Perjalanan Santri Mengenal al-Albani

Al-Albani, makhluk apa sih dia?. Kira-kira begitulah pertanyaan pertama yang muncul di benak saya, ketika mendengar ulasan seorang ustadz muda, alumni universitas al-Azhar Kairo, dalam salah satu acara yang di adakan di Ponpes at-Taqwa Canduang, Sumatra Barat. Pada waktu itu, ustadz muda ini mengupas sosok bernama Nashiruddin al-Albani dengan menampakkan aib-aiabnya yang tampak begitu “menjijikkan” bagi umat Islam kebanyakan. Pasti, sebagai seorang santri yang nggak ngerti apa-apa, saya cuma diam dan hanyak menganggukkan kepala saja.

Selain mendapatkan keterangan dari ustadz muda tersebut, saya juga sempat belajar dengan seorang guru yang kebetulan juga satu almamater dengannya. Di sela-sela berguru dengan beliau, saya meminta informasi tentang sosok al-Albani yang masih saya pertanyakan tadi. Setelah melemparkan beberapa pertanyaan, saya mendapatkan keterangan yang cukup puas dari beliau.

Tapi aneh. Keterangan yang diberikan oleh guru saya ini, sangat berbeda dari keterangan ustadz muda, yang pertama tadi. Jika yang disebut pertama tadi menghujat dan menolak al-Albani, malah guru saya sebaliknya. Beliau sangat salut dan bahkan menerima hasil-hasil ijtihad al-Albani.

Saya yang pada waktu itu masih santri kemaren sore, jelas bingung dan hanya terbebani dengan perbedaan itu. Yang harus saya terima, keterangan yang mana? Apakah keterangan yang pertama tadi dan lantas menolak pendapat guru saya, atau malah sebaliknya?. Jujur, sosok tokoh yang bernama al-Albani ini, sangat mengganjal di kepala saya, sebagai seorang pelajar.

Kekacauan informasi dari dua sumber tadi terjadi saat masih nyantri di salah satu pesantren di provinsi Sumatera Barat. Hampir rasanya dua tahun kurang lebih, pikiran ini tidak diberi kejelasan tentang sosok al-Albani. Namanya sering disebut, pengaruhnya banyak dikutip. Apakah ia akan saya tolak atau akan saya terima sebagai imam dalam memahami hukum Islam?

Dengan kata lain, semua keganjalan atau kebingungan tentang al-Albani, masih saya bawa kemana-mana. Hingga kebingungan saya tersebut “terdampar” disalah satu pesantren yang didirikan oleh KH. Ali Mustafa Yaqub, pesantren Darus-Sunnah. Di sinilah saya menemukan keterangan mengenai al-Albani yang sesungguhnya. Tidak seperti selama ini, yang jenis keilmuannya masih saya pahami secara mengambang, lantaran data atau keterangan yang valid sukar ditemukan.

Dalam rangka mensyukuri nikmat yang telah diberikan oleh Allah, dalam tulisan yang serba terbatas ini, saya bermaksud untuk berbagi sedikit pengetahuan yang telah saya dapatkan tentang sosok misterius ini, Syekh al-Albani. Mudah-mudahan para pembaca tidak mendapatkan keterangan yang Cuma bersifat sia-sia. Terlebih tidak jelas ujung pangkalnya.

Namun, supaya keterangan dalam tulisan ini tidak begitu melebar, mungkin saya akan membatasinya dengan hanya membahas dua hal saja. Pertama: biografi; dan kedua : al-Albani di antara pro dan kontra.

Biografi al-Albani

Al-Albani atau yang mempunyai nama lengkap Nashiruddin al-Albani merupakan salah satu dari tiga sumber rujukan kebanyakan golongan yang merujuk pada sekte Wahabi, selain ‘Abdul Aziz bin Baz dan Muhammad ‘Utsaymin. Ia dilahirkan di kota Ashkodera, ibu kota Albania pada tahun 1914. Sewaktu masih kecil, yaitu berumur 9 tahun, lantaran terjadi penekanan dari kaum komunis, ia bersama keluarganya pindah atau hijrah dari kota kelahirannya, ke kota Damaskus, Syiria. Di kota perantauan inilah ia merajut kehidupan masa mudanya hingga menjadi seorang yang tersohor di penjuru dunia.

Dalam menempuh jenjang pendidikan yang penuh dengan perang ideologi, al-Albani, sewaktu berumur 20 tahun sangat terpengaruh dengan sebuah jurnal yang mengusung pembaharuan, Jurnal al-Manar. Selain itu, pada waktu mudanya ini pula, ia menyelesaikan sebuah karya dalam bidang hadis dan ilmu hadis. Karyanya adalah komentar atas kitab Imam al-Iraqi yang berjudul ‘al-Mughni ‘an hamlil-asfar fil asfar fi takhrij mafi Ihya minal Akbar’.

Pada tahun 1961, al-Albani dinobatkan sebagai guru besar dalam bidang hadis di Universitas Madinah. Perjuangan al-Albani dalam mengembangkan ilmu agama, khususnya ilmu hadis kepada umat, terpaksa harus berhenti sejak ia meninggal tahun 1999.

Sewaktu hidupnya, al-Albani cukup terkenal dengan ulama yang menekuni bidang hadis. Bahkan dalam salah satu keterangan yang ditemukan, al-Albani merupakan sosok ulama yang jarang tandingannya. Kenapa tidak, hampir semua hidupnya, digunakan hanya untuk mempelajari hadis dan ilmu hadis.

Namun berbeda dengan kebiasaan ulama pada waktu itu, metode dirasah (belajar) yang digunakan oleh al-Albani adalah dengan otodidak. Belajar sendiri dengan membaca dan membahas sebuah buku tanpa bimbingan seorang guru. Tepatnya, di perpustakaan miliknya sendiri yang terletak di Damaskus, ia mengurung diri dan bermain dengan tajamnya ilmu pengetahuan.

Dengan berkat kegigihan dan kerajinannya yang amat dikagumi, selama hidup, al-Albani telah menghasilkan sebanyak 117 buku. Hampir semua buku tersebut mengenai pembahasan hadis.

Al-Albani Diantara Pro Dan Kontra

Al-Albani, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas bahwa sosok ilmuwan yang satu ini adalah sosok yang nyentrik. Ia banyak melakukan hal-hal yang berbeda dari orang-orang sezamannya. Dengan kemampuan dan kecerdikan yang ia miliki, al-Albani melakukan riset ulang terhadap beberapa buku yang dijadikan sebagai pegangan pokok bagi umat Islam. Termasuk didalamnya kitab-kitab Hadis utama, ‘Kutubus Sittah’.

Namun, itulah al-Albani. Entah ia yang salah dalam melakukan penelitian atau umat yang tidak sadar dengan kebenaran, dengan beberapa hasil dari penelitiannya itu, ia pun dihadapi dengan berbagai tanggapan, baik yang setuju atau pun yang kontra. Sekilas yang saya ketahui, lebih banyak pendapat yang kontra dibanding yang sepakat dengan hasil keputusan penelitiannya itu.

Salah satu kesimpulan al-Albani yang dipermasalahkan itu adalah pernyataannya bahwa dalam kitab Shahih Muslim terdapat 990 hadis yang masih dipertimbangkan ke absahannya. Dengan kata lain, al-Albani tidak setuju menyatakan 990 hadis tersebut tergolong pada hadis yang shahih.

Pasca kegilaan yang dilakukan oleh al-Albani, yaitu menentang ijmak ulama yang menyatakan hadis-hadis yang terdapat dalam kitab Shahih Muslim, banyak berbagai buku dan hasil penelitian yang bermunculan untuk menyangggah ataupun yang menyokong pendapatnya. Diantara tokoh yang menyokong al-Albani adalah ‘Amr Abdul Mun’im Salim. Melalui karyanya yang berjudul La Difa’a ‘anil Albani, ia mendeklarasikan diri untuk bergabung dengan kerja pemikiran al-Albani.

Kebesaran tokoh al-Albani tidak cukup dengan kubu yang sepakat saja. ia juga dikelilingi oleh beberapa ilmuwan yang mencoba meruntuhkan hasil ijtihad yang telah ia lakukan itu.

Dari ulama dan cendikiawan muslim amat banyak terdapat kitab-kitab yang ditulis khusus untuk menolak pemahamannya al-Albani. Diantaranya: Tanaqudlat al-Albani al Wadihat karya Hasan bin Ali al-Saqqaf, al-Ta’rif bi awham man qasshas sunnah ‘ala Shahih wa Dha’if karya Syekh Mamduh Said Mamduh, Tabyin Dalalat al-Albani: Syaikh al-Wahhabiyya al-Mutamahdith karya Abdullah al-Harari, dan al-Laa Mazhhabiyya Akhtaru bid’atin tuhaddidusy syari’ah al-Islamiyyah karya Syekh Ramadhan al-Buti.

Sekian sedikit pengetahuan tentang al-Albani yang dapat saya tulis dalam risalah yang serba terbatas ini. Untuk kesimpulan yang lebih lengkapnya tentu tulisan ini tidak memadai, paling tidaknya bisa dijadikan sebagai pengantar mengenal sosok Syekh Nasaruddin al-Albani. Dan, ketidaksetujuan tidak bisa dilawan hanya dengan kebencian dan fanatisme. Kita harus menempatkan al-Albani secara proporsional dalam kerja-kerjanya sebagai peneliti hadis.
Wallahu’alam

Baca Juga: “Wahabi dan NU dalam Pandangan KH. Ali Mustafa Yaqub”

Similar Posts