Majalahnabawi.com –Hadis ini membahas seputar istiqamah; istiqamah atau konsistensi adalah intisari Islam

عن أبي عمرٍو وقيل أبي عمرة سفيان بن عبد الله الثقفيّ—رضي الله عنه—قال قُلْتُ, ’يَا رَسُوْلَ الله, قُلْ لِيْ فِي الْإسْلَامِ قَوْلًا لَا اَسْأَلُ عَنْهُ أَحَدًا غَيْرَكَ’. قَالَ: قُلْ آمَنْتُ بِاللهِ ثُمَّ اسْتَقِمْ. (رواه مسلم)

Dari Abu Amr dan dikatakan dari Abu Amrah Sufyan bin Abdullah at-Tsaqafi ra. beliau berkata, aku pernah berkata:“Ya Rasulallah, katakanlah kepadaku suatu perkataan tentang Islam yang mana aku tidak akan menanyakannya kepada siapapun selain engkau”. Rasul menjawab: Katakanlah ‘aku beriman kepada Allah’ kemudian konsistenlah. (HR. Muslim)

Maksud Pertanyaan Amr dari Hadis di Atas

Amr meminta Nabi memaparkan suatu lafaz tentang agama—prinsip-prinsip dan nilai-nilai keislaman—juga Syariat Islam—yakni hukum-hukum Islam. Amr ingin lafaz tersebut mencakup dua perkara itu sekaligus sehingga ia tidak perlu bertanya lagi kepada orang lain. Artinya, ia ingin asas dasar yang bersifat universal sehingga meliputi semua komponen prinsip, nilai, dan penerapan dalam Islam.

Jawaban Nabi pertama adalah memerintahkan Amr mengucapkan lafaz “Aku beriman kepada Allah”. Tentunya mahallu al khitab (objek perintah) bukan sebatas melafazkan. Lebih dari itu, lafaz tersebut adalah pengingat atau memantapkan diri untuk merealisasikan isi lafaz.

Ada beberapa tafsiran mengenai isi lafaz tersebut. Pertama, beriman kepada Allah maksudnya meng-upgrade keimanan dan terus mengingat Allah di lisan maupun di hati. Kedua, beriman kepada Allah adalah menetapkan iman kepada Allah. Ketiga, iman kepada Allah adalah menambah keimanan kepada Allah dengan tafakkur di setiap aktifitasnya.

Namun, dari ketiga tafsiran tersebut dapat kita ambil simpul tengahnya. Beriman yang dimaksud adalah selalu iman dalam kondisi situasi apapun dengan terus usaha untuk menambah level keimanan.

Dibalik kata konsistensi

Selain Nabi menyuruh Amr beriman kepada Allah, beliau juga menyuruh konsisten (istiqamah). Puncak tujuan dan intisari dari konsistensi atau  keteguhan diri, di sini adalah tidak membiarkan diri mudah terpengaruh orang lain yang membuatnya lupa dan jauh dari Allah.

Berangkat dari pemahaman tersebut, kita akan menyadari bahwa merealisasikan konsistensi bukan perkara mudah. Sebab secara awam, manusia adalah makhluk sosial yang pastinya bersinggungan dengan orang lain. Pikiran kita langsung menolak hal itu bisa terlaksanakan.

Faktanya, konsistensi yang dimaksud memang tidak akan tercapai kecuali meninggalkan semua hal yang mungkin memalingkan hati. Oleh karena itu, hanya satu faktor pengantar istiqamah yang benar-benar terjaga stabilitas dan kualitasnya. Di dalam kitab syarah menggunakan pilihan diksi الخروج عن المألوفة dan مفارقة العادة. Bermakna sama yaitu memisahkan diri dari ‘zona nyaman’, memisahkan diri dari perkumpulan atau golongan dan keluar dari kebiasaan. Dapat diartikan pada pengaplikasiannya yaitu menjadikan diri sama seperti orang asing.

Menurut pengertian lainnya, ketetapan dan keteguhan ini (konsistensi) adalah mengikuti sunnah-sunnah Nabi Muhammad serta berakhlak dengan akhlak beliau dengan suka rela.

Menurut pengertian lainnya lagi, konsistensi adalah sebuah prilaku yang dapat menyempurnakan dan melengkapi seluruh perkara. Karena keberadaan prilaku tersebut akan berimplikasi dengan berbagai kebaikan dan keteraturan.

Bagaimana Seharusnya Kita Berperilaku?

Dari semua pengertian tersebut dapat kita pahami bahwa konsistensi (istiqamah) itu lebih baik dari seribu karamah. Akan tetapi, satu karamah yang Allah anugrahkan kepada hambanya bisa juga lebih baik daripada satu istiqamah. Maka seharusnya kita menjadi pejuang istiqamah bukan pencari karamah. Sebab, pemberian karamah dari Allah tidak lantas tertentu kepada ahli istiqamah. Akan tetapi, kemungkinan itu sangat sempit dan tidak definitif. Artinya, hanya ada satu pilihan untuk mengejar tingkat tersebut yakni dengan istiqamah. Maka wajar jika istiqamah menurut perspektif hamba lebih pasti daripada karamah.