Fikih Nikah (1): Pengertian dan Syariatnya dalam Islam
Majalahnabawi.com – Pernikahan merupakan hal yang sangat lumrah di kalangan kita, dan salah satu sunah nabi. Adalah hal yang fitrah, sepasang lelaki dan perempuan yang saling memiliki ketertarikan, lalu melaksanakan pernikahan. Pernikahan juga sarana paling agung dalam memelihara keturunan dan memperkuat antar hubungan sesama manusia yang menjadi sebab terjaminnya ketenangan cinta dan kasih sayang. Bukan hanya itu, pernikahan juga memiliki nilai ibadah dan penggenap dari keimanan seseorang.
Definisi Nikah Menurut 4 Imam Mazhab
An-nikahu ( النكاح) secara etimologi berasal dari Bahasa Arab yang memiliki derivasi bahasa nakaha – yankahu, nakahan, nikaahan, yang berarti ad-dhommu (menggabungkan) dan al- jam’u (mempersatukan). Terkadang juga kata an-nikaahu bermakna al-aqdu (akad) dan al- wathu (jimak).
Sedangkan secara terminologi para ulama berbeda pendapat dalam definisi nikah. Adapun definisi nikah menurut 4 imam mazhab yaitu:
فقال الحنفية : النكاح عقد يفيد ملك المتعة بالأنثى قصدا، أي يفيد حل استمتاع الرجل من امرأة لم يمنع من نكاحها مانع شرعي (الدر المختار ورد المحتار ٢٥٨/٢)
Menurut Imam Abu Hanifah, nikah adalah suatu akad yang memberikan kenikmatan dengan perempuan dengan tujuan tertentu. Maksudnya adalah nikah adalah sarana halal yang memperbolehkan seorang laki-laki bersenang-senang dengan perempuan.
وقال المالكية : النكاح عقد لحل تمتع بأنثى غير محرم ومجوسية وأمة كتابية بصيغة ( حاشية الصاوي ٣٣٢/٧ )
Sedangkan Imam Malik berkomentar, bahwa nikah adalah suatu akad untuk menghalalkan bersenang-senang dengan perempuan yang bukan mahram, bukan majusi, dan bukan seorang budak dengan shigoh (ijab – kabul).
وقال الشافعية : النكاح عقد يتضمن اباحة وطئ بلفظ إنكاح أو تزويج أو ترجمته ( نهاية المحتاج ۱۷٤/٦)
Adapun Imam Syafi’i berpendapat, bahwa nikah adalah suatu akad yang dengannya maka dapat memperbolehkan jimak, dengan menggunakan sighoh atau lafaz inkah (pernikahan), atau tazwiij (perkawinan) atau yang semakna.
وقال الحنابلة : النكاح عقد التزويج ، أي عقد يعتبر فيه لفظ نكاح أو تزويج أو ترجمته ( كشاف القناع ٥/٥)
Di satu sisi, Imam Ahmad bin Hambal juga mengatakan, bahwa nikah adalah aqdu tazwij. Maksudnya, nikah adalah akad yang di dalamnya terdapat lafaz nikah atau tazwij atau yang semakna.
Dari ke empat definisi di atas menghasilkan konklusi bahwa definisi nikah adalah suatu akad untuk menghalalkan seorang laki-laki bersenang-senang dengan perempuan yang bukan mahram, majusi, atau pun budak dengan shigot lafaz nikah atau tazwij atau pun kata lain yang semakna.
Syariat Menikah Sejak Masa Nabi Adam As.
Syariat menikah sebenarnya sudah ada sejak masa Nabi Adam As. dan Siti Hawa. Namun kala itu memperbolehkan untuk menikahi saudara kandung sendiri, sebagaimana Nabi Adam As. menikahkan anaknya Habil dengan saudari kembar Kabil dan juga sebaliknya Kabil dengan saudari kembar Habil yang mana mereka semua lahir dari rahim yang sama, yaitu Siti Hawa. Hal ini mungkin terjadi karena tidak ada manusia lain selain Nabi Adam As. dan Siti Hawa. Sehingga dari sana lah berkembang populasi manusia hingga saat ini.
Imam al-Aini Ra. (w. 855 H) dalam kitab Syarah Sunan Abi Dawud berkata:
قال العيني رحمه الله تعالى: والأحكام شرعت لمصالح العباد، وتتبدلُ باختلاف الزمان …
Hukum-hukum itu disyariatkan untuk kemashlahatan hamba dan silih berganti karena bedanya zaman.
Dan juga Ibnu Allan Ra. (w. 1057 H.) berkomentar dalam hal ini dalam Kitab Dalilul Falihin halaman 448 juz 2, ia berkata:
” وكان شريعة آدم عليه السلام ؛ أن بطون حواء كانت بمنزلة الأقارب الأباعد ، وحكمته تعذر التزوج ، فاقتضت مصلحة بقاء النسل تجويز ذلك ” انتهى
Syariat pada masa Nabi Adam As. adalah bahwa rahim Hawa itu kerabat dekat menempati kerabat jauh, dan hikmahnya adalah tidak mungkin untuk menikahi (yang lain), maka dilakukanlah sebuah kepentingan mashlahah demi menjaga kelangsungan keturunan yang mengharuskan hal itu (menikahi saudara) diperbolehkan.
Dan diperkuat oleh firman Allah Swt. bahwa setiap umat memiliki syariat masing-masing yang sesuai dengan mashlahah pada zamannya.
لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا ) المائدة : ٤٨)
“Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.” (Q.S. Al-Maidah: 58)
Adapun di zaman Nabi Muhammad Saw. hukum tersebut dinasakh dan hukum menikahi saudara sendiri adalah haram sebagaimana firman Allah Swt. dalam Al-Quran Surat An-Nisa ayat 23
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَٰتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَٰتُكُمْ وَعَمَّٰتُكُمْ وَخَٰلَٰتُكُمْ وَبَنَاتُ ٱلْأَخِ وَبَنَاتُ ٱلْأُخْتِ …. الخ
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-la.” (Q.S. Al-Maidah: 23)
Wallahu A’lam.