Abu Lubabah bin Abdil Mundzir, Sosok Ansar Berhati Lembut
Abu Lubabah termasuk salah seorang muslim pilihan yang telah turut membela dan menegakkan agama Islam. Dia adalah salah seorang pahlawan bagi kaum muslimin dalam peperangan, yang telah mempersembahkan diri dan nyawanya di jalan Allah untuk menegakkan kebenaran dan meninggikan agama-Nya.
Dia dilahirkan di Yatsrib yang subur dan banyak mata air. Daerah yang banyak ditumbuhi pepohonan dan tetumbuhan yang dapat dinikmati oleh manusia dan hewan. Penduduknya yang agraris dikenal memiliki akhlak yang luhur, pemaaf, berperasaan halus dan gemar berbuat baik terhadap sesamanya. Kemuliaan kaum Anshar dengan bangga disebutkan Allah Ta’ala dalam Alquran al-Karim, “Dan orang-orang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (kaum Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (kaum muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (kaum muhajirin); dan mereka mengutamakan (kaum muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung”. (QS. al-Hasyr [59]: 9). Demikian itu sifat dan karakter kaum Anshar. Abu Lubabah termasuk orang yang seperti itu.
Isterinya bernama Khansa’ binti Khanddam al-Anshariyah dari golongan al-Aus. Abu Lubabah termasuk orang pertama yang masuk Islam, ketika beberapa orang Anshar berjumpa dengan Mush’ab bin Umair di Yatsrib. Ketika ditawarkan Islam, mereka cepat menerimanya dan percaya kepada Muhammad Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wasallam. Saat Nabi saw. berada di Madinah, beliau mengangkat Abu Lubabah sebagai pemimpin di Madinah.
Alkisah pada saat terjadinya peperangan antara kaum muslimin dengan kaum Yahudi, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wasallam memimpin penyerangan ke benteng Yahudi Bani Quraizhah. Abu Lubabah ikut bersama beliau dan kepemimpinan Madinah diserahkan kepada Abdullah ibnu Ummi Maktum. Kaum muslimin mengepung benteng Bani Quraizhah itu selama 25 malam sehingga mereka hidup dalam kekurangan dan ketakutan.
Hingga akhirnya mereka meyakini bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wasallam tidak akan membiarkan mereka tanpa hukuman, akhirnya Ka’ab bin Asad bertindak sebagai penengah untuk mereka mngajukan usulan. Ia berkata, “Wahai orang-orang Yahudi! Kalian sudah mengetahui petaka apa yang telah menimpa kalian dan aku mencoba menawarkan tiga hal; terserah kalian untuk memilih yang mana diantaranya yang kalian senangi.”
“Apa itu ?”
“Kita mengikuti Muhammad dan mempercayainya. Demi Allah! sebenarnya kalian sudah mengetahui bahwa dia adalah seorang Nabi dan Rasul Allah, dan bahwa ciri-cirinya sudah dinyatakan dalam Kitab kalian. Dengan demikian, kalian telah mengamankan darah, harta, anak-anak, dan istri-istri kalian semuanya”
Kaum Yahudi Quraizhah menjawab, “Kami tidak akan meninggalkan hukum taurat dan tidak akan menggantikannya dengan hukum lainnya hingga kapanpun”.
Kedatangan Ka’ab bin Asad membuat mereka berfikir kembali merumuskan suatu resolusi baru. Mereka menunda memberikan jawaban hingga akhirnya mereka mengirim seorang utusan untuk menemui Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wasallam. Mereka meminta Abu Lubabah bin Abdil Mundzir dikirimkan kepada mereka untuk dimintai pendapat. Mereka menganggap Abu Lubabah sebagai sekutu golongan mereka.
“Kami meminta Abu Lubabah dikirimkan kepada kami. Dia seorang sahabat karib bagi kami. Dahulu, harta dan anak-anaknya bersama dengan kami”. Mendengar permintaan mereka Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wasallam lalu mengirimnya menemui mereka. Sesuai dengan perintah Rasulullah, Abu Lubabah bin Abdil Mundzir mendatangi mereka. Ketika dia telah berada di antara mereka, mereka bertanya kepadanya, “Wahai Abu Lubabah, bagaimana pendapatmu, apakah kami akan tunduk kepada keputusan Ka’ab bin Asad?”
Abu Lubabah lalu memberi isyarat kepada mereka dengan menggores tangan di leher bahwa mereka akan disembelih, berarti jangan mau menerima.
Abu Lubabah berkata, “Demi Allah, kedua kakiku belum beranjak dari tempatku melainkan telah mengetahui bahwa aku telah mengkhianati Allah dan Rasul-Nya”.
Abu Lubabah lalu pergi ke Masjid Nabawi dan tidak menemui Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wasallam lagi. Ia mengikat dirinya di salah satu tiang masjid seraya berkata, “Aku tidak akan meninggalkan tempatku ini sehingga Allah mengampuni apa yang telah aku perbuat dan telah bersumpah tidak akan pergi lagi ke perkampungan Bani Quraizhah, dan aku tidak akan melihat negeri yang pernah aku berkhianat kepada Allah dan Rasul-Nya untuk selama-lamanya”.
Sudah tujuh hari lamanya ia tidak makan sehingga tidak sadarkan diri, kemudian Allah mengampuninya. Lalu, ada yang menyampaikan berita itu kepadanya, “Wahai Abu Lubabah, Allah telah mengampuni dosamu!”
Ia berkata, “Tidak. Aku tidak akan membuka ikatanku sebelum Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wasallam datang membukanya.”
Tak lama setelah itu, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wasallam pun datang membukanya. Abu Lubabah lalu berkata kepadanya, “Kiranya akan sempurna tobatku kalau aku meninggalkan kampung halaman kaumku tempat aku melakukan dosa di sana dan aku sumbangkan seluruh hartaku?”
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wasallam menjawabnya, “Kau hanya dibenarkan menyumbangkan sepertiganya saja.” Maka turunlah ayat, “Dan (ada pula) orang-orang yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampurbaurkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan yang lain yang buruk. Mudah-mudahan Allah menerima tobat mereka. Sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang”.(QS. at-Taubah [9]:102)