Perbedaan dapat berubah menjadi perpecahan manakala ditunggangi oleh kepentingan dan tidak dilakukan dialog yang baik. Dalam konteks Indonesia, Islam yang melembaga dalam banyak ormas juga sangat rawan mengarah kepada perpecahan. Budaya “katanya” yang menjangkiti umat Islam di Indonesia turut berkontribusi dalam melahirkan perpecahan karena membawa informasi yang seringkali bias. Budaya klarifikasi dan membangun persatuan dalam keberagaman tampaknya hanya akan menjadi cita-cita yang utopis selama budaya “katanya” masih dibiarkan mewabah. Sikap paling bijak dalam hal ini adalah membasmi budaya “katanya” tanpa harus menghilangkan perbedaan atau keragaman ormas. Hal lain yang harus dikedepankan bukanlah sikap mencari-cari siapa yang salah dan siapa yang benar.
Umat Islam Indonesia seringkali diributkan oleh masalah perbedaan pemikiran keagamaan yang tidak jarang berujung pada permusuhan. Syiah, Ahmadiyah, Salafi-Wahabi adalah beberapa contoh gerakan pemikiran keagamaan yang seringkali terdengar keterlibatannya dalam konflik sosial. Hingga kini, telah banyak penulis yang menyerukan secara tegas untuk berdamai dengan Syiah, Ahmadiyah, atau dengan agama apapun di dunia ini. Namun, tampak sangat sedikit sekali—atau bahkan belum ada—seruan perdamaian antara NU dan Wahhabi.
Buku “Titik Temu Wahabi-NU” atau yang dalam versi Arabnya berjudul “al-Wahhabiyah wa Nahdlatul Ulama, Ittifaq fi al-Ushul la Ikhtilaf”, muncul dalam rangka mengisi kekosongan terebut. Tujuannya adalah untuk menyadarkan akan pentingnya persatuan umat Islam. Jika kesatuan faham adalah hal yang mustahil, maka persatuan umat adalah hal yang wajib diperjuangkan. Buku ini lahir pada waktu dan moment yang sangat tepat. Pada saat Indonesia sedang diributkan oleh masalah konflik sosial keagamaan, dan juga pada saat menjelang digelarnya Muktamar NU yang ke-89 di Jombang beberapa bulan mendatang.
Berangkat dari pengalaman pribadinya sebagai putera bangsa yang lahir, tumbuh, dan besar di lingkungan NU, penulisnya mampu melihat NU secara mendalam dan tetap kritis-objektif. Pengalaman pribadinya dalam bergaul dengan orang-orang yang berbeda latar belakang dan pemikiran, membuatnya tidak berpandangan sempit dalam menyikapi berbagai persoalan sosial keagamaan.
Buku ini merupakan sebuah refleksi pengalaman pribadi penulisnya yang tidak dapat dirasakan oleh siapapun, meskipun memiliki latar belakang, lingkungan dan pendidikan yang sama. Intensitas penulisnya dalam bergaul dengan orang-orang “Wahabi” dan juga orang NU membuatnya dapat menuangkan ide-ide kritis konstruktif yang orisinal dan mendalam. Buku ini menawarkan sebuah cita-cita Islam tentang persatuan meskipun tidak satu pemahaman. Isinya sangat sejalan dengan cita-cita agama yang tertuang dalam al-Quran, Sunnah Nabi, dan juga cita-cita Bangsa dalam semboyannya, Bhinneka Tunggal Ika.
Sebagai seorang santri NU dan “sahabat Wahabi”, Penulis buku ini mampu dengan apik menyajikan pemikirannya tanpa memihak kepada salah satunya. Bahkan penulisnya tampak sangat berhati-hati dalam mengonfirmasi berita dan pemikiran yang berkembang di dalam tubuh kedua gerakan keagamaan tersebut. Hal ini tampak jelas misalnya, sebelum buku ini terbit, penulis meminta beberapa ulama Wahabi untuk mengoreksi, bukan sekadar konfirmasi kepada orang-orang awam. Begitu pula ketika memastikan kebenaran pemikiran-pemikiran ulama NU, seperti pemikiran Imam Hasyim Asy’ari, beliau juga langsung meneliti kitab-kitab karya beliau langsung lalu mengonfirmasikannya kepada keluarga besar dan para murid Imam Hasyim Asy’ari yang masih hidup. Dengan demikian, data-data yang tersaji di dalamnya, tidak hanya bersumber dari literatur-literatur, apalagi dari budaya “konon katanya”, melainkan juga data-data empiris di lapangan yang juga dikonfirmasikan langsung kepada tokoh-tokoh yang otoritatif dari kedua pihak.
Hal yang paling menarik dalam buku ini adalah, ketika orang-orang Wahabi diduga kuat menolak tawassul, ternyata Imam Ibn Taymiyah yang merupakan rujukan utama para ulama Wahhabi, justru membenarkan tawassul. Hal lain yang juga penting untuk digarisbawahi adalah bahwa Wahhabi yang sebenarnya, tidak identik dengan Neo-Khawarij sebagaimana disangkakan oleh banyak orang.
Buku ini diawali dengan pembahasan seputar apa dan siapa sebenarnya Wahhabi. Pada dasarnya orang Wahabi sendiri tidak familiar dengan istilah tersebut, bahkan merasa “risih” dengan nama Wahabi. Meski demikian, sebuah harapan besar akan sebuah kemuliaan dari nama yang awalya cenderung sangat bias dan peyoratif tersebut tidak boleh pudar.
Selanjutnya, ada beberapa temuan menarik tentang kesamaan Wahabi-NU. Dalam hal-hal yang bersifat prinsip, sedikitnya ada 31 poin kesamaan antara Wahabi dan NU. Sedangkan perbedaan-perbedaan yang ada hanyalah perbedaan kecil yang tidak prinsip, sehingga tidak perlu dibesar-besarkan.
Temuan menarik lainnya adalah bahwa Kiai Hasyim sangat menghargai dan menghormati Wahabi. Ulama-ulama terkemuka NU juga biasa bergaul dengan ulama-ulama Wahabi. Begitu pula para tokoh Wahabi sangat menghormati orang-orang NU. Mereka melakukan klarifikasi atas berita-berita miring seputar NU, serta tidak gegabah menguhukumi keliru terhadap NU. Itulah teladan baik yang ditunjukkan oleh para tokoh Wahhabi dan NU.
Pada bagian terakhir, buku ini menyerukan pentingnya persatuan umat Islam. Kita tidak boleh mudah terprovokasi oleh pihak-pihak yang memecah belah umat. Kita juga harus selalu berada di jalan yang lurus dengan tidak melakukan hal-hal yang menyebabkan keributan. Dalam menyikapi perbedaan, tetaplah pada barisan besar umat Islam.
Meski demikian, sedikitnya ada dua hal yang perlu diungkapkan lebih tegas lagi dalam buku ini. Pertama, mengingat segmentasinya adalah untuk masyarakat umum, barangkali akan lebih lengkap jika ditambahkan panduan praktis yang lebih detil terkait cara mengamalkan hadis “Fa’alaykum bi al-Sawad al-A’zham.” Hal ini karena dalam konteks masyarakat muslim yang sangat beragam seperti di Indonesia, hadis tersebut sering disalahgunakan sebagai pembenaran beberapa kelompok untuk memecah belah umat dengan dalih suara mayoritas.
Kedua, kiranya ada hal yang sangat penting dikedepankan, yaitu budaya kritis kedalam, bukan sekadar kritis keluar. Banyak orang yang sibuk menilai kesalahan orang lain, tapi lupa akan kekurangan dalam dirinya. Maka, begitupun dengan umat Islam, hendaknya tidak lupa dengan persatuan, hanya karena sibuk memikirkan musuh bersama, zionisme.
Jika Wahabi dan NU sudah bisa bersatu dan berdamai dengan non-muslim, kini saatnya seluruh umat Islam bersatu, bukan hanya antara Wahabi-NU saja! ***
Deskripsi buku:
Judul Arab : al-Wahhabiyyah wa Nahdlatul Ulama: Ittifaq fi al-Ushul La Ikhtilaf
Judul Indonesia : Titik Temu Wahabi-NU
Penulis : Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA.
Penerbit : Maktabah Darus-Sunnah Jakarta, 2015.
Tebal : 104 halaman (Arab), 120 halaman (Indonesia)