan dari realitas ide yang tetap dan abadi. Berikutnya, Kant, sedikit banyak, melihat realitas indrawi semata-mata sebagai fenomena, dan bukan sebagai Das Ding An Sich atau sesuatu-dalam-dirinya-sendiri.
Sejalan dengan kedua filsuf tersebut, Schopenhauer memandang realitas indrawi sebagai representasi atau semata-mata gambaran. Namun, jika Kant mengatakan bahwa Das Ding An Sich atau noumena yang tidak dapat diidentifikasi, Schopenhauer melakukan terobosan dengan mengidentifikasi Das Ding An Sich sebagai kehendak.
Menurut Imam Wahyuddin dalam buku Manusia Pesimis: Filsafat Manusia Schopenhauer,kehendak dalam pemikiran Schopenhauer berbeda dengan kehendak dalam kehidupan sehari-hari, yang biasanya didahului oleh motivasi, memiliki dasar pengetahuan, kemudian dibuktikan dengan perbuatan. Kehendak di sini adalah kehendak untuk hidup, yang menyiratkan dorongan, usaha keras, buta, tidak berakal, dan tidak berkesadaran.
Kehendak mengobjektifikasi atau menampakkan diri dalam gradasi level, mulai dari yang terendah sampai yang tertinggi. Level terendah terdapat pada benda mati, seperti batu, magnet, listrik dan gravitasi. Level menengah terdapat pada hewan dan tumbuhan. Terakhir, level tertinggi terdapat pada manusia. Berbeda dengan hewan dan tumbuhan, berkat kemampuan akalnya, manusia dapat menyembunyikan kehendak jahatnya.
Menurut Wahyuddin, kehidupan manusia adalah serial kehendak yang tidak ada habisnya. Belum satu keinginan terpenuhi, muncul keinginan lainnya lagi. Kehendak untuk hidup tidak pernah bisa dibatasi.
Bertrand Russell, dalam Sejarah Filsafat Barat, mengatakan bahwa kehendak merupakan sumber segala penderitaan. Ia tidak memiliki ujung yang pasti, yang jika tercapai akan membawa kepuasan.
Kehendak selalu menghasilkan penderitaan, baik ketika terpenuhi ataupun tidak. Ketika kehendak tidak terpenuhi, ia jelas akan menghasilkan kepedihan dan rasa frustasi. Namun, ketika kehendak itu terpenuhi, ia hanya akan menghasilkan kebahagiaan sesaat dan membawa pada kebosanan. Kehendak tidak akan ada habisnya selama terus dituruti.
Dua Jalan Pembebasan dari Kehendak
Jika kehendak merupakan sumber dari penderitaan, apakah seseorang boleh melakukan bunuh diri? Schopenhauer menjawab bunuh diri justru adalah bentuk ketundukan dan sikap menyerah pada kehendak. Maka, dalam upaya memerangi kehendak, Schopenhauer menawarkan dua jalan untuk terbebas darinya, yakni melalui jalan estetis dan jalan etis.
Jalan Estetis
Sebagaimana dijelaskan F. Budi Hardiman dalam buku Pemikiran Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche, jalan pertama agar bisa terbebas dari perbudakan kehendak adalah melalui kontemplasi estetis. Kontemplasi estetis merupakan upaya memandang objek keindahan bukan sebagai objek nafsu, melainkan sebagai keindahan An Sich atau dalam dirinya sendiri.
Menurut Hardiman, melalui kontemplasi estetis, manusia menjadi tanpa pamrih dan terbebas dari perbudakan kehendak. Menurut Schopenhauer, seni tertinggi yang dapat membebaskan manusia dari jerat kehendak adalah musik. Meski begitu, jalan pembebasan estetis ini hanya bersifat temporal, karena manusia kemudian akan menderita dan diperbudak lagi oleh kehendak.
Jalan Etis
Jalan pembebasan yang abadi adalah melalui jalan kedua, yakni jalan etis. Cara ini dapat dicapai dengan membangun sikap simpati dan bela rasa. Sikap ini muncul dalam diri seseorang ketika mereka menyadari bahwa semua makhluk, baik manusia ataupun bukan manusia, pada dasarnya berasal dari kehendak yang sama. Hal ini, pada gilirannya, membuat seseorang melihat orang lain sebagai dirinya sendiri, dan melihat penderitaan orang lain sebagai penderitaannya sendiri.
Dari sini, terlihat jelas bahwa Schopenhauer dipengaruhi oleh ajaran Hindu, tat twam asi. Dalam artikel berjudul Tat Twam Asi: Landasan Moral untuk Saling Asah, Asih, Asuh, I Komang Mertayasa mengatakan bahwa tat twam asi merupakan ajaran yang menyatakan kesamaan antarindividu sehingga melahirkan kasih sayang. Kasih sayang ini bukan semata-mata kepada pasangan atau sesama manusia saja, tetapi juga kepada seluruh makhluk di alam raya.
Disayangkan, Schopenhauer tidak mempraktikkan pemikiran luhur ini dalam kehidupan pribadinya sehingga ia hanya berakhir sebagai sebuah teori belaka. Namun, hal tersebut tidak berarti pemikirannya harus dibuang begitu saja. Bagaimanapun, pemikiran Schopenhauer tetap relevan untuk diterapkan oleh seluruh umat manusia, terutama untuk membebaskan diri dari belenggu kehendak dan bersikap welas asih kepada seluruh makhluk hidup di alam ini.