Kiai Anwaruddin dan Wirid Kitab Jurumiyah; Catatan Singkat Hari Guru

Majalahnabawi.com – 19 tahun lalu, tepatnya tahun 2002, pertama kalinya saya belajar kitab Jurumiyah. Seminggu sekali diajarkan di kelas 5 Ibtidaiyah Madrasah Al-Asna Ringinagung Kediri. Diampu langsung oleh Mustahiq (wali kelas), Bapak Nur Hadi Lampung. Khatam dalam satu tahun. Selain belajar formal di kelas, santri kelas 5 juga ngaji bandongan ke ndalem Kiai Anwaruddin. Setiap sore. Selepas jamaah Ashar. Libur 2 hari saja, Selasa dan Jumat.

Kiai Anwar adalah pengasuh pesantren yang memiliki wirid mengaji kitab Jurumiyah. Kitab untuk santri pemula yang ingin mendalami kitab kuning. Karena itu, ribuan alumni pasti pernah mengikuti pengajian Kiai Anwar. Meskipun beliau sudah sepuh, spirit mengajar Jurumiyah tidak pernah padam. Suara beliau yang kalem mampu menembus relung-relung pemahaman ratusan santri yang mengaji. Berjubal memenuhi kediaman beliau.

Kenangan Penting

Bagi kami, ada tiga hal yang melekat dari cara mengajar beliau.

Pertama, untuk memudahkan santri, Kiai Anwar ngaji bandongan tidak seperti pakem bandongan lainnya. Beliau selalu menyiapkan papan tulis dan kapur. Setelah membacakan “utawi iki iku” makna kitab Jurumiyah, beliau lantas menjelaskannya. Menguraikan dengan contoh-contoh kongkrit penerapan ilmu Nahwu di papan tulis. Bagi saya, cara beliau ini sangat membantu santri pemula. Bahkan, di bab-bab yang sulit, beliau tidak segan untuk mengulangi penjelasannya.

Kedua, di bulan-bulan awal, Kiai Anwaruddin fokus membacakan matan Jurumiyah. Setelah khatam di pertengahan tahun, kemudian dilanjut dengan membacakan syarahnya; Mukhtashar Jiddan. Strategi ini membantu santri untuk memperdalam penguasaan materi yang sudah diulas kitab matan. Sebagaimana jamak diketahui, syarah adalah ulasan lebih luas dan mendalam dari matan.

Wirid Ngaji Jurumiyah 

Ketiga, berkah dan manfaat wirid ngaji Kiai Anwar ini, belakangan baru kami sadari. Bagi sebagian kalangan, ngaji kitab kecil dan hanya mengulang-ulang kitab yang sama, dinilai tidak produktif. Namun penilaian ini tidak sepenuhnya benar. Imam al-Muzani (264 H), murid kinasih Imam al-Syafii (150-204 H), sempat berujar; “Saya telah mengkhatamkan kitab al-Risalah, karya guruku lebih dari 500 kali. Meskipun demikian, setiap aku membacanya, pasti aku mendapatkan pemahaman yang baru. Pemahaman yang belum aku dapatkan sebelumnya.”

Sudah barang tentu, Kiai Anwar merasakan pengalaman yang sama saat mendaras berulang kali Kitab Jurumiyah karya Imam al-Shanhaji itu. Kini, berkat wirid Kiai Anwar belasan tahun lalu, kami bisa memetik berkah manfaatnya. Setiap memulai sorogan kitab Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, al-Wajiz fi Ushul Fiqh, Fathul Qarib, al-Risalah, al-Umm, al-Muwatha’, Tuhfah al-Thulab, Fawaid al-Janiyah, Bidayal al-Mujtahid, dan al-Ri’ayah, kenangan ngaji dengan Kiai Anwar dulu senantiasa hadir berkelibat.

Semoga kita bisa meneladani para masyayikh dan guru-guru kesemuanya.

Lahumul Fatihah.

Similar Posts