MajalahNabawi.com– Sebagaimana diketahui oleh sebagian besar pelajar muslim di dunia, bahwa istilah mainstream ijma’ dalam ushul fikih adalah kesepakatan mujtahid dari masa ke masa dari Umat Nabi Muhammad saw setelah wafatnya dalam rangka penetapan hukum syara’. Keberadaan ijma’ sangat penting, mengingat para Mujtahid meletakkan Ijma’ sebagai sumber hukum Islam ketiga setelah Al-Qur’an dan Hadis yang menempati posisi pertama dan kedua.

Berdasarkan pengertian ijma’ di atas, dapat kita simpulkan bahwa pada masa Nabi Muhammad saw masih hidup, ijma’ tidak dapat dilaksanakan, karena segala persoalan masyarakat yang muncul, langsung Rasulullah saw sendiri yang memberikan keputusan. Bahkan ketika Nabi saw melakukan kesalahan dalam berijtihad pun pasti akan turun wahyu yang berisi teguran atau sekedar mengoreksi kesalahan keputusan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw. Lantas bagaimana urusan kaum muslimin dalam menghadapi persoalan setelah Rasulullah saw wafat? Konsensus dan ijtihad para sahabat adalah jawabannya.

Ijma’ dalam Pandangan Syekh Wahbah

Syekh Wahbah Al-Zuhaili dalam bukunya “Al-Wajiz fi Ushul Fiqh” mengatakan bahwa dalam melaksanakan ijma’ harus mempunyai sandaran syara’ baik berupa nash ataupun qiyas. Karena menurut beliau akal manusia secara independen tidak bisa menentukan hukum syara’. Jika kaum muslimin setelah Rasulullah saw wafat, kemudian melakukan ijtihad tanpa sandaran nash ataupun qiyas, maka ijma’-nya tersebut batal dan tidak dapat diterima. Adapun pemahaman nash, istinbath hukum dari nash baik berupa qiyas, dan penerapan kaidah-kaidah syara’ yang berlandaskan nash baik berupa istihsan, istishab, urf, sadz al-dara’i dan lain-lain dapat diterima sebagai upaya memahami nash.

Ijma’ bila dilandasi oleh dalil qath’i baik berupa al-Qur’an dan Hadis Mutawatir, maka ijma’ tersebut menjadi kuat disebabkan oleh dalil tersebut. Adapun bila ijma’ dilandasi oleh dalil yang zhanni baik berupa khabar ahad dan qiyas, maka ijma’  tersebut naik derajatnya dari derajat yang zhann hingga sampai derajat qath’i.

Sebagai contoh ijma’ pada masa sahabat adalah kodifikasi mushaf al-Qur’an pada masa khalifah Abu Bakar Ash-Siddiq, sebagai reaksi dari semakin berkurangnya hafidz-hafidz al-Qur’an yang meninggal karena syahid dalam peperangan melawan orang-orang yang murtad dan enggan membayar zakat. Ijma’ ini sangat penting dilakukan karena jika tidak dilakukan kodifikasi segera, maka akan mengakibatkan lenyapnya al-Qur’an sebagai pedoman hidup manusia. Oleh karena itu Abu Bakar akhirnya melunakkan hatinya untuk mengodifikasi dan menulis al-Qur’an ke dalam suatu mushaf setelah sebelumnya terus menerus didesak oleh Umar bin Khattab.

Begitu pula ijma’ yang terjadi pada masa khalifah Utsman bin Affan, di mana beliau memberlakukan azan tiga kali pada hari Jum’at sebagai upaya untuk mengingatkan kaum muslimin bahwa hari ini adalah hari diwajibkannya salat Jumat. Kedua contoh ijma’ tersebut adalah ijma’ yang berlandaskan maslahah mursalah. Meskipun ijma’ ini dilandasi oleh maslahah mursalah, akan tetapi derajatnya qath’i karena bersentuhan langsung dengan kepentingan umum dan bersentuhan dengan al-Qur’an yang mana merupakan sumber segala nash.

Berfatwa berbeda dengan ijma’, bolehkah?

Seiring perkembangan zaman yang semakin kompleks,  ternyata di antara pengikut Mazhab mempunya fatwa yang berlainan dengan ijma’ yang selama ini kita anggap sebagai hal yang sakral dan bersifat ta’abudi yang tidak lain harus diikuti oleh kaum muslimin diantaranya adalah sebagai berikut.

Bani Hasyim boleh Menerima Zakat

Prof. Wahbah al-Zuhailli mengatakan bahwa ketika kemaslahatan dirasa lebih penting dan cocok dengan situasi dan kondisi pada masa itu, maka boleh berijtihad dengan produk ijtihad yang berlainan dengan ijma’, seperti yang dilakukan oleh Imam Malik dan Imam Abu Hanifah. Keduanya berpendapat bahwa Bani Hasyim boleh menerima zakat, hal ini tentu bertentengan dengan kesepakatan sahabat dengan berlandaskan pada hadis dari Abi Rafi’ dari Rasulullah SAW, beliau bersabda :

” إِنَّ الصَّدَقَةَ لَا تَحِلُّ لَنَا، وَإِنَّ مَوَالِيَ الْقَوْمِ مِنْ أَنْفُسِهِمْ “.

Sesunguhnya zakat diharamkan atas kami (Bani Hasyim), dan sesungguhnya budak-budak suatu kaum merupakan bagian dari mereka.” (HR. Tirmidzi).

Imam Malik dan Abu Hanifah menyandarkan pendapat tersebut kepada maslahah mursalah, yakni perbendaharaan Baitul Mal tidak lagi sama seperti era Rasulullah SAW dan Khulafa al-Rasyidin, oleh karena perbedaan keadaan tersebut maka dua Imam tersebut berpendapat berbeda, yakni Bani Hasyim boleh mendapatkan zakat. Syekh al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi mengatakan bahwa; salah satu penyebab kebolehan bani Hasyim menerima zakat adalah karena era peperangan dan jihad sudah berakhir pada masa Imam Malik dan Abu Hanifah, sehingga Bani Hasyim tidak lagi mendapat seperlima dari harta rampasan perang, sehingga kedudukan harta bani Hasyim bisa dibilang sama dengan rakyat pada masa itu.

Persaksian Pihak Keluarga

Dalam kasus pidana, misalnya seorang laki-laki terjerat kasus pembunuhan, kemudian ia memanggil isterinya sebagai saksi bahwa ia tidak bersalah, menurut para Imam Mazhab hal tersebut tidak diperbolehkan dan persaksian sang isteri tidak sah, begitu pun sebaliknya. Begitu pula persaksian anak terhadap orang tuanya juga tidak diperkenankan. Adapun tujuan adanya pendapat tersebut adalah untuk menjaga hak-hak masyarakat lain agar tidak terjadi kerugian baik berupa fisik, mental, maupun materi.

Lain halnya dengan praktek yang sudah masyhur di kalangan sahabat, bahkan sudah menjadi ijma’ bahwa persaksian pihak keluarga baik istri kepada suaminya, anak kepada orang tuanya dapat diterima. Selama masih dalam ranah ijtihad, hal tersebut dapat diterima selama menggunakan argumentasi yang logis dan tidak menetapkan hukum berlandaskan hawa nafsu belaka.

Ijma’ di Era Modern

Bila dilihat dari segi realitasnya, nampaknya untuk mengadakan suatu ijma’ yang benar-benar disepakati oleh seluruh umat muslim di dunia nampaknya sulit dilakukan. Terlebih lagi dalam pengertian yang digagas oleh Prof. Wahbah Al-Zuhaili di atas yang mengharuskan seseorang dalam melakukan ijma’ adalah seorang mujtahid mutlak yang menurut sebagian besar ulama adalah sudah tidak ada manusia yang kualifikasinya sama dengan para mujtahid era klasik.

Oleh karena itu, Muhammad Syahrur, seorang pemikir Islam kontemporer memandang ijma’ sangat erat kaitannya dengan lembaga legislatif dan pemerintah dalam upaya untuk legislasi hukum nasional. Agar hukum yang tercipta lebih konkret dan bukan hanya doktrin yang diterima sebagian masyarakat dan ditolak oleh masyarakat lainnya.

Bagi Syahrur, pintu ijtihad masih terus terbuka dan keistimewaan berijtihad bukanlah hanya kepemilikan mujtahid mutlak belaka, akan tetapi setiap orang berhak untuk berijtihad dalam upaya untuk mewujudkan agama Islam sebagai agama yang “salih li kulli zaman wa makan”. Sehingga, hukum Islam yang selama ini kita kenal bukan hanya sebagai law in book, tetapi juga law in action. Sederhananya, bagi siapapun yang menduduki jabatan legislatif dan eksekutif, dapat melakukan ijma’ dalam rangka positivisasi hukum Islam agar tercipta hukum Islam yang konkret dan mengikat seluruh warga masyarakat.

Di Indonesia, meskipun ijma’ tidak dilakukan langsung oleh DPR dan Presiden, melainkan oleh lembaga Fatwa MUI (ijma’ kolektif). Akan tetapi hasil dari fatwa tersebut dapat disahkan apabila situasi menghendaki demikian. Contohnya, fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh DSN-MUI terkait Perbankan Syariah. Karena masyarakat Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah muslim, tentu mereka menginginkan sistem perbankan di Indonesia terbebas dari unsur-unsur riba.

Oleh karena itu pemerintah mengakomodir fatwa-fatwa DSN-MUI terkait Perbankan Syariah menjadi hukum positif yang berlaku bagi seluruh warga Indonesia. Bahkan nasabah non-muslim maupun perusahaan yang menggunakan jasa Perbankan Syariah harus tunduk kepada fatwa yang dilegislasi tersebut.

By Jalaludin

Mahasantri Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences - Founder of @catdesign.id