Majalahnabawi.com – Kita seringkali menemukan ungkapan-ungkapan seperti “uang tidak bisa membeli segalanya, tapi segalanya butuh uang” atau “uang tidak bisa membeli kebahagiaan, kalau uangnya sedikit” atau juga “ingin srikaya, tapi srinya gak usah, kayanya aja” dan lain sebagainya. Kalimat-kalimat ini seolah menunjukkan bahwa uang memiliki suatu kekuatan yang sangat berpengaruh. Bahkan mungkin diantara kita ada yang pernah mendengar ungkapan bahwa “agama tidak akan berdiri tanpa adanya harta (uang)”. Lantas apakah uang sungguh begitu hebat?

Di dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim karangan imam al-Zarnuji terdapat sebuah sya’ir yang tentu tidak asing bagi kita:

أَلَا لَا تَنَالُ الْعِلْمَ إِلَّا بِسِتَّةٍ – سَأُنْبِيْكَ عَنْ مَجْمُوْعِهَا بِبِيَانٍ

ذَكَاءٍ وَحِرْصٍ وَاصْطِبَارٍ وَبُلْغَةٍ – وَإِرْشَادِ أُسْتَاذٍ وَطُوْلِ زَمَانٍ

Kau takkan dapat ilmu tanpa enam perkara # Kan ku jelaskan semua sejelas-jelasnya

Cerdas, rasa haus ilmu, sabar juga bekal # Petunjuk guru, waktu yang lama.

Dari sini, kita mengetahui bahwa bekal merupakan suatu hal yang sangat penting dalam menuntut ilmu. Bahkan imam-imam hadis dalam mendapatkan hadis yang mereka riwayatkan seringkali memerlukan sebuah perjalanan lintas negara yang jauh dan memerlukan banyak uang. Imam al-Bukhari contohnya, untuk mengumpulkan 600.000 hadis dari sekitar 1.000 guru, beliau menempuh perjalanan sekitar 14.000 KM. Rihlah imam al-Bukhari ini meliputi kota Balakh, Naisabur, Kufah, Basrah, Bagdad, Ray, Wasith, Madinah, Mekah, Bahrain, dan masih banyak lagi. Tentu saja perjalanan sejauh ini memerlukan biaya yang sangat besar. Lantas apakah hal ini menunjukkan bahwa uang sangatlah hebat sampai-sampai semua hal memerlukan uang?

Ungkapan “Agama tidak akan berdiri tanpa harta”

Hal lain yang seolah mengatakan kehebatan uang adalah ungkapan yang dalam bahasa Arab berbunyi:

مَا قَامَ الدِّيْنُ إِلَّا بِمَالٍ

“Agama tidak akan berdiri tanpa harta”

Lalu apakah ungkapan ini merupakan hadis Nabi, atsar sahabat, atau ucapan ulama, ataukah hanya ungkapan iseng belaka?

Dalam kitab Fatawa al-Lajnah al-Daimah, terdapat pertanyaan yang mirip dengan hal ini walaupun redaksinya sedikit berbeda. Adapun redaksinya adalah:

وَالْقَوْلُ إِنَّ الْإِسْلَامَ قَامَ عَلَى ‌مَالِ ‌خَدِيْجَةَ غَيْرُ صَحِيْحٍ، لِأَنَّ الْإِنْفَاقَ فِيْ سَبِيْلِ اللّهِ لَمْ يَكُنْ إِلَّا بَعْدَ الْهِجْرَةِ، وَخَدِيْجَةُ رَضِيَ اللّهُ عَنْهَا تُوُفِّيَتْ قَبْلَ الْهِجْرَةِ

“Ucapan bahwa agama berdiri di atas harta Sayyidah Khadijah itu tidak benar. Karena infak di jalan Allah tidak ada kecuali setelah hijrah. Dan Sayyidah Khadijah radhiyallahu ‘anha wafat sebelum hijrah”.

Redaksi dalam kitab ini menyebabkan seolah ungkapan “agama tidak akan berdiri tanpa harta” merupakan suatu potongan dari ungkapan dalam pembicaraan dalam kitab ini yaitu “agama tidak akan berdiri tanpa harta Sayyidah Khadijah”. Para penyusun kitab fatwa tersebut sudah mengatakan bahwa hal itu tidak benar.

Lalu dalam kitab Fatawa al-Syabakah al-Islamiyah juga terdapat pembahasan yang mirip dengan pembahasan ini yaitu:

فَمَا نِسْبَتُهُ إِلَى رَسُوْلِ اللّهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ أَنَّهُ قَالَ: مَا نَفَعَنِيْ مَالٌ قَطُّ، مَا نَفَعَنِيْ ‌مَالُ ‌خَدِيْجَةَ، أَوْ أَنَّهُ قَالَ: أُرِيْدُ أَنْ أَرَى نَفْسِيْ فِيْ مَالِيْ، لَمْ نَقِفْ عَلَى أَيٍّ مِنْهُمَا فِيْ شَيْءٍ مِنَ الْكُتُبِ الْتِيْ أُتِيْجَ لَنَا الْاِطِّلَاعُ عَلَيْهَا، وَبِالتَّالِي فَلَا نَرَاهُمَا صَحِيْحَيْنِ

Maka ungkapan yang nisbatnya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa ia mengatakan “tidaklah bermanfaat kepadaku suatu harta sama sekali sebagaimana bermanfaatnya harta Khadijah” atau bahwa ia mengatakan “aku ingin melihat diriku berada dalam hartaku”, kami tidak menemukan keduanya dalam kitab yang bisa kami baca. Maka kami tidak berpendapat bahwa kedua ungkapan tersebut shahih.

Keterangan yang Shahih

Namun, ada redaksi tentang relasi antara Rasul dan harta yang mirip dengan redaksi di atas dengan status shahih. Yaitu hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah yang ditakhrij oleh imam Ibnu Majah dalam kitab Sunan Ibnu Majah bab fadhail al-shahabah nomor 94 yaitu:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا ‌نَفَعَنِي ‌مَالٌ ‌قَطُّ، ‌مَا ‌نَفَعَنِي ‌مَالُ أَبِي بَكْرٍ» قَالَ: فَبَكَى أَبُو بَكْرٍ، وَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، هَلْ أَنَا وَمَالِي إِلَّا لَكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ

“Dari Abu Hurairah ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan: tidak ada harta yang bermanfaat bagiku sebagaimana bermanfaatnya harta Abu Bakar. Abu Hurairah mengatakan: Maka Abu Bakarpun menangis dan berkata: Bukankah aku dan hartaku hanya untuk engkau ya Rasulallah”

Namun, yang menjadi penekanan di sini bukanlah harta Abu Bakar, melainkan pengorbanan Abu Bakar kepada Rasul dan agama sehingga ini merupakan suatu keunggulan bagi Abu Bakar.

Uang dan Hierarki Kebutuhan Maslow

Dalam tulisan yang berjudul A Theory of Human Motivation, Abraham H Maslow memaparkan tentang kebutuhan manusia yang meliputi kebutuhan fisiologis seperti makanan, udara, tempat tidur, dan menikah. Lalu berlanjut naik ketingkat selanjutnya yaitu kebutuhan akan keamanan atau safety needs yang meliputi keamanan, keteraturan dan stabilitas. Lalu naik lagi ke belongingness and love needs atau kebutuhan sosial dan kasih sayang yang meliputi keluarga dan relasi. Berlanjut kepada esteem needs atau kebutuhan atas pencapaian, status, reputasi dan lainya. Diakhiri dengan self actualization yang berupa pengembangan diri, pemenuhan ideologi dan lain-lain. Dalam tulisan yang berjumlah sekitar 20 halaman tersebut sama sekali tidak ada kata “money” atau uang. Lantas dimanakah letak kebutuhan manusia terhadap uang sampai-sampai uang bagaikan obat sakit kepala yang mampu menghilangkan segala beban dan keluh kesah?

Kemungkinan uang menjadi salah satu wasilah atau perantara untuk mendapatkan kebutuhan itu. Misalnya dalam tingkatan yang paling dasar atau kebutuhan primer berupa kebutuhan fisiologis seperti makanan dan tempat tidur uang bisa menjadi salah satu jalan untuk memenuhinya. Namun kita juga bisa mendapatkan makanan tanpa uang dengan cara bercocok tanam sehingga uang bukan satu-satunya jalan untuk mendapatkannya. Begitu pula pada tahapan esteem needs, uang seringkali menjadi suatu jalan untuk mendapatkan penghormatan dari orang lain. Tidak sedikit orang yang menjilat dan menghormati seseorang karena uang yang mereka miliki.

Bolehkah Orang Muslim Mempunyai Banyak Uang?

Dalam ilmu tasawuf kita mengenal bahwa zuhud adalah suatu kewajiban bagi setiap muslim. Bahkan terdapat banyak celaan terhadap dunia dan kecintaan terhadap harta. Namun yang perlu kita pahami adalah bahwa zuhud bukan berarti kita tidak memiliki harta atau tidak mencari harta. Melainkan makna zuhud sebagaimana dalam kitab Kifayah al-Atqiya wa Minhaj al-Ashfiya adalah:

وازهد وذا فقد علاقة قلبكا – بالمال لا فقد له تك أعقلا

Zuhudlah! Yaitu hilang keterikatan hati # dengan harta, bukan tak punya harta, pahami!

Sehingga bisa kita pahami bahwa seorang muslim bukannya tidak boleh kaya. Tapi ia harus menjadikan hartanya sebagai pelantara melaksanakan kebaikan dan bukannya menjadi tujuan. Jadi apakah uang sangat hebat?

By Trisna Yudistira

Mahasantri Darus-Sunnah 2020 dan Mahasiswa Ilmu Al-Quran dan Tafsir 2021