nikah

majalahnabawi.com – Ada sebuah ungkapan populer yang berbunyi “al-Nuṣuṣ Mutanāhiyyah wa al-Waqāi’ wa  al- Nawāzil Ghayru Mutanāhiyyah” (Teks-teks sudah berhenti, akan tetapi peristiwa dan kejadian tidak berhenti; terus bermunculan). Pernyataan ini mengisyaratkan bahwa permasalahan baru akan terus timbul, akan tetapi teks-teks agama tidak bisa mengakomodirnya secara langsung, karena keterbatasannya. Permasalahan tersebut tentunya harus dijawab. Oleh karenanya, penggalian dan penemuan hukum (rechtsvinding) adalah sebuah keniscayaan, demi menjawab dan menyelesaikan persoalan tersebut. Dalam dunia hukum Islam, ushul fikih hadir dalam mengatasi keterbatasan teks. Ushul fikih berusaha untuk mendialogkan antara kesenjangan teks dengan realita baru yang terus bermunculan.

Hal ini juga berimbas pada pembaharuan sebagian hukum Islam. Ketika Ushul Fikih berusaha menjawab permasalahan baru yang terus bermunculan, tidak jarang akan timbul jawaban yang berbeda dengan produk hukum Islam terdahulu. Semua ini untuk menyesuaikan dinamika kehidupan yang terus bergerak, demi mencapai kemaslahatan di dunia dan akhirat. Ini sesuai dengan kaidah fikih yang berbunyi “Lā Yunkar Taghayyur al-Ahkām bi Taghayyur al-Azmān” (perubahan hukum tidak diingkari, karena perubahan zaman). Jika kita persempit ruang lingkupnya, pembaharuan ini juga terjadi di bidang hukum keluarga Islam di Indonesia.

Ketentuan Nikah di Indonesia

Hukum keluarga Islam di Indonesia mulai mendapatkan posisi strategis pada tahun 1991. Hal ini ditandai dengan diberlakukannya Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang termaktub pada Intruksi Presiden (Inpres) tahun 1991. Dalam kompilasi ini, kita bisa dapati regulasi yang berkaitan dengan perkawinan, kewarisan, dan perwakafan, yang memperhatikan nilai keislaman di Indonesia. KHI menjadi pedoman bagi hakim di lingkungan Peradilan Agama di Indonesia. KHI juga menjadi contoh yang menunjukkan pembaharuan hukum keluarga Islam di Indonesia, yang juga dilandasi oleh ushul fikih.

Banyak sekali pembaharuan di dalam hukum keluarga Islam di Indonesia. Tulisan ini hanya akan menyebutkan dua contoh, yaitu masalah larangan nikah beda agama dan pencatatan pernikahan.

Nikah Beda Agama

Pertama, larangan nikah beda agama. Islam melarang orang-orang muslim untuk menikahi non-muslim (al-Baqarah [2]: 221). Akan tetapi diberi pengeculian, yaitu laki-laki muslim boleh menikahi perempuan ahli kitab –Yahudi atau Nasrani–, berlandaskan QS. al-Maidah [5]: 5. Alm. KH. Ali Mustafa Yaqub dalam bukunya Nikah Beda Agama dalam Perspektif Al-Quran dan Hadis menerangkan, para ulama menjadikan ayat tersebut sebagai dalil kebolehan laki-laki muslim untuk menikahi perempuan ahli kitab. Banyak ulama yang menjelaskan hikmah di balik kebolehan tersebut, di antaranya suami diharapkan bisa mengajak istrinya untuk menganut agama Islam.

Penjelasan di atas akan berbanding terbalik dengan yang tertulis di dalam KHI. Pasal 40 huruf c KHI menjelaskan bahwa laki-laki muslim dilarang untuk menikahi seorang perempuan yang tidak beragam Islam. Sehingga, pasal ini juga menutup kebolehan pernikahan antara laki-laki muslim dengan perempuan ahli kitab. Argumentasi dalam hal ini menggunakan konsep Sadd al-Zarī’ah.

Sadd al-Zarī’ah sendiri memiliki arti melarang sesuatu yang bisa menghantarkan kepada bahaya dan kerusakan. Memang, pernikahan antara laki-laki muslim dengan perempuan ahli kitab diperbolehkan, akan tetapi juga ada risiko yang ditanggung di dalamnya. Anwar Rachman, dkk. dalam bukunya Hukum Perkawinan Indonesia menjelaskan, pernikahan beda agama akan berimbas pada aspek psikologis. Contohnya, ketika mereka mempunyai buah hati, kedua orang tuanya yang berbeda agama tersebut akan saling berlomba-lomba dalam memberi pengaruh dan mengajak anaknya untuk menganut agamanya. Hal ini akan menyebabkan tidak harmonis di dalam rumah tangga. Risiko juga bisa dialami oleh suaminya yang muslim. Alih-alih bisa membimbing istrinya yang ahli kitab untuk memeluk Islam, karena imannya yang lemah, justru sang suami yang pada akhirnya memeluk ajaran istrinya. Oleh karenanya, pernikahan laki-laki muslim dengan perempuan ahli kitab itu dilarang, karena pertimbangan sadd al-zarī’ah.

Kedua, pencatatan pernikahan. Pasal 2 Ayat (2) Undang-undang Perkawinan No. 1/1974 menjelaskan, bahwa setiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kemudian diperkuat dengan Pasal 5 dan 6 KHI, yang pada intinya mengharuskan pencatatan pernikahan oleh negara. Tujuan pencatatan pernikahan adalah sebagai bukti yang paling kuat adanya ikatan pernikahan. Sehingga, di antara mereka akan lebih bertanggung jawab dan tidak ada pihak yang mengingkari ikatan suci tersebut. Selain itu, pencatatan pernikahan akan menjadi bukti autentik dalam menyelesaikan permasalahan yang bisa timbul di kemudian hari, seperti cerai, waris, dan harta bersama.

Penerapan Ushul Fikih Modern

Akan tetapi, jika kita melihat kepada fikih klasik, regulasi pencatatan pernikahan tidak akan ditemukan di dalamnya. Setidaknya, ada dua alasan absennya peraturan tersebut, yaitu: (1) ketiadaan nas agama yang mengaturnya dan (2) belum munculnya ide atau kebutuhan akan hal tersebut pada waktu itu. Melihat hal ini, pencatatan pernikahan menjadi salah satu  bentuk pembaharuan dalam bidang pernikahan. Lalu, bagaimana penerapan ushul fikih di dalamnya?

Wardah Nuroniyah dalam bukunya Kontruksi Ushul Fikih Kompilasi Hukum Islam menjabarkan, bahwa ada dua metode yang bisa digunakan di dalamnya, yaitu metode istiṣlāḥ dan qiyas. Istiṣlāḥ atau al-maṣāliḥ al-musrsalah yaitu penetapan hukum dengan didasarkan pada kemaslahatan, demi merealisasikan tujuan syariat (maqāṣid al-Syarī’ah), akan tetapi hal itu tidak didukung atau tidak digugurkan juga oleh dalil syariat. Sebagaimana dari penjelasan yang lalu, pencatatan nikah mempunyai kemaslahatan di dalamnya. Hal ini akan menjaga jiwa dan harta (al-nafs wa al-māl), bahkan menjaga keturunan (al-nasl). Melalui pendekatan Istiṣlāḥ, pencatatan pernikahan harus dilakukan.

Wardah Nuroniyah melanjutkan, Qiyas atau analogi juga bisa dipakai dalam kasus ini. Ia dianalogikan dengan perintah pencatatan hutang piutang dalam QS. al-Baqarah [2]: 282. Aṣl-nya adalah akad hutang piutang, far’­-nya adalah akad nikah, dan ‘illat-nya adalah mewujudkan pertanggung jawaban dan meniadakan kezaliman. Dengan demikian, hukum pencatatan pernikahan sama seperti pencatatan hutang.