Tafsir Moderasi Beragama dalam Islam
Majalahnabawi.com – Wasath dalam ayat tersebut bermakna sebaik-baiknya umat, dan dipertegas kembali oleh penjelasan dalam Tafsir al-Jalalain ialah umat yang adil. Kemudian dalam Tafsir al-Baidhowi menambahkan kalimat “Muzakkina bi al-Ilmi wa al-A’mal” (cerdas dalam pengetahuan dan pengamalan).
Moderasi beragama pada saat ini menjadi diskursus khusus yang menarik bagi kalangan akademisi maupun non akademisi. Moderasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki dua makna, yaitu pengurangan kekerasan dan penghindaran keekstreman. Dalam hal ini, kita akan membahas tentang Moderasi Beragama dalam Islam.
Terkait diskursus ini, dua istilah yang paling popular ialah wasatiyyah dan plularitas. Mari kita lihat tentang dua aspek tersebut.
1. Wasathiyyah
وَكَذَٰلِكَ جَعَلۡنَٰكُمۡ أُمَّةٗ وَسَطٗا
“Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) ”umat pertengahan“
Kebanyakan akademisi ketika membahas tentang Wasathiyyah dalam Islam merujuk pada ayat di atas. Berikut pandangan ulama tafsir tentang ayat tersebut:
a. Tafsir al-Jalalaini karya Imam Jalaluddin al-Mahally (684 H) dan Imam Jalaluddin al-Suyuthi (911 H)
﴿أُمَّةً وسَطًا﴾ خِيارًا عُدُولًا
b. Tafsir al-Baidhowi karya Imam al-Baidhowi (685 H)
﴿جَعَلْناكم أُمَّةً وسَطًا﴾ أيْ خِيارًا، أوْ عُدُولًا مُزَكِّينَ بِالعِلْمِ والعَمَلِ
c. Tafsir Ibn Abi Hatim karya Imam Ibn Abi Hatim al-Razi (328 H)
قَوْلُهُ: ﴿وكَذَلِكَ جَعَلْناكم أُمَّةً وسَطًا﴾ آيَةُ ١٤٣
حَدَّثَنا الحَسَنُ بْنُ عَرَفَةَ وأحْمَدُ بْنُ سِنانٍ، والحَسَنُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ الصَّبّاحِ قالُوا: ثَنا أبُو مُعاوِيَةَ، عَنِ الأعْمَشِ، عَنْ أبِي صالِحٍ، عَنْ أبِي سَعِيدٍ الخُدْرِيِّ، قالَ «قالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: ”َكَذَلِكَ جَعَلْناكم أُمَّةً وسَطًا“ قالَ: عَدْلًا»
d. Tafsir al-Mawardi karya Imam al-Mawardi (450 H)
قَوْلُهُ تَعالى: ﴿وَكَذَلِكَ جَعَلْناكم أُمَّةً وسَطًا﴾ فِيهِ ثَلاثَةُ تَأْوِيلاتٍ: أحَدُها: يَعْنِي خِيارًا، مِن قَوْلِهِمْ: فُلانٌ وسَطُ الحَسَبِ في قَوْمِهِ، إذا أرادُوا بِذَلِكَ الرَّفِيعَ في حَسَبِهِ، ومِنهُ قَوْلُ زُهَيْرٍ:
هم وسَطٌ يَرْضى الإلَهُ بِحُكْمِهِمْ إذا نَزَلَتْ إحْدى اللَّيالِي بِمُعَظَّمِ
والثّانِي: أنَّ الوَسَطَ مِنَ التَّوَسُّطِ في الأُمُورِ، لِأنَّ المُسْلِمِينَ تَوَسَّطُوا في الدِّينِ، فَلا هم أهْلُ غُلُوٍّ فِيهِ، ولا هم أهْلُ تَقْصِيرٍ فِيهِ، كاليَهُودِ الَّذِينَ بَدَّلُوا كِتابَ اللَّهِ وقَتَلُوا أنْبِياءَهم وكَذَبُوا عَلى رَبِّهِمْ، فَوَصَفَهُمُ اللَّهُ تَعالى بِأنَّهم وسَطٌ، لِأنَّ أحَبَّ الأُمُورِ إلَيْهِ أوْسَطُها
والثّالِثُ: يُرِيدُ بِالوَسَطِ: عَدْلًا، لِأنَّ العَدْلَ وسَطٌ بَيْنَ الزِّيادَةِ والنُّقْصانِ، وقَدْ رَوى أبُو سَعِيدٍ الخُدْرِيُّ، «عَنِ النَّبِيِّ ﷺ في قَوْلِهِ تَعالى: ﴿وَكَذَلِكَ جَعَلْناكم أُمَّةً وسَطًا﴾ أيْ عَدْلًا.
KESIMPULAN MAKNA WASATHIYYAH
Kesimpulan dari empat tafsir yang saya kutip ialah bahwa Wasath dalam ayat tersebut bermakna sebaik-baiknya umat, dan dipertegas kembali oleh penjelasan dalam Tafsir al-Jalalain ialah umat yang adil. Kemudian dalam Tafsir al-Baidhowi menambahkan kalimat “Muzakkina bi al-Ilmi wa al-A’mal” (cerdas dalam pengetahuan dan pengamalan). Imam Abi Hatim al-Razi mengutip suatu hadis yang menjelaskan tentang ayat tersebut di mana “Wasath” bermakna “Adlan”, artinya sikap adil kita kepada siapa pun itu merupakan pengamalan dalam firman Allah Swt pada ayat ini.
Imam al-Mawardi memperincinya menjadi tiga kategori makna: Pertama, “Khiyaran” (sebaik-bainya). Kedua, “Wasath” itu dari “al-Tawassuth” (tengah-tengah dalam suatu perkara). Dalam artian, Umat Islam itu tengah-tengah dalam beragama dan tidak “ghuluw” (berlebihan/ekstrem), tetapi juga tidak “al-Taqhsir” (kurang/lalai) dalam beragama. Imam al-Mawardi memberi contoh Yahudi yang mengganti kitab Allah, membunuh para Nabi, dan berbohong atas Tuhan-Nya sendiri. “Ahabbu al-Umur ilahi Wasthuha” (Perkara yang paling dicintai oleh Allah Swt ialah perkara yang tengah-tengah). Terakhir, “Wasath” dimaknai sebagai “Adlan” (adil), karena adil itu pertengahan antara penambahan dan pengurangan.
2. Pluralitas
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pluralitas memiliki makna: “kemajemukan: mereka yang menolak RUU mencurigai adanya politik pemaksaan kehendak dari kelompok mayoritas untuk menghilangkan – masyarakat”. Atau, biasanya kita mengenal dengan istilah pluralisme yang memiliki makna: “keadaan masyarakat yang majemuk (bersangkutan dengan sistem sosial dan politiknya)”.
Dalam konteks ini, yang perlu kita garis bawahi ialah bahwa kemajemukan ialah anugerah yang sangat besar dari Allah Swt yang perlu kita rawat, akan tetapi bukan menyamaratakan semua agama. Tentu, kita meyakini agama yang kita imani adalah yang benar, karena ini bicara soal iman, dan iman bicara soal keyakinan yang sudah final. Oleh karena itu, sikap pluralis yang kita miliki untuk menjunjung tinggi aspek-aspek kemajemukan dan kemanusiaan. Akan tetapi, tidak boleh sedikit pun membawa dalam hal yang ranahnya iman dan prinsip yang kita miliki bersama-sama. Mungkin di tulisan yang akan datang, saya akan menjabarkannya lebih detail.