www.majalahnabawi.com – Diskursus ini timbul karena terdapat istilah yang sudah terkanonisasi yaitu konsep “Kullu Shahabah ‘Udul “. Dimana konsep ini timbul untuk memberikan doktrinal terhadap pendapat yang menentang adanya keadilan para sahabat dalam meriwayatkan hadis. Maka dalam hal ini penulis merasa tergugah mengapa hanya konsep “Kullu Shahabah ‘Udul” yang mengalami kanonisasi, padalah syarat seorang perawi bisa dikatakan tsiqah adalah ketika memenuhi keadilan dan kekuatan hafalan (dhabit) dalam meriwayatkan hadis. Dan juga bagaimana implikasi al-Dabth sendiri terhadap kualitas periwayatan yang diriwayatkan oleh seorang perawi.

Konsekuensi Al-Dabth Dalam Kualitas Kumulatif Periwayatan

Ketika seorang perawi kehilangan salah satu syarat dimana dia bisa dianggap Tsiqah pasti juga akan memberikan implikasi terhadap hadis yang ia riwayatkan. Maka kita tarik benang merah bahwa semakin bagus kualitas perawi maka bisa menjadikan hadisnya bisa masuk dalam kategori hadis shahih. Namun juga sebaliknya, ketika kualitas perawi menurun maka akan memberikan implikasi terhadap turunnya kualitas hadis tersebut. Ketika kita melihat aspek dabt perawi hadis yang mana sudah dianggap sempurna ke-Dabthannya, maka bisa dinilai kualitas periwayatannya shahih, namun jika kualitas ke-Dabthan perawi tersebut tidak mencapai tingkat kesempurnaan yakni perawi tersebut dalam kualitas shaduq, maka berimplikasi hadis menurun menjadi hasan, dan jika kualitasnya di bawah shaduq maka kualitas hadis semakin menurun menjadi dhaif.

Kenapa Hal Ini Bisa Menjadikan Kualitas Hadis Menurun Bahkan Sampai Tingkat Dhaif?

Maka jawabannya adalah karena ketika seorang perawi tidak memiliki ingatan yang tajam dan teliti, maka hal yang dikhawatirkan adalam tentang substansi materi dari sebuah hadis bisa terjadi yang namanya pengurangan maupun penambahan redaksi hadis, mengganti nama orang ataupun tempatnya bisa berubah-ubah dan bahkan bisa saja menggabungkan dua hadis menjadi satu hadis. Maka sudah jelas kenapa kriteria al-Dabth itu memiliki pengaruh dan dampak yang besar terhadap kualitas diterimanya sebuah hadis. Sehingga ada beberapa istilah dimana kedhaifan sebuah hadis dikarenakan kurang kuatnya hafalan seorang perawi dalam meriwayatkan hadis seperti:

  1. Hadis Maqlub (keadaan dimana seorang perawi menukar rangkaian sanad maupun matan secara sengaja maupun tidak)
  2. Hadis Mudtarib (keadaan dimana sebuah hadis ditemukan adanya kontradiksi baik dalam sanad maupun matan dan diduga karena perawi yang tidak dabth)
  3. Musahhaf, muharraf, Muttafiq-Muftariq, dan Mu’talif-Mukhtalif
  4. Hadis yang di dalamnya ditemukan adanya sisipan (idraj).

Dari beberapa istilah hadis yang disebutkan di atas mengindikasikan betapa urgensinya al-Dabth dalam diri seorang perawi dalam meriwayatkan sebuah hadis, mungkin seperti ketika kita menemukan hadis ini dhaif karena jika diteliti perawi menambahkan sedikiti redaksi karena ketidaksengajaan, maka otomatis sang perawi juga telah menambahkan sebuah teks terhadap apa yang telah dikatakan Nabi Muhammad Saw. Maka itulah pentingnya seorang perawi memiliki kredebilitas dalam segi hafalan yang kuat dan tak lupa memiliki pemahaman terhadap apa yang disampaikannya, sebagaimana adanya konsep al-Itqon dalam pembahasan al-Dabth.

Konsep “Kullu Shahabah Dhabitun“: Konsep Pendukung “Kullu Shahabah ‘Udul

Konsep ini terpikirkan mengingat konsep “kullu shahabah ‘udul” menjadi sebuah diskursus yang menarik mengingat berbeda pendapatnya para ulama mengenai apakah sahabat yang meriwayatkan sebuah hadis semuanya adil menurut para ulama hadis secara klasifikasi, dan ternyata masih ada perdebatan mengenai bahwasanya sahabat itu bukanlah Nabi, jadi wajar saja untuk memberikan komentar entah berbentuk jarh maupun ta’dil. Namun sepertinya pembahasan ini tidak akan pernah terjadi mengingat konsep “kullu shahabah ‘udul” sudah menjadi sebuah konsep yang sangat melekat, sehingga para ulama jarh maupun ta’dil tidak akan memberikan komentar selain para sabahat masuk dalam kriteria adil.

Kemudian kenapa hanya konsep “kullu shahabah ‘udul” yang mencuat ke publik para penikmat hadis, sedangkan perawi bisa dikatakan tsiqoh itu ketika memiliki keriteria adil dan dabth secara individual perawi sebagai transmitor sebuah hadis. Maka apakah dikarenakan tidak ada perdebatan ulama mengenai ke-Dabthan para sahabat dan juga ulama sudah bersepakat bahwa semua sahabat itu memiliki hafalan yang kuat?. Meskipun dalam diskursus sebelumnya konsep “kullu sahabah ‘udul” benar-benar menjadi konsep yang perlu dikanonisasikan, sehingga penulis juga memiliki sebuah pertanyaan yang menggebu-gebu mengapa tidak langsung saja menggunakan konsep “kullu shahabah tsiqatun” atau juga memunculkan konsep “kullu shahabah dhabtun” sebagai konsep pendukung untuk lebih memperkuat kekuatan otoritas sahabat sebagai transmitor.

Pada pembahasan ini sebenarnya penulis masih merasa kekurangan data dalam menelisik lebih dalam ataupun mencari beberapa riwayat yang menunjukkan kuatnya hafalan para sahabat, tak terkecuali sahabat yang periwayatannya tidak sebanyak Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, maupun seperti Anas bin Malik yang mana mereka semua merupakan sahabat yang memang hampir setiap hari bersama Nabi. Namun bagaimana dengan sahabat nabi yang di situ juga merupakan seorang periwayat hadis namun tidak memiliki banyak riwayat. Apakah keseluruh sahabat ini juga masuk dalam kriteria “kullu shahabah ‘udul wa dhabtun” tidak hanya terpagar pada konsep “kullu shahabah ‘udul“.

Mungkin pembahasan ini akan lebih menarik jika ada data pendukung, sehingga masih terlihat samar-samar mengenai konsep yang menurut penulis menarik jika dibahas lebih jauh, dan mungkin bisa memberi warna baru dalam khazanah diskursus hadis pada masa kini.