Standar Mengkompromikan Kontradiksi Literal
Salah satu tantangan bagi para ushuli yang tidak dapat dihindari ialah terjadinya ta’arudh atau kontradiksi dari berbagai nas-nas, baik Al-qur’an maupun sunnah yang didapati saat mereka menentukan sebuah hukum atau berfatwa. Adakalanya para ushuli menemukan kontradiksi itu mengenai valid tidaknya penukilan/transmisi (teori tsubut), adakalnya juga pada interpretasi (teori dalalah).
Sehingga para ushuli membuat suatu standarisasi/kriteria-kriteria yang dengan kriteria-kriteria itu mampu mendapatkan hal mana yang dianggap rajah atau kuat, mana yang dianggap marjuh atau kalah kuat, dan mana yang diterima maupun yang ditolak.
Kontradiksi Dalalah/Interpretasi
Hal yang pertama kali terbesit di hati seorang ushul ialah bagaimana mengkompromikan dua dalil yang bertentangan. Sebagai gambaran, seorang ushuli mendapatkan dua dalil yang bertentangan secara penafsiran, dalil pertama, baik hadits atau ayat yang dipahami dalam konteks tertentu, berupa waktu, tempat maupun sisi personal, sementara dalil yang satunya lagi dipahami pada konteks yang lain, baik dari segi waktu, tempat maupun sisi personal. Artinya, para ushuli harus memperhatikan aspek-aspek yang mendorong kemunculan dalil tersebut, baik dari kondisi social/eksternal yang mengelilingi personality Nabi pada saat beliau bersabda demikian, maupun waktu peristiwa yang terjadi pada saat itu, sebelum akhirnya melakukan proses pengkompromian.
Misalnya, seorang mujtahid menemukan dua hadits, dalam hadits pertama dari zaid bin Khalid al juhaniy r.a bahwa Rasulullah SAW bersabda:
الا اخبركم بخير الشهداء الذي يأ تي بشهادته قبل ان يسألها
Yakni Rasulullah memberikan pujian kepada orang-orang yang memberikan kesaksian sebelum diminta untuk bersaksi. Sementara dalam hadits kedua dari umar bin khattab r.a bahwa Rasulullah SAW bersabda:
احفظوني في اصحابي ثم الذي يلونهم ثم الذي يلونهم ثم يفشو الكذب حتى يشهد الرجل و ما يستشهد و يحلف و ما يستحلف
Yakni Rasulullah SAW, mencela orang-orang yang bersaksi tanpa diminta untuk bersaksi terlebih dahulu. Mujtahid bertanya-tanya, “apakah perkara ini terpuji atau tercela? Apakah aku wajib bersaksi di depan pengadilan tanpa diminta ataukah hal itu terlarang?”
Di sini seorang ushuli menggunakan dua dalil secara bersamaan. dia berkata “mungkin saja celaan itu diarahkan kepada orang yang bersegera memberikan kesaksian atas hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak Allah. Sebab dengan kesaksian itu dirinya akan membongkar rahasia yang berkaitan dengan hak-hak Allah. Seperti si A tidak berpuasa Ramadhan, atau melihat si A sedang melakukan maksiat. Maka, kewajiban orang yang mengetahui perbuatan si A ialah menutupinya, bukan menyebarkannya atau bersaksi dalam rangka mengumbar aibnya, sebab yang demikian merupakan hak Allah, yang mana seharusnya baginya untuk saling menutupi aib saudaranya.
Sedangkan ushuli tersebut menginterpretasikan pujian pada hadits pertama untuk orang yang membreikan kesaksian atas hal-hal yang berkaitan dengan hak orang lain. Misalnya, kalau dia mengetahui seseorang menggasab tanah orang lain, memalsukan sertifikatnya dan bukti-bukti lainnya, maka karena didorong oleh motif khawatir akan menyia-nyiakan hak orang yang digasab tanahnya. Sehingga ia menghadap kepada hakim untuk bersaksi terhadap pemilik tanah yang digasab demi kemaslahatan.
Ushuli mengarahkan hadits terkait kesaksian pada dua arah, yang pertama menjadi sebuah hal yang baik demi menunjang kemaslahatan, dan yang kedua sebagai pengecualian jika kesaksian tersebut disegerakan tanpa pertimbangan secara matang, dan mendorongnya melakukan demikan tidak lain karena hawa nafsu, yang pertama lillahi ta’ala yang kedua karena motif nafsu atau sakit hati, kedua hadits tadi dapat diamalkan. Ini berkaitan dengan kompromi (menggabungkan) dalil dari segi dalalahnya.
Kontradiksi dalam Tsubut/Transmisi
Dalam standarisasi dari sisi periwayatan, seorang mujtahid/ushuli dalam satu jalur riwayat lebih memilih hadits yang ‘aly atau periwayatannya sedikit dari pada yang periwayatannya banyak atau naziil, karena hadits yang ‘aly dari mukharrij sampai kepada Rasulullah SAW terpisah oleh sedikit rawi, minimal 3 generasi; Sahabat, Tabi’in, Atba’uttabi’in. sehinnga kecil kemungkinan terjadi munqhathi’ atau pemalsuan dalam riwayat tersebut.
Sedangkan hadits yang naziil dari mukharrij sampai kepada Rasulullha SAW terpisah oleh banyak rawi, misalkan 10 orang perawi. Maka kemungkinan salah seorang perawi keliru karena menambah redaksi atau memahaminya dengan pemahaman yang tidak benar. hal demikian memungkinkan terjadinya munqathi‘, jika kedua hadis tersebut disandingkan pada jalur riwayat yang sama, maka mujtahid/ushuli lebih mendahulukan hadits yang riwayatnya ‘aly dari pada naziil.
Standarisasi Perawi
Pertama, ushuli mendahulukan perawi yang faqih dari pada yang tidak faqih (sebagaimana yang dikatakan oleh imam sulaiman bin mihran al-A’masy dalam muqaddimah tadrib ar-rawi fi taqrib syarhi An-Nawawi oleh imam As-suyuthi:
وقد قال الاعمش : حديث يتداوله الفقهاء خير من حديث يتداوله الشيوخ)
Misalnya hadits yang diriwayatkan oleh imam Syafi’I, Abu Hanifah, Auza’I, Sufyan Tsauri atau yang selevel dengan mereka didahulukan dari pada hadits yang diriwayatkan oleh perawi lain yang tidak faqih.
Kedua, ushuli lebih mendahulukan hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang shahih aqidahnya dari pada perawi yang cacat aqidahnya. Karenanya hadits dari perawi yang berakidah Ahlu Sunnah lebih didahulukan dari pada hadits yang diriwayatkan perawi khawarij meskipun si khawarij itu terkenal jujur. Terlebih, jika hadits yang diriwayatkannya itu kontradiksi dengan hadits lain, atau ketika hadits yang diriwayatkannya itu berkaitan dengan akidahnya atau perilaku bid’ahnya.
Dalam muqaddimah tadrib ar-rawi juga disebutkan:
وقال القاضي عبد الوهاب: ذكر عيسى بن أبان عن مالك أنه قال: لا يؤخذ العلم عن اربعة, ويؤخذ عمن سواهم: لا يؤخذ عن مبتدع يدعو الى بدعته, ولا عن سفيه يعلن بالسفه, ولا عمن يكذب في أحاديث الناس, وان كان يصدق في احاديث النبي صلى الله عليه وسلم, ولا عمن لا يعرف هذا الشأن)
Ketiga, ushuli lebih mendahulukan riwayat yang datang dari pelaku kejadian atau saksi dari pada perawi yang tidak berada pada saat munculnya dalil tersebut. Perawi dengan kriteria semacam itulah yang sangat memahami latar belakang munculnya hadits, sebab dia menyaksikan langsung dari Rasulullah SAW. Misalnya, hadits yang diriwayatkan salah seorang sahabat yaitu Abu Rafi’ r.a. dia berkata, “Rasulullah SAW. Menikahi Sayyidah Maumunah, sementara keduanya dalam kondisi halal (alias tidak atau belum berihram. Sebab Nabi menikahi Sayyidah Maimunah di Di daerah yang bernama sarif, jauh dari mekkah. Orang yang menjadi juru bicara atas keinginan Nabi menikahi Maimunah ialah Abu Rafi’ sendiri, sehingga dialah yang paling tahu akan peristiwa itu. Kemudian datang ibnu Abbas mengatakan, meriwayatkan juga hadits ini, tetapi usia beliau belum genap 12 tahun pada kala itu, dan ia pun tidak hadir tatkala peristiwa itu terjadi.
Keempat. Ushuli mendahulukan perawi yang masyhur sifat adil dan dhabitnya, dari pada perawi yang tidak masyhur sifat adil dan dhabithnya, atau bahkan masih diperselisihkan.
Kelima, ushuli lebih mendahulukan hadits, yang menurut kesepakatan pakar hadits, sanadnya bersambung sampai Rasululah SAW. Dari pada hadits yang masih diperdebatkan sanadnya. Misalnya, terdapat hadits yang marfu’ yang disandarkan kepada Rasulullah SAW. Dalam redaksi matannya, secara tegas dikatakan “Rasululah SAW bersabda”.
Di sisi lain terdapat riwayat dari sahabat yang tidak diketahui apakah hadits itu marfu‘ atau mauquf. Tegasnya, riwayat ini masih diperdebatkan, sehinnga di sini merajihkan hadits yang disepakati bersumber dari Rasul tersebut.
Keenam, ushuli mendahulukan hadits yang diriwayatkan bi lafzhi (lafaz) dari Rasulullah SAW. Dari pada hadits yang diriwayatkan bil makna. Para Ushuli merajihkan hadits yang di dalamnya terdapat Redaksi “Rasulullah SAW bersabda” dari pada hadits yang redaksinya “kita bersama-sama Rasulullah SAW dan terjadi kejadian ini dan itu” dan juga mereka lebih merajihkan hadits qauliyyah (perkataan) dari pada fi’liyyah (perilaku).
Ketujuh, ushuli lebih memdahulukan hadits yang memberatkan dari pada hadits yang memberikan keringanan. Tentu, hal ini dilakukan dalam rangka kehati-hatian dalam urusan agama.
Kedelapan, ushuli lebih mendahulukan hadits yang berasal dari masa menjelang Rasulullah SAW wafat dari pada hadits yang mutlak, dalam arti tidak dibatasi oleh waktu. Misalnya diriwayatkan Nabi SAW Mengimami shalat berjamaah dalam keadaan sakit sebelum wafat dengan duduk, sementara para sahabat berdiri dibelakangnya. Kemudain hadits lain menyebutkan bahwa Rasulullah SAW Bersabda, “jika seorang imam melakukan shalat dengan duduk maka maka makmumnya juga harus duduk dan jika imam shalat dalam keadaan berdiri maka makmum juga shalat berdiri.”. kita mengambil hadits yang pertama sebab hadits itu datang di saat-saat akhir kehidupan Nabi SAW. yakni karena hadits yang pertama masuk dalam perkara yang sempit, tidak ada waktu untuk menghapus dengan dalil lain, karena sempitnya waktu diantara hadits dan wafatnya Rasulullah SAW.
Demikianlah, di depan kita tersisa lebih dari dua puluh kriteria yang dapat dilakukan untuk mentarjih. Semuanya berkisar dalam ruang logika (manthiq) dan akal (ma’qul). Sebagai contoh pada perihal mentarjihkan kontradiksi qiyas, para ushuli lebih mendahulukan illat dari pada hikmah. Misalkan khamer illatnya memabukkan, dan hikmahnya hilangnya akal, maka mereka lebih mendahulukan illat memabukkan. begitu pula lebih mendahulukan illat basith (sederhana) dari pada illat murakkab, illat basith ialah memabukkan pada khamer dan illat murakkab ialah hal yang membatalkan wudhu.
Hadits yang diriwayatkan oleh lebih banyak perawi, perawinya lebih bertakwa, lebih teliti dalam hafalan, semuanya menyuarakan tentang af’al tafdhil (memilih yang lebih utama); merajihkan sebuah dalil atas lainnya manakala terjadi kontradiksi.