Kiai Duladi, Kiai yang Gemar Bercanda; Catatan Singkat Tadarus Kiai Ali Mustafa Yaqub

Sekilas, sosok Kiai Duladi mengambarkan ulama kampung nan bersahaja, seseorang penuh kasih dan akrab dengan para warga–beliau mudah berbaur Namanya tersohor dari pelosok desa hingga orang-orang besar di Ibu Kota, namun jika diminta mengisi acara Televisi dengan bayaran tinggi pun–Beliau tegas menolak permintaan itu. 

“Biarlah saya menjadi dai masjid saja.”

Alasannya satu–Kiai Duladi memiliki dasar teguh yang mengantarkannya tak suka eksis dan tak ingin ada dalam acara televisi. Maka tak pelak, jika beliau dibicarakan sesisi kampung, karena menolak tawaran berduit yang menjanjikan, “aneh benar Kiai kita itu,” celotek kang Bejo. 

Siapakah Kiai Duladi?

Bermula dari tulisan artikel Kiai Ali Mustafa Yaqub dalam rubrik Hikmah Ramadan, Majalah Pelita selama bulan Ramadan 1417 H/1997 M–Seiring berjalannya waktu, permintaan menulis dalam rubrik keislaman bertumpah ruah.

Permintaan menulis dan membukukan seluruh artikel kepada Kiai Ali, datang silih bergantian dari berbagai pihak–mengantarkan hadirnya buku berjudul “Pengajian Ramadan bersama Kiai Duladi” tergenggam di tangan para pembaca sebagai salah satu warisan nalar Kiai tercinta, Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA.

Sesuai dengan jumlah hari berpuasa, maka judul buku ini menghimpun 30 judul kisah hikmah yang berbeda-beda. Kiai Duladi berlakon pemeran utama, yang dikisahkan sebagai ulama kampung, berumur renta–hampir tujuh puluh tahun usia, namun semangat berdakwah mendarah daging padanya. 

Nama aslinya, Kiai Haji Abdul Hadi–Duladi sapaannya, berasal dari desa Watugugur, lereng utara Gunung Slamet Jawa Tengah. Beliau merupakan anak pertama Kiai Haji Abdullah atau Kiai Dolah, menurut logat orang Watugugur. 

Fiksi kah Kiai Duladi? 

Kiai Ali yang piawai memainkan pena, tak jarang dari karya tulisnya, membuat orang-orang berdecak kagum pada sosoknya. Banyak sekali tulisan Kiai Ali sebagai jawaban dari persoalan umat. Dengan fikir yang kuat, Kiai Ali menebas kekeliruan nalar agama, meluruskan kembali dengan dalil al-Quran serta Hadis dan argumen kolaboratif dari pemikiran Kiai Ali yang hebat

Meski Kiai Ali hanya tinggal kenangan, dengan membaca buku-bukunya, tentu akan mengobati rasa rindu kita, kepada pribadinya yang penuh ketulusan

Kiai Ali adalah kenangan,

dari sekian bait yang merindukan,

Meski tidak ada kata pertemuan,

Akhirat kelak, semoga bertemu kembali sosok, dirimu yang meneduhkan, 

Puisi Selepas Subuh untuk Bapak

Lakon utama ini merupakan toko fiksi yang diciptakan Kiai Ali, begitupun tokoh lainnya seperti Ayub, Paimin, dan masih banyak lagi. Kisah bertabur hikmah ini, mempresentasikan  keramahan, kecerdasaan, ketulusan, dan kesederhanaan Kiai Ali  dalam sosok Kiai Duladi. 

Pesan Kiai Duladi

Bersedekah

Bulan Ramadan, bulan kemuliaan. Banyak amalan yang Allah lipat gandakan ganjaranya untuk para hamba yang berlomba-lomba dalam hal ibadah. Sekalipun untuk orang-orang yang kurang berkecukupan, tidak ada alasan untuk tidak bersedekah di bulan Ramadan. 

Siapapun berhak bersedekah, kaya, maupun miskin, muda, maupun tua. Selagi berkeinginan dan ada kemauan. Besar kecil sedekah bukan menjadi permasalahan. 

Kiai Ali menuliskan wejangan tersebut, dalam sebuah kisah puan bernama Embah Ngatinah, janda berusia delapan puluh tahun, yang gemar memberi sepiring Bodin (semacam singkong) rebus ke masjid untuk jabur berbuka puasa. 

Alasan Embah Ngatinah Bersedekah

Mbah Ngatinah masih ingat sekali pesan suaminya berdasarkan nasihat al-marhum Kiai Dolah. Kala itu Kiai Dolah menyampaikan sebuah Hadis di mana Nabi bersabda,

‎مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ الصَائِمِ   

“Siapa yang memberi makan orang yang berpuasa, maka ia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang berpuasa itu.”

Meski sederhana, tentunya Allah lebih mengetahui siapa hambanya yang benar-benar berniat bersedekah, atau hanya sebagai ritual amalan saja. 

Berbuka Puasa Bersama

Maksudnya, berbuka bersama di Masjid, bukan tempat makan, kafe, ataupun tempat hiburan lain yang justru akan melalaikan. 

Berbuka puasa di masjid bermanfaat untuk tetap melestarikan salat berjamaah, selain itu, ada pahala i’tikaf dan menambah ilmu dan menjadi salah satu Sunnah Kanjeng Nabi.

“Karena itu,” kata Kiai Duladi mengimbau, “Tradisi berbuka puasa bersama di masjid harus dilestarikan, karena manfaatnya besar sekali baik dari segi dunia maupun akhirat. Dan biarlah, meskipun jaburnya hanya bodin rebus. Yang penting semangat kebersamaan dan bersedekah tidak boleh dimatikan,” 

Similar Posts