Bagaimana hukum berhaji dengan menggunakan uang haram semisal uang hasil korupsi? Apakah hajinya sah dan diterima oleh Allah SWT? Bagaimana hukum berhaji dengan menggunakan uang haram semisal uang hasil korupsi? Apakah hajinya sah dan diterima oleh Allah SWT?

Jawab

Korupsi didefinisikan sebagai penggelapan atau penyelewengan uang negara atau perusahaan tempat seseorang bekerja untuk menumpuk keuntungan pribadi atau orang lain. Dalam literatur hukum Islam tidak ada istilah khusus untuk korupsi ini. Akan tetapi jika melihat definisi di atas, secara substansial perbuatan korupsi ini dapat dikategorikan sebagai salah satu model atau bentuk pengkhianatan.

Orang yang melakukan tindakan ini disebut dengan khāin atau bisa juga dikategorikan sebagai bentuk suap menyuap yang dikenal dengan istilah risywah, yakni pemberian harta kepada penguasa untuk mencapai suatu kepentingan tertentu yang semestinya tidak perlu ada pembayaran.

Semua harta yang diperoleh melalui modus yang mengarah kepada praktik korupsi sebagaimana di atas dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang dilarang atau diharamkan oleh Allah SWT karena memperoleh harta melalui jalan yang tidak sesuai dengan syariah.

Adapun berhaji dengan harta yang diperoleh dengan cara yang haram, terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Seorang ahli fiqh kontemporer berkebangsaan Syiria, Syeikh Wahbah Zuhaili, di dalam salah satu magnum opus nya al-Fiqh al-Islamî wa Adillatuhû menyatakan bahwa hukum berhaji dengan menggunakan uang haram itu sah dan dapat menggugurkan kewajiban, demikian menurut jumhur (Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah) meskipun orang yang bersangkutan tetap dihukumi maksiat.

Hal ini senada dengan kasus orang yang melakukan shalat di tanah rampasan (maghsubah) atau orang shalat dengan memakai pakaian yang  diperoleh dengan cara mencuri atau mengghasab milik orang lain. Berbeda dengan jumhur, para ulama madzhab Hanbali mengcounter pendapat di atas dengan tidak menganggap sah orang  yang berhaji dengan harta haram.

Argumen para jumhur yang melegalisir keabsahan haji meski dengan menggunakan harta yang haram (seperti uang korupsi) ini, berlandaskan pada dalil bahwa sah atau tidaknya ibadah haji tidak dapat dinegasikan dengan status atau keberadaan harta, baik halal maupun haram. Selama seseorang telah melaksanakan syarat rukun yang ditetapkan dalam ritual ibadah haji, maka selama itu pula secara hukum Islam (fiqh) hajinya dianggap sah. Dengan kata lain, proses mendapatkan harta yang tidak halal itu berhubungan dengan dosa sang pelaku, sedangkan keabsahan haji tidak berhubungan dengan hal tersebut.

Kendati demikian, tidak berarti para ulama mengabaikan proses yang dipilih seseorang untuk memperoleh harta guna dialokasikan untuk menunaikan ibadah haji tanpa memedulikan konsekuensi yang ada. Sebagaimana diketahui bersama bahwa di dalam melaksanakan ritual ibadah, baik mahdah maupun ghair mahdah, kita tidak bisa mengesampingkan faktor-faktor yang dapat mendorong kesempurnaan ibadah, begitupula hal-hal yang dapat menodainya.

Al-Imam Muslim (W. 261 H), dalam kitab Sahih-nya meriwayatkan satu Hadis:Dari Abu Hurairah RA berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah itu baik. Dia tidak akan menerima sesuatu melainkan yang baik pula.”

Imam an-Nawawi (w. 676 H) di dalam kitabnya Syarh Sahih Muslim menjelaskan bahwa seseorang yang hendak bertaqarrub kepada Allah seyogyanya tidak mencampur adukkan harta, pakaian, makanan, dan minumannya dengan segala sesuatu yang haram, bahkan syubhat sekalipun. Terlebih bagi orang yang ingin doanya dikabulkan oleh Allah SWT.

Bagaimana bisa seorang berhaji dengan tujuan ingin mendekatkan diri kepada Allah, ingin agar doanya didengar dan dikabulkan oleh Allah, ingin dikategorikan sebagai orang-orang yang taat kepada-Nya, akan tetapi dia tidak mengindahkan hal-hal yang dapat mendorongnya untuk mencapai cita-cita mulia tersebut. Hal ini tentunya merupakan poin pokok dari persoalan ibadah haji ini.

Dengan kata lain, ibadah haji yang dilakukan seseorang tidak hanya mencakup aspek-aspek lahir (sebagaimana memenuhi syarat rukun menurut hukum Islam) saja, akan tetapi juga tidak kalah penting untuk memahami dan menyelami hakikat dari haji itu sendiri. Pelaksanaan haji tentunya bukan hanya sebagai ajang refreshing atau jalan-jalan ke tanah suci sekaligus meningkatkan status sosial dengan gelar “Haji”, melainkan sebagai wahana dan upaya untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah guna mendapatkan ridha dan cinta-Nya. Allah SWT berfirman:

وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوى

“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa” (QS. al-Baqarah: 197)

Seseorang yang membekali dirinya dengan ketakwaan tentu tidak akan berani menggunakan uang yang tidak halal sebagai sarana yang dipergunakan untuk beribadah kepada Allah, karena sebagaimana yang dikatakan dalam Hadis Nabi di atas bahwa Allah itu Maha Baik dan tidak menerima sesuatu melainkan yang baik pula. Wallahu A’lam.