Bagaimana Sebaiknya Menafsiri Mimpi?
Banyak masyarakat kita yang menafsiri mimpi berdasarkan primbon atau dengan menanyakannya kepada orang yang mereka anggap lebih tahu atau berpengalaman mengenai mimpi. Mereka seakan percaya bahwa mimpinya menjadi pertanda akan suatu hal ataupun terjadinya sesuatu.
Hal ini ternyata juga telah dilakukan sejak zaman Rasulullah Saw. Saat itu ada seorang sahabat yang mendatangi Rasulullah Saw., bertanya mengenai tafsir dari mimpinya. Abu Bakar yang sejak tadi bersama Nabi meminta beliau untuk menafsirkan mimpi orang tersebut.
Setelah Abu Bakar menyampaikan tafsirannya, ternyata Nabi tidak menyalahkan Tafsir mimpi Abu Bakar, namun hanya mengingatkan beliau agar tidak bersumpah (meyakini kebenaran) terhadap tafsirnya.
Dari cerita diatas, dapat kita tarik kesimpulan bahwa kita boleh menceritakan mimpi kita kepada orang lain dan juga dibolehkan menafsirkannya. Lantas, adakah ketentuan atau hal-hal yang perlu diperhatikan saat menceritakan mimpi? dan apa yang sebaiknya kita lakukan setelah itu?.
Ada beberapa Hadis yang menceritakan tentang mimpi. Diantaranya adalah yang diriwayatkan oleh Imam al-Tirmidzi dalan Sunannya dari Abu Hurairoh ra yaitu sebagai berikut,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الرُّؤْيَا ثَلاَثٌ، فَرُؤْيَا حَقٌّ، وَرُؤْيَا يُحَدِّثُ بِهَا الرَّجُلُ نَفْسَهُ، وَرُؤْيَا تَحْزِينٌ مِنَ الشَّيْطَانِ فَمَنْ رَأَى مَا يَكْرَهُ فَلْيَقُمْ فَلْيُصَلِّ.
Artinya: “Dari Abu Hurairah ra, dari Rasulullah Saw. bersabda: “Mimpi itu ada tiga, mimpi yang benar, mimpi yang dibisikkan oleh jiwa seseorang, dan mimpi dari kesedihan yang dibuat setan, bila salah seorang dari kalian bermimpi sesuatu yang ia tidak suka, hendaklah bangun lalu sholat.” (HR. al-Tirmidzi)
Menurut Imam al-Tirmidzi, hukum hadis ini adalah Hasan Shohih.
Berdasarkan Hadis diatas ada tiga macam mimpi, yaitu pertama mimpi yang benar yaitu mimpinya para Nabi, Wali dan orang-orang yang Allah beri ilham. Sedangkan yang kedua yaitu mimpi yang dibisikkan oleh jiwa seseorang, mimpi yang kedua ini bisa disebut dengan bunga-bunga mimpi.
Adapun yang ketiga yaitu mimpi yang dapat dibuat sedih oleh syetan, misalnya mimpi sesuatu yang hal buruk terjadi pada dirinya, seperti terpenggal kepalanya dsb.
Untuk model mimpi yang pertama adalah ranahnya para Nabi dan Wali. Sedangkan untuk model kedua dan ketiga ini yang harus kita perhatikan, karena bisa jadi hal itu terjadi kepada kita. Ketika kita mendapat mimpi yang baik, tugas kita adalah berdoa kepada Allah agar hal tersebut bisa menjadi kenyataan.
Lalu bagaimana dengan mimpi buruk?, Dalam Hadis disebutkan “Saat kita bermimpi sesuatu yang ia tidak suka, maka segeralah bangun lalu hendaklah melakukan sholat”. Jelas disebutkan bahwa kita diperintahkan untuk segera bangun dan melakukan sholat dua rakaat. Dengan maksud untuk meminta perlindungan dari Allah agar terhindar dari hal-hal buruk yang kita mimpikan.
Adapun kelanjutan dari Hadis tersebut juga disebutkan bahwa Nabi Saw. bersabda:
وَكَانَ يَقُولُ: لاَ تُقَصُّ الرُّؤْيَا إِلاَّ عَلَى عَالِمٍ أَوْ نَاصِحٍ.
Artinya: “Nabi Saw. bersabda: Jangan menceritakan mimpi kecuali kepada orang alim atau penasehat”. (HR. al-Tirmidzi)
Disampaikan oleh Ustadz kita, Dr. M. Shofin Sugito, S.S.I., M.A., saat pengajian halaqoh kami bahwa maksud dari kata aalim diatas artinya adalah orang-orang yang memiliki ilmu dan sifat wara’ dalam dirinya. Sedangkan kata naasih diartikan sebagai orang-orang yang dapat memberi nasihat dengan ilmu dan kasih sayang.
Wallahu a’lam