Beberapa hari menjelang Hari Kartini, 21 April 1986, di sebuah harian umum yang terbit di Jakarta ada tulisan menarik. Tulisan itu intinya menggugat gelar Pahlawan Nasional yang telah diberikan kepada RA Kartini. Alasannya, RA Kartini tidak layak menyandang gelar tersebut karena beliau ketika masih hidup di poligami oleh suaminya. Jadi, menurut tulisan itu seorang wanita yang dipoligami tidak layak mendapatkan suatu kehormatan.

Ada tiga macam pernikahan yang sah menurut hukum Islam, namun oleh sebagian orang, khususnya kelompok liberal, hal itu selalu dipermasalahkan. Tiga pernikahan itu adalah; 1) poligami, 2) nikah sirri (pernikahan yang tidak dicatat di KUA), dan 3) nikah di bawah umur. Ketiga pernikahan ini dipandang dari sudut agama islam, apabila dilaksanakan sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam hukum Islam, maka pernikahan tersebut adalah sah.

Sehingga konsekuensinya suami isteri ketika melakukan hubungan seksual sudah halal, bukan zina, dan apabila dari hubungan suami istri itu melahirkan anak maka anak tersebut juga sah menurut hukum islam. Ia bernasab kepada ayahnya, dan ketika ayahnya meninggal ia mendapatkan hak waris.

Belakangan gencar sekali serangan terhadap ketiga jenis pernikahan itu. Gugatan atas gelar pahlawan yang telah disandang oleh RA Kartini adalah bagian dari serangan tersebut. Sejatinya, serangan tersebut tidak ditujukan kepada poligami itu sendiri, tetapi ibarat permainan billiard, ada sosok akhir yang menjadi tujuan tembak serangan tersebut.

Ketika RA Kartini digugat gelar kepahlawanannya karena mau dipoligami, maka sasaran bola billiard berikutnya adalah tokoh-tokoh wanita yang dipoligami oleh suaminya. Mereka menurut para penyerang ini tidak layak mendapatkan kehormatan, apalagi dijadikan sebagai anutan umat. Sebut saja mereka itu antara lain ibunda orang-orang mukmin, isteri Rasululullah Saw, Aisyah binti Abu Bakar Ra, Hafsoh binti Umar bin Khattab Ra, Zainab binti Jahsy, Shofiyah binti Huyay, dan lain-lain.

Ketika Islam memberikan gelar kepada mereka sebagai ummul mukminin (ibunda orang-orang mukmin), mereka otomatis menjadi teladan dan panutan bagi orang-orang mukmin. Tetapi dengan serangan itu, kaum liberal menginginkan agar tokoh-tokoh wanita yang ada dalam sejarah Islam itu gugur dan tidak lagi menjadi panutan umat Islam.

Demikian pula pernikahan jenis kedua dan ketiga, yaitu pernikahan sirri dan pernikahan di bawah umur. Bukan pernikahan itu sendiri yang disodok dengan politik liberal bola billiard itu, melainkan adalah tokoh yang melakukan pernikahna sirri dan pernikahan di bawah umur. Tokoh tersebut tidak lain adalah Rasulullah Saw. Beliau melakukan poligami, beliau tidak pernah mencatatkan pernikahannya di KUA, alias nikah siri, dan beliau juga melakukan pernikahan yang menurut sebagian orang di bawah umur. Yaitu ketika beliau menikahi Aisyah binti Abu Bakar Ra.

Maka sejatinya sodokan akhir dari serangan politik billiard ini adalah sosok Rasulullah Saw. Menurut kaum liberal, pribadi Rasulullah Saw tidak pantas menjadi suri teladan dan anutan bagi umat Islam. Karena menurut mereka beliau telah melakukan perbuatan yang tidak terpuji, yaitu melakukan poligami, nikah sirri, dan menikahi wanita di bawah umur.

Tahun 1986, serangan kepada RA Kartini karena faktor poligami itu muncul di media. Alhamdulillah serangan itu dapat disebut gagal. Gelar Pahlawan Nasioanl tetap dipegang oleh RA Kartini. Kendati demikian suatu saat kaum liberal itu juga akan tetap melancarkan serangan-serangan baru, dengan menyodokkan bola billiard tersebut kepada kaum wanita yang dipoligami, dinikah sirri, dan dinikahi di bawah umur. Dan sodokan akhir sebagai sasaran utama adalah sosok Rasulullah Saw. Semoga Allah Swt selalu memberikan kekuatan kepada kita sehingga kita waspada dan mampu menjaga diri dari hal-hal yang tidak diinginkan.***