Bolehkan Meniup Makanan Atau Minuman Yang Masih Panas?
Meniup makanan merupakan hal yang biasa dilakukan orang-orang ketika makan atau minum sesuatu yang panas dengan tujuan supaya makanan tersebut cepat dingin atau bisa dibilang orang tersebut tidak sabar menunggu untuk memakannya. Hal ini sering dilakukan ketika seseorang ingin menyantap makanan yang panas seperti mie rebus, sop, bubur, bakso, minum teh atau kopi,dan lain-lain. Seorang ibu ketika hendak menyuapi anak-anaknya pun sering meniupkan makanannya terlebih dahulu.
Lantas bagaimana hadis Rasulullah menyikapi kebiasaan ini? Dan bagaimana tinjauan ilmiahnya?
Meninggalkan makanan yang panas dan menunggu sampai makanan itu dingin merupakan sunah. Rasulullah Saw melarang meniup makanan yang masih panas, sebagaimana dalam sebuah hadis:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ : أُتِىَ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم يَوْمًا بِطَعَامٍ سُخْنٍ فَقَالَ : مَا دَخَلَ بَطْنِى طَعَامٌ سُخْنٌ مُنْذُ كَذَا وَكَذَا قَبْلَ الْيَوْمِ . (رواه البيهقي)
Abu Hurairah berkata: “Pada suatu hari Nabi saw dihidangkan sebuah makanan yang masih panas, lalu beliau berkata: tidak akan masuk ke dalam perutku sejak saat ini dan sebelumnya”. (HR. Al-Baihaqi)
Hukum hadis tersebut shahih karena semua perawinya tsiqoh dan hadisnya bisa diamalakan serta dijadikan hujjah.
Dalam riwayat lain Ibnu Abbas berkata:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلمعَنِ النَّفْخِ فِى الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ. (رواه أحمد)
Ibnu Abbas berkata: “Rasulullah melarang untuk meniup makanan dan minuman”. (H.R. Ahmad)
Pada masa sahabat tidak ada seorang pun yang bertanya tentang alasan Rasulullah melarang meniup makanan atau minuman yang panas. Mereka senantiasa membenarkan dan mematuhi Rasulullah saw tanpa menelitinya karena mereka mempercayai Rasulullah saw dan tidak perlu mempertanyakan sabda Rasulullah saw atau berusaha mengkritisinya.
Penelitian ilmiah pun bermula seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga larangan Rasulullah Saw dalam hadis tersebut pun dapat dibuktikan secara ilmiah. Meniup makanan atau minuman yang panas ternyata dapat membahayakan kesehatan, sebab udara yang keluar melalui tiupan merupakan udara yang telah rusak.
Udara yang dihembuskan melalui mulut ternyata mengandung karbon dioksida (CO2). Senyawa karbon dioksida (CO2) yang bertemu (bercampur) dengan uap air (H2O) akan menjadi H2CO3 yang merupakan senyawa asam karbonat yang berfungsi mengatur tingkat keasaman di dalam darah.
Mengosumsi makanan atau minuman yang mengandung senyawa tersebut bisa membuat keasaman dalam darah meningkat. Jika kadar keasaman dalam tubuh meningkat maka seseorang akan berada dalam kondidi asidosis (kehilangan alkali dalam darah dan jaringan tubuh).
Selain itu, dampak negatif lainnya dari meniup makanan atau minuman yang masih panas juga kemungkinan terkena bakteri helicobacter pylori yang banyak menyebar melalui pernafasan. Bakteri ini bisa menyebabkan perdangan pada lapisan lambung dan juga merupakan penyebab dari ulcers (borok) di seluruh dunia.
Penyebaran virus, bakteri dan partikel berbahaya di dalam mulut pun juga dapat menjadi faktor berbahayanya meniup makanan dan minuman. Sisa-sisa makanan yang ada di dalam mulut bisa membusuk dan menyebabkan bau mulut yang tidak sedap. Bau ini apabila ditiupkan ke dalam air panas akan menempel dan sangat tidak baik jika diminum.
Hadis Rasulullah Saw tersebut bukan merupakan larangan secara mutlak, tetapi hukumnya adalah makruh. Jadi, boleh saja kita meniup makanan atau minuman yang masih panas, namun alangkah baiknya kita menunggunya beberapa menit sampai dingin untuk menjaga kesehatan kita. Hal ini juga dapat melatih kesabaran kita supaya lebih bersabar dan tidak terburu-buru atau tergesa-gesa saat menikmati makanan atau minuman. Rasulullah Saw bersabda:
عَنْ أَنَسٍ عَنْ رَسُوْلِ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم أَنَّهُ قَالَ : التَّأَنِّيْ مِنَ اللهِ وَالعَجَلَةُ مِنَ الشَّيْطَانِ (رواه البيهقي)
Artinya:Anas bin Malik dariRasulullah, bahwabeliauberkata: “Ketenangan datangnya dari Allah Swt, sedangkan tergesa-gesa datangnya dari setan”. (H.R. Al-Baihaqi)
Wallahu a’lam bissawab