Majalahnabawi.com – Al-Qur’an dan hadis adalah mukjizat linguistik. Hingga saat ini, keindahan sastra al-Qur’an tidak ada yang menandinginya. Meskipun tantangan masih terbuka bagi siapa saja yang ingin menandinginya. Demikian halnya dengan hadis. Dengan derajat yang sedikit berbeda, hadis memiliki gaya bahasa yang indah. Padahal, hadis disabdakan oleh baginda Nabi yang tidak bisa membaca ataupun menulis. Namun sabdanya sangat sarat nilai sastra. Di titik ini, kita dapat paham bahwa oerkataan Nabi tidak lain adalah wahyu. Hanya saja secara biografis-sosiologis, bagaimana keindahan sastrawi hadis tersebut bisa nampak jelasnya?

Syekh Nuruddin ‘Itr (1937-2020) mencoba menjelaskan dalam kitabnya “Fi Dhilal al-Hadis al-Nabawi “, ada 3 faktor. Khususnya melihat dari sisi biografi dan latar belakang tumbuh kembangnya Baginda Nabi. Pertama, Nabi Muhammad saw. berasal dari suku Quraisy. Bagi masyarakat Arab pada waktu itu, suku Quraisy terkenal memiliki bahasa yang indah (al-lughah al-adibah al-raqiyah). Karenanya, penyair ternama seperti Imril Qois menggunakan gaya bahasa Qurasy. Dari latar belakang ini, tidak aneh jika darah keindahan sastrawi mengalir dalam hadis baginda Nabi.

Kedua, Nabi Muhammad saw. saat kecil hidup di lingkungan Bani Sa’d. Kabilah Bani Sa’d adalah satu di antara tiga kabilah Arab yang memiliki kefasihan dalam berbahasa. Pakar linguistik Arab generasi awal, Imam Abu ‘Amr bin al-‘Ala (68-154 H) menyebut kabilah Bani Sa’d sebagai bagian dari “Ulya Hawazin”, sebutan bagi kabilah yang fasih. Kabilah yang bahasanya tidak terkontaminasi dengan bahasa Romawi dan Persia. Sebagaimana kita ketahui, sejak kecil hingga usia 5 tahun, baginda Nabi disusui dan diasuh oleh Halimah al-Sa’diyah. Satu diantara ibu mulia dari kabilah Bani Sa’d. Tersemat nama al-Sa’diyah, nama yang merujuk pada kabilah Bani Sa’d.

Ketiga, baginda Nabi tumbuh berkembang sebagai yatim dan pengembala kambing. Hidup menjadi yatim tidak lain adalah latihan kehidupan. Seseorang dapat merasakan rasa papa. Dari suasana batin ini, tumbuh merekah rasa simpati dan empati. Demikian halnya dengan watak seorang pengembala. Ia dengan sendirinya terasah rasa peduli dan tanggung jawab. Yakni terbiasa memperhatikan kecukupan asupan makan-minum gembalanya. Menjaga sepenuhnya keselamatan hewan gembalaannya. Latihan kehidupan inilah yang nantinya sedikit banyak berpengaruh dengan kondisi batin baginda Nabi. Tak aneh jika tutur bahasanya lembut, tegas, dan penuh perhatian. Karenanya, masing masing sahabat merasa sebagai orang paling dekat dengan Nabi. Mereka merasakan perhatian penuh ketika berinteraksi dan bercakap dengan Nabi. Tentu, 3 alasan ini masih bisa bertambah. Terlebih jika menggunakan tilikan lain. Tidak terbatas pada sisi biografis-sosiologis baginda Nabi Muhammad saw.

By Muhammad Hanifuddin

Dosen di Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences