Hadis

عَنْ زَيْدِ بْنِ خَالِدٍ الْجُهَنِيِّ ، أَنَّ رَجُلاً مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم تُوُفِّيَ يَوْمَ خَيْبَرَ ، فَذَكَرُوا ذَلِكَ لِرَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ : صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ . فَتَغَيَّرَتْ وُجُوهُ النَّاسِ لِذَلِكَ ، فَقَالَ : إِنَّ صَاحِبَكُمْ غَلَّ فِي سَبِيلِ اللهِ . فَفَتَّشْنَا مَتَاعَهُ فَوَجَدْنَا خَرَزًا مِنْ خَرَزِ يَهُودَ لاَ يُسَاوِي دِرْهَمَيْنِ.1

Terjemah: dari Zaid bin Khalid al-Juhani bahwa seorang sahabat Nabi tewas dalam perang Khaibar. Para sahabat melaporkan kejadian tersebut kepada Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda, “Shalati jenazah kawan kalian.” Wajah orang-orang berubah karena penolakan Nabi tersebut. Lalu Nabi bersabda, “Kawan kalian telah melakukan pengkhianatan dalam perjuangan menegakkan agama Allah.” Kemudian kami meneliti harta rampasannya dan menemukan manik-manik buatan Yahudi yang harganya tidak lebih dari dua dirham.”

 

Kajian Sanad

Hadis ini disebutkan dalam kitab kitab hadis populer; Muwattha’, Musnad Ahmad, Sunan Abi Dawud, Sunan al-Nasa’I dan Sunan Ibni Majah. Sedangkan yang dikaji di atas adalah redaksi  yang terdapat dalam Sunan Abi Dawud.

Terdapat tujuh orang rawi dalam rangkaian sanadnya. Mereka adalah [1] Zaid bin Khalid al-Juhani, [2] Abu Amrah, [3] Muhammad bin Yahya bin Habban, [4] Yahya bin Sa’id, [5] Bisyr bin al-Mufaddhal, [6] Yahya bin Sa’id dan [7] Musaddad. Seluruhnya mendapat predikat tsiqah [terpercaya], kecuali Abu Amrah yang berstatus maqbul [diterima]. Menurut para pakar jarhu wa ta’dil, maqbul termasuk ungkapan yang menunjukkan ‘adalah [memiliki integritas yang tinggi dalam sikap dan tindakan]. Dengan demikian, tidak menyebabkan hadis menjadi lemah.

Terkait ketersambungan sanad, setelah dilakukan penelitian terhadap metode penerimaan dan penyampaian hadis disimpulkan bahwa hadis riwayat Abu Dawud di atas berstatus muttashil [bersambung sanadnya].

Dengan memperhatikan dua hal di atas [‘adalah rawi dan ketersambungan sanad], maka sanad hadis dalam riwayat Abu Dawud di atas dihukumi sahih.

 

Kata Penting

غَلَّ  : diambil dari akar kata ghain, lam, lam. Menurut Ibnu Faris pengertian dasar dari kata ini adalah menyelip dan menetapnya sesuatu seperti sesuatu yang ditancapkan [takhallul syaiin wa tsabat syaiin ka al-syai yughraz]. Kata ghullah dan ghalil yang berarti haus berarti seakan-akan ada panas, kering, haus menyisip di bagian dalam tubuh. Al-Ghalal berarti air yang mengalir di selah-selah pohon. Al-Ghill berarti dengki yang menyisip di dada. Kemudian al-ighlal berarti khianat. Sedangkan al-ghulul berarti benda yang diambil, disembunyikan, dan tidak disetorkan kepada pihak yang berhak membagi dalam konteks perang. Disebut demikian karena seakan-akan pelakunya menyelipkan benda curiannya di dalam bajunya.2

سَبِيلِ اللهِ  : Ibnu Manzhur mengakatan sabil sama artinya dengan thariq [jalan] atau lebih khusus lagi berarti jalan yang terang [ma wadhaha minhu]. Sedangkan ketika disambung dengan kata Allah berarti jalan petunjuk yang diajarkan-Nya. Sedangkan pernyataan yang mengatakan kullu ma amara allahu min al-khair fahuwa min sabilillah [setiap kebaikan yang Allah perintahkan adalah sabilillah] maksudnya adalah termasuk jalan yang dapat menghantarkan seseorang kepada keridaan Allah. Kebanyakan kalimat ini digunakan dengan arti jihad. Sabilillah dalam hadis di atas juga digunakan dalam konteks jihad.3

فَفَتَّشْنَا   : berarti mencari dan meneliti [al-thalab wa al-bahts]4. Maksudnya para sahabat melakukan penelitian untuk mencari benda yang digelapkan oleh tentara yang terbunuh itu.

خَرَزًا  : jamak dari kharzah yang berarti manik-manik yang dilubangi untuk diuntai [manik-manik.

 

Asbabul Wurud

Setelah Perang Parit [Khandaq], kaum muslimin diperintahkan menyerang perkampungan Khaibar. Sebuah perkampungan Yahudi yang cukup subur dan kaya. Penyerangan tersebut dipicu oleh sikap mereka yang mendukung secara diam-diam pasukan Quraisy saat mengepung Madinah pada perang Khandaq. Padahal, sebelumnya mereka telah menyepakati perjanjian damai dan kerjasama keamanan dengan Nabi, sebagai pemegang otoritas tertinggi untuk menjaga stabilitas sekitar Madinah.

Pengkhianatan tersebut diganjar dengan penyerbuan oleh kaum muslimin. Selama beberapa hari, Khaibar dikepung dan diisolasi dari dunia luar. Pasukan Khaibar menyerah, dan penduduknya ditawan. Harta bendanya dirampas. Beberapa peristiwa dicatat dengan baik dalam kitab-kitab hadis dan sejarah. Bahwa Nabi saw. menyerahkan perkebunan kepada penduduk setempat untuk dikelola. Padahal, sebelumnya Nabi saw. sempat disuguhi racun oleh seorang perempuan.

Di sisi lain, kesuksesan perang Khaibar membuat sebagian tentara gelap mata. Harta rampasan yang seharusnya diserahkan kepada pimpinan untuk dibagi sesuai ketentuan, disembuyikan. Celakanya, sang tentara harus tewas sebelum menikmati manik-manik yang tidak terlalu mahal itu. Melihat konteks shalat jenazah dalam perang Khaibar ini, sepertinya, tewasnya sang tentara setelah perang khaibar benar-benar usai. Karena, orang yang mati dalam medan perang harusnya tidak perlu dishalatkan. Kecuali jika kematiannya terjadi setelah perang usai.

Ketika para sahabat diminta menjadi imam dalam shalat jenazah, Nabi saw. menolak. Para sahabat keberatan. Karena alasan apa Nabi menolak? Nabi menjelaskan bahwa jenazah tersebut adalah pelaku penggelapan harta yang bukan haknya. Kemudian Nabi memerintahkan para sahabatnya yang lain untuk menshalati jenazah tersebut.

 

Fiqih Hadis

Menshalati jenazah pelaku dosa merupakan persoalan yang hangat dibicarakan ulama sejak dulu. Baik di lingkungan ahli ilmu kalam maupun ahli fikih. Terdapat beberapa riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi enggan melakukan shalat jenazah. Seperti dalam kasus bunuh diri yang dilakukan seorang sahabatnya, kemudian ketika seorang sahabat mati dalam keadaan meninggalkan hutang, dan berikutnya saat seorang tentara muslim menggelapkan harta rampasan.

Beberapa penyusun kitab hadis membuat bab khusus tentang anjuran agar pemimpin tidak melakukan shalat jenazah atas beberapa orang dalam kasus-kasus tertentu. Terkait jenazah orang yang mati bunuh diri, Umar bin Abdul Aziz dan al-Auza’i berpendapat bahwa mereka tidak boleh dishalati karenda kedurhakaan mereka. Sedangkan kebanyakan ulama, seperti al-Hasan, al-Nakha’I, Qatadah, Malik Abu Hanifah dan al-Syafi’I berpendapat bahwa mereka tetap harus dishalati. Apa yang dilakukan Nabi bertujuan untuk menjerakan agar masyarakat tidak mengikuti perilaku orang bunuh diri tersebut.

Menurut al-Qadhi Iyadh, seluruh ulama berpendapat bahwa setiap muslim baik yang mati karena dipancung atau dirajam, mati bunuh diri dan anak hasil zina harus dishalati. Secara khusus untuk orang yang mati dipancung, imam Malik memfatwakan pemimpin negara tidak boleh menshalati dan orang-orang mulia dari suatu komunitas hendaknya tidak menshalati jenazah pelaku maksiat. Tujuannya untuk menjerakan mereka yang masih melakukan.5

Sedangkan terkait dengan pelaku penggelapan harta seperti disinggung hadis di atas, jelas bahwa alasan Nabi enggan menshalati jenazah tentara tersebut adalah penggelapan harta rampasan yang bukan haknya. Ibnu Abdil Barr dalam al-Tamhid menyatakan bahwa terdapat tujuan dalam kebijakan tersebut. Pertama, menjerakan orang-orang yang masih hidup agar tidak melakukan perbuatan serupa dan agar mereka yang masih melakukan segera menyudahinya. Kedua, sebagai sanksi bagi jenazah. Karena, shalat jenazah merupakan ekspresi kasih terhadap orang yang telah meninggal. Jika itu tidak dilakukan, berarti ada kemungkinan orang tersebut tidak dikasihi atau dikasihi hanya saja tidak ditampakkan oleh Nabi. Tentu hal ini kembali kepada yang hidup agar tidak meniru perilaku korup tersebut.6

Ulasan di atas menunjukkan kepada kita bahwa ibadah murni seperti shalat jenazah ternyata dapat digunakan untuk tujuan kontrol sosial. Di mana pelaku dosa [besar] dapat dikenakan sanksi tidak dishalati sebagaimana layaknya jenazah muslim. Menurut Abu Bakr bin Muhammad Syatha al-Dimyathi hikmah tidak dis

Kontekstualisasi

Indonesia dengan populasi muslim terbesar, mempunyai problem akut terkait penegakan hukum, kemiskinan, dan korupsi yang mengakar. Keyakinan religius sepertinya belum sepenuhnya menyentuh relung-relung hati para pelakunya. Sehingga penyadaran yang terus-menerus dalam hal ini sangat diperlukan. Nabi pernah memiliki cara yang jitu dalam menyelesaikan problem penyelewengan keuangan publik. Di antaranya adalah sanksi sosial berupa tidak dihormati ketika meninggal. Padahal, siapa yang tidak ingin didoakan oleh Nabi?

Shalat jenazah, seperti dikatakan oleh Abu Bakr bin Muhammad Syatha, merupakan cara menghormati [takzim] kepada yang telah meninggal. Karenanya, orang yang mati syahid tidak perlu dishalati. Juga darah mereka tidak perlu dibersihkan. Penghormatan ketika telah meninggal sebenarnya bisa saja inti yang diinginkan oleh Nabi, tapi ini sebagai pelajaran bagi yang masih hidup agar tidak meniru perilaku sang jenazah.

Menurut sebagian ulama, boleh tidak menshalati jenazah pelaku korupsi. Mengikuti fatwa imam Malik, bahwa hendaknya orang-orang terhormat, mulia, sesepuh-sesepuh, tidak perlu menshalati jenazah mereka. Ini tentu sebaggai pelajaran bagi yang lain. Jika demikian adanya, yang bakalan malu bukannya si mayat, tapi keluarganya.

 

Penutup

  1. Nabi enggan menshalati jenazah pasukan yang meninggal dalam keadaan korup.
  2. Sebagian ulama berpendapat bagi orang terhormat dan disegani masyarakat diperbolehkan tidak menshalati jenazah koruptor dan ahli maksiat sebagai pelajaran bagi yang lain.
  3. Ibadah shalat memiliki fungsi sosial di antaranya sebagai penjera bagi pelaku korupsi.

 

Oleh: M. Syafi’i  (Alumni Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences)

 

Catatan:

1Sulaiman bin al-Asy’ats al-Sijistani, Sunan Abi Dawud, Beirut: Dar al-Fikr, juz 2, hlm. 421

2Ibnu Faris, Maqayis al-Lughah, Maktabah Syamilah, hlm. 302

3Ibnu Manzhur, Lisan al-Arab, Maktabah Syamilah,  hlm. 319, juz 11

4Ibnu Faris, Maqayis al-Lughah, Maktabah Syamilah, hlm. 376, dan Ibnu Manzhur, Lisan al-Arab, hlm. 325

5Tuhfat al-Ahwadzi, hlm. 131 Juz 3

6Ibnu Abdil Barr, al-Tamhid, juz 23, hlm. 287