“Revolusi Tafsir: Perjalanan Laleh Bakhtiar, Mufassirah Modernis”
Majalahnabawi.com – Tentunya tidaklah mengherankan bila kita sering mendengar deretan nama-nama mufassir yang menjadi tonggak utama dalam studi ilmu tafsir Al-Quran. Namun, terlebih dalam era modern ini, jarang sekali kita mendengar tentang perempuan yang berhasil meniti karir sebagai mufassirah, atau penafsir Al-Quran, dengan pengaruh yang sama kuatnya. Dalam konteks ini, Laleh Bakhtiar adalah salah satu sosok luar biasa, membangun reputasi sebagai mufassirah modernis yang mencuat dan mengubah paradigma tafsir Al-Quran.
Sebagai seorang muallaf, perjalanan Lelah untuk menjadi mufassirah tidaklah mudah. Dengan ketekunan dan dedikasinya, ia berhasil membangun reputasi sebagai pemikir yang revolusioner dalam bidang tafsir Al-Quran. Lelah tidak hanya menciptakan terjemahan baru yang berbeda, tetapi juga membawa pendekatan tafsir yang segar dan relevan untuk memahami makna-makna Al-Quran dalam konteks zaman yang terus berubah.
Sekilas Perjalanan Hidup Laleh Bakhtiar
Di dalam buku yang berjudul “Wanita Ahli Tafsir Abad Modern” karya Retno Prayudi, Lc, M.Ag. dan Abd. Hamid, M.Ag. menjelaskan secara terperinci tentang perjalanan hidup Laleh Bakhtiar yang merupakan seorang Katholik di Los Angeles pada tahun 1938. Laleh Bakhtiar tumbuh besar dan belajar di Washington DC, Amerika Serikat. Ibunya, Helen Jeffreys, adalah orang Amerika pertama yang menikah dengan seorang pria Iran. Ayahnya, Abol Ghassem, adalah seorang dokter terkenal dari Iran yang melanjutkan pendidikannya di Amerika.
Banyak orang mengenal Laleh sebagai seorang aktivis feminis yang telah mengabdikan 43 tahun dari hidupnya untuk mempelajari Islam. Dia memulai pendidikannya di Chatham College dan melanjutkan studi magister dalam psikologi dan konseling di University of New Mexico. Kemudian, dia memperoleh lisensi sebagai terapis profesional di bidang psikologi dan mengajar studi Islam di University of Chicago.
Selama karirnya, Laleh telah menerbitkan lebih dari 20 buku yang mencakup berbagai topik dalam Islam. Dia juga terkenal sebagai penerjemah ulung yang telah menerjemahkan banyak karya Islam ke dalam Bahasa Inggris. Salah satu karyanya yang paling monumental adalah terjemahan Al-Quran yang berjudul “The Sublime of Qur’an”. Panggilannya sebagai seorang muslim yang taat, psikolog, penerbit buku, editor, dan cendekiawan memberinya peran yang sangat penting dalam komunitas Muslim saat ini.
Metodologi Penafsiran Laleh Bakhtiar
Dalam usahanya untuk menjadikan Al-Quran dapat diakses secara luas dan pemahamannya mudah dipahami oleh berbagai kalangan, baik Muslim maupun non-Muslim, Laleh Bakhtiar menggunakan pendekatan ekuivalen dalam menafsirkan setiap lafadz Al-Quran. Pendekatan ini bertujuan untuk mempertahankan kesetiaan terhadap makna asli Al-Quran sambil menghadirkannya dalam bahasa yang relevan dan dapat dimengerti oleh pembaca modern.
Selain itu, keunikan penafsirannya terhadap Al-Quran juga terlihat dari sistem penulisan tafsir yang ia gunakan. Sebagai contoh, ia menggunakan tanda “f” untuk setiap kata “they” dan “them” dalam teks Al-Quran untuk menandakan pendekatannya yang feminis. Hal ini bermaksud untuk menyoroti pentingnya kesetaraan gender, yang dalam tradisi penafsiran Islam sering kali mengabaikan peran dan kehadiran perempuan.
Revolusi Penafsiran Al-Quran Ala Laleh Bakhtiar
Dalam perjalanan karyanya, terutama dengan penerbitan “The Sublime Quran”, Laleh Bakhtiar menghadapi berbagai kontroversi dari kalangan cendekiawan Muslim. Karyanya ini menawarkan terjemahan Al-Quran yang unik, mengubah paradigma yang telah ada sebelumnya. Bahkan, beberapa terjemahan ini sempat mengalami larangan peredarannya.
Salah satu titik kontroversial yang mencuat adalah terjemahan ayat Al-Quran surat An-Nisa ayat 34 yang berbunyi
اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَّبِمَآ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْ ۗ فَالصّٰلِحٰتُ قٰنِتٰتٌ حٰفِظٰتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللّٰهُ ۗوَالّٰتِيْ تَخَافُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ فَعِظُوْهُنَّ وَاهْجُرُوْهُنَّ فِى الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّ ۚ فَاِنْ اَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلًا ۗاِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيْرًا
Secara tradisional, lafadz (idribuhunna) diterjemahkan sebagai “pukullah mereka” Akan tetapi, Lelah menginterpretasikan lafadz ini sebagai “pergi menjauhi istri-istrinya” atau “go away from them”, menekankan pentingnya rekonsiliasi dalam rumah tangga dengan cara non-kekerasan. Pendekatan ini berusaha menawarkan solusi yang lebih baik dalam menyelesaikan ketidak harmonisan rumah tangga, bertentangan dengan pemahaman lama yang menafsirkan lafadz tersebut secara harfiah sebagai “memukul”.
Tafsir yang Relevan Harus Mempertimbangkan Konteks Sosial dan Nilai Kemanusiaan
Pemikiran Lelah tidak berhenti di situ. Dia juga memberikan argumentasi berdasarkan ayat-ayat Quran lainnya, seperti dalam surat An-Nahl ayat 126. Ayat itu menekankan pentingnya kesabaran dan solusi yang lebih baik dalam menyelesaikan konflik. Laleh menegaskan bahwa tafsir yang relevan harus mempertimbangkan konteks sosial dan nilai-nilai kemanusiaan yang mendasari ajaran Islam, termasuk dalam kasus-kasus yang berkaitan dengan kekerasan dalam rumah tangga.
Dia menekankan bahwa tindakan seperti memukul tidak sesuai dengan ajaran kasih sayang dan hormat dalam Islam. Rasulullah pun tidak pernah memberikan contoh untuk melakukan terhadap istrinya. Pandangan ini membuka perspektif baru dalam pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Quran yang sebelumnya sering kali diterjemahkan dengan cara yang membenarkan tindakan kekerasan. Laleh menegaskan bahwa Islam mengajarkan penyelesaian konflik dengan cara yang penuh rahmat dan menghargai martabat setiap individu, baik laki-laki maupun perempuan.
Dengan demikian, kontribusi Laleh Bakhtiar tidak hanya mengubah cara kita membaca Al-Quran, tetapi juga memicu diskusi yang mendalam tentang relevansi dan konteks dari ajaran-ajaran Islam dalam konteks masyarakat modern yang terus berubah.
Wallahu A’lam.