Majalahnabawi.comIslam Progresif memberikan tawaran akan kontekstualisasi penafsiran yang terbuka, ramah, segar, serta responsif terhadap problematika kemanusiaan.

Era Globalisasi sudah mencapai puncak kejayaannya. Beragam hal baru muncul dan mengendap dalam kehidupan manusia. Dahulu sebatas kentongan, sekarang menjadi whatsaapan. Namun, demikian pada saat modernitas dengan globalisasi dan kecanggihan teknologinya, memunculkan pola hidup dan pola hubungan kemanusiaan yang berbeda dengan masa lalu, maka dirasa adanya gep antara Islam dan realitas.

Islam seakan menjadi agama langit yang tidak membumi dan kehilangan identitas sebagai penyelamat atas setiap problematika yang ada. Kenyataan inilah yang menyadarkan para pemikir muslim kontemporer untuk berupaya merubuhkan stagnasi dan menumbuhkan kembali wajah Islam yang responsif dalam menghadapi persoalan zaman. Di sinilah Islam Progresif hadir sebagai gerakan yang mencoba memberi penafsiran baru agar Islam dapat sesuai dan selaras dengan tuntutan kemajuan dan kemodern-an zaman.

Istilah Islam Progresif

Secara literal, Islam Progresif berarti Islam yang maju. Penggunaan kata Islam yang teriringi dengan term Progresif bermula pada tahun 1983 ketika Suroosh Irfani mencoba mempopulerkan istilah ini dalam tulisannya yang berjudul Revolutionary Islam in Iran: Popular Liberation or Religious Dictatorship. Ia mengatakan istilah ini sebenarnya oleh aliran tokoh Islam kiri sudah memakainya, yakni Sayyid Ahmad Khan dan Jamaluddin al-Afghani.

Islam Progresif memberikan tawaran akan kontekstualisasi penafsiran yang terbuka, ramah, segar, serta responsif terhadap problematika kemanusiaan. Penanganannya pun tidak melalui jalur konservatif, yang mana berusaha menghadirkan wacana penafsiran masa lalu serta menutup diri dari luar kelompoknya. Bahkan, tidak jarang agar dapat meneguhkan keyakinannya, mereka bertindak dengan mengklaim diri sebagai pemilik otoritas kebenaran untuk bertindak secara otoriter terhadap paham dan agama lain.

Islam Progresif dapat dikatakan istilah baru dalam kajian Islam kontemporer yang digunakan oleh para akademisi dan aktivis dalam berbagai forum dialektika sejak beberapa tahun ini untuk memberikan cap kepada pemahaman dan aksi umat Islam yang memperjuangkan nilai humanis. Seperti, pengembangan civil society, aksi demokrasi, HAM, kesetaraan gender, pembelaan kepada kelompok yang tertindas (Mustadh’afin), dan pluralisme.

Pandangan dan Aksi Islam Progresif

Menurut Omid Safi, satu sisi pandangan dan aksi Islam Progresif, merupakan kelanjutan dan kepanjangan dari gerakan Islam Liberal yang muncul sejak kurang lebih seratus lima puluh tahun yang lalu. Namun, di sisi lain istilah ini muncul sebagai bentuk ungkapan ketidakpuasan terhadap gerakan Islam Liberal yang lebih menekankan pada kitik-kritik internal terhadap pandangan dan prilaku umat Islam yang tidak atau kurang sesuai dengan nilai-nilai humanis. Sementara itu, kiritik terhadap modernitas, kolonialisme dan imprialisme justru tidak mendapatkan perhatian yang cukup dari gerakan Islam Liberal.

Fakta inilah yang menginspirasi terhadap munculnya pemahaman dan aksi Islam Progresif, yang mana memberikan perhatian yang seimbang antara kritik internal dan kritik eksternal. Kritik internal terhadap tradisi pemikiran sebagian umat Islam yang tidak menitikberatkan pada aspek-aspek kehidupan humanis memposisikan gerakan Islam Progresif pada gerakan modernis, namun pada waktu yang bersamaan ia juga merupakan gerakan “postmodernis”, karena ia juga bersikap kritis terhadap modernitas yang bertentangan dengan nilai-nilai keadilan sejati dan kemanusiaan. Cara pandang, kritis dan aksi Islam Progresif semuanya hendaknya berorientasi kepada kemajuan. Atas dasar inilah terkenal dengan istilah ‘Progresif’.

Muslim Progresif

Menurut Ebrahim Moosa, muslim yang progresif adalah orang Islam yang peduli terhadap ketidakadilan sosial, politik, dan juga sangat mungkin agama dengan tetap menjalankan ritualitas keislamannya, meskipun cara pelaksanaan ritual yang Progresif terkadang mengundang kontroversi dan kecaman. Karena, memang lebih mengarah kepada modernisasi ketimbang tradisionalisai. Namun, tetap dalam ranah syariat agama.

Label Progresif diberikan kepada orang atau kelompok yang menghidupkan dinamika evolusi sosial masyarakat dan tidak berpegang kepada ide lama secara taklid buta. Namun demikian, Islam Progresif mempersyaratkan kecenderungan kepada kemajuan. Progresif bukanlah bermakna suatu kategori atau label yang esensialis atau ontologis. Ia juga bukan suatu label untuk sekumpulan atau satu suku Muslim tertentu.

Tidaklah mengherankan apabila perubahan-perubahan ini akhirnya mengarah kepada konflik dan antagonisme sosial-politik. Penyebabnya karena mereka yang mendukung status quo tidak senang dengan wacana dan wawasan Islam yang murni. Pesan Islam yang menekankan pada hakikat persamarataan antara manusia, keadilan sosial, keadilan ekonomi, kebebasan berfikir dan bersuara, dan lain-lain, memang akan menggugat dominasi kedudukan kelompok yang berkuasa. Oleh karena itulah tokoh-tokoh Islam Progresif seperti Agus Salim Tjokroaminoto, Syed Syaikh al-Hady dan golongan kaum muda tertolak, terusir, tersingkirkan, bahkan musuh-musuh mereka mengancam.

Ciri-ciri Singkat Kelompok Islam Progresif

Farish A. Noor dan Omid Safi memberikan ciri-ciri singkat dari kelompok Islam Progresif, yaitu:

a. Mereka cukup kritis terhadap fenomena ketidakadilan, baik dalam perspektif lokal, nasional, dan global.

b. Mereka memiliki perhatian untuk menegakkan keadilan di wilayah di mana mereka hidup dan bertempat tinggal.

c. Mereka kritis terhadap modernisme atau fenomena modernisasi pada umumnya.

d. Mereka cenderung mengapresiasi dan bahkan menggunakan postmodernisme sebagai alat analisis dan kesadaran dalam melihat fenomena perubahan.

e. Memiliki kepedulian sebagai titik tolak dan sekaligus kritis terhadap tradisi Islam yang panjang.

f. Mereka teguh memegangi keyakinan Islam dan apresiasi terhadap seluruh warisan dan tradisi Islam, tetapi dalam waktu yang sama mereka juga kritis terhadapnya ketika mereka berhadapan dengan fenomena perubahan.

g. Mereka tidak hanya bertengger di menara gading sebagai intelektual tetapi juga ikut terjun langsung dalam proses penyadaran dan menggerakkan masyarakat.

Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa Islam Progresif dan Islam Liberal berbeda. Yakni terletak pada prinsip keterlibatannya. Islam liberal hanya bergerak pada tataran discourse, sementara Islam Progresif tidak hanya bergerak pada tataran discourse, tapi juga melakukan aksi untuk membumikan gagasan-gagasannya. Dalam hal ini, yang harus terpenuhi bukan hanya liberalisasi pemikiran, namun juga pembebasan sosial.