Adakah Sunah Sahabat Menggantikan Sunah Nabi?
majalahnabawi.com – Adakah sunah sahabat menggantikan sunah Nabi? Catatan singkat diskusi bedah disertasi Kiai Jalaluddin Rakhmat (1948-2021) “Mudah-mudahan, disertasi ini, yang saya tulis pada hari-hari terakhir hidup saya, meninggalkan kenangan indah bagi generasi kemudian, lisana sidqin fil akhirin. Saya persembahkan buku ini kepada para pecinta kebenaran; yakni, mereka yang menjadikan misi hidupnya untuk menemukan kebenaran dan mengamalkannya!”
Demikian pernyataan Kiai Jalal menutup kata pengantar disertasinya. Kalimat yang sarat makna. Menyalakan semangat keberanian. Menyimpan mesin jihad keilmuan hingga ujung usia. Disertasi setebal 354 halaman itu dituntaskan pada tahun 2015. Tepat 6 tahun sebelum beliau berpulang. Disertasi dengan judul “Asal-Usul Sunnah Sahabat; Studi Historiografis atas Tarikh Tasyri” itu disusun dalam Bidang Pemikiran Islam pada Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar. Di bawah bimbingan Prof. Dr. H. Ahmad M. Sewang, M.A, Prof. Dr. H. Moch. Qasim Mathar, M.A, dan Prof. Dr. Phil H. Kamaruddin Amin. M.A.
Setidaknya, ada tiga pertanyaan yang hendak dijawab. Pertama, benarkah ada sunah sahabat yang berdampingan, menambah, dan bahkan bertentangan dengan sunah Nabi? Kedua, apa latar belakang teologis yang melahirkan sunah sahabat? Ketiga, apa latar belakang ideologis di balik perbedaan antara kelompok sunah Nabi dengan kelompok sunah sahabat?
Kelompok sunah Nabi adalah ulama yang memandang hanya Nabi semata yang menjadi rujukan syariat. Sedangkan kelompok sunah sahabat adalah ulama yang mengakui ijtihad sahabat sebagai sumber syariat.
Untuk menjawabnya, disertasi Kiai Jalal menggunakan metode “historical critical method” dengan pendekatan “traditional critical approach“. Yang perlu ditelaah lebih lanjut, secara eksplisit, Kiai Jalal menyatakan bahwa beliau tidak menggunakan metode “al-jarh wa al-ta’dil“. Metode yang ghalib digunakan dalam kajian hadis konvensional. Bagi Kiai Jalal, metode ini tidak bisa digunakan untuk memverifikasi reliabilitas hadis.
Alasannya adalah adanya penilaian subyektif para ahli hadis yang seringkali dipengaruhi oleh fanatisme mazhab dan kepentingan pribadi atau golongan.
Terlepas dari itu, di antara temuan menarik diseratsi Kiai Jalal ini adalah pemetakan dua aliran sahabat Nabi dalam mempersepsi ajaran Islam yang disampaikan Nabi. Kelompok pertama memandang Nabi sebagai manusia yang secara mutlak terjaga dari dosa dan kesalahan (ma’shum). Rasulullah tidak pernah salah dalam pikiran, perkataan, dan tindakan. Karenanya, umat wajib tunduk sepenuhnya. Keputusannya bersifat ilahiah. Karena ijtihad itu bisa jatuh kepada kesalahan manusiawi, maka sebaliknya, Nabi tidak pernah memutuskan berdasarkan ijtihad. Selama Nabi hidup, beliau adalah rujukan bagi seluruh umat. Bagi kelompok ini, dipercayai bahwa setelah Nabi wafat akan ada orang yang ditunjuknya sebagai tempat rujukan (marja’).
Sebaliknya, kelompok yang kedua hanya percaya kepada işmah parsial. Nabi hanya wajib ditaati dalam urusan ibadah dan akidah. Dalam masalah sosial politik, seringkali Nabi menetapkan keputusannya berdasarkan pendapatnya, bukan berdasarkan wahyu. Dalam hal seperti ini, sahabat bisa menyampaikan pendapat sebagaimana Rasulullah berijtihad, begitu pula para sahabat. Berkaitan dengan marja’iyyah, kelompok ini menjadikan seluruh sahabat sebagai marja’. Dalam perkembangannya, terdapat sunah sahabat yang seiring dengan sunah Nabi, semisal pembukuan (tadwin) al-Quran. Ada juga sunah sahabat yang menggantikan sunah Nabi, seperti shalat sunah tarawih berjamaah.
Kesimpulan ini, tentunya masih terbuka untuk dikritisi. Di antaranya adalah pemilahan yang sudah mapan dalam ilmu hadis antara hadis mauquf fi hukm al-marfu’ dan hadis mauquf laisa fi hukm al-marfu’. Demikian juga, dalam kajian Ushul Fikih, terdapat perdebatan yang sudah klasik, khususnya tentang perkataan sahabat, yakni apakah absah dijadikan sebagai sumber pensyariatan atau tidak.
Lantas tertarikkah anda?