Majalahnabawi.com – Kiai adalah orang tua bagi seluruh santri yang ada di bawah asuhannya. Sebagaimana orang tua yang mengasihi semua anaknya, begitu pula seorang kiai mengasihi dan menyayangi seluruh santrinya tanpa terkecuali. Tidak memandang berbagai macam latar belakang ataupun kelakuannya, bak seorang ibu, kasih sayang seorang kiai kepada santrinya pun berlaku tak terhingga sepanjang masa.

Kiai bukanlah gelar yang disematkan pada orang yang telah menempuh pendidikan “kiai” di salah satu lembaga seperti para sarjana. Kiai merupakan tugas mulia yang diberikan oleh masyarakat dan lingkungan kepada siapapun yang memiliki kedalaman akan ilmu agama serta mampu berinteraksi sosial dengan masyarakat untuk membimbingnya.

Maka pantaslah bagi kita menyebutkan bahwa para kiai juga termasuk dalam golongan mujahid fii sabilillah karena perilakunya. Hal ini disandarkan dari pendapat Ibn al-Jauzi dalam menafsirkan ayat 78 surat al-Hajj, menurut beliau jihad itu ada tiga. Pertama, melakukan segala bentuk ketaatan. Kedua, jihad memerangi orang kafir. Ketiga, Jihad melawan hawa nafsu. Maka para kiai, yang mendidik satrinya dan membantu dalam mengentaskan kebodohan, dalam hal ini dapat masuk pada kategori ke satu dan tiga.

Tetap Hidup Meski Jasad Dikubur

Allah Swt pun menyebutkan salah satu keutamaan pada siapapun yang wafat di jalan Allah, dalam hal ini kiai dengan alasan di atas, dalam al-Quran surat al-Baqarah ayat 154:

وَلَا تَقُوْلُوْا لِمَنْ يُّقْتَلُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ أَمْوَاتٌۚ بَلْ أَحْيَآءٌ وَّلَٰكِنْ لَّا تَشْعُرُوْنَ

Artinya: Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.

Ulama berbeda pendapat mengenai makna ayat tersebut, ada yang berpendapat bahwa siapapun yang wafat di jalan Allah itu tetap hidup meskipun bukan kehidupan jismiyyah seperti kita yang masih hidup di dunia, tetapi dalam bentuk ruh. Hal ini didasari bahwa kenikmatan surga hanya bisa dirasakan bagi yang sudah terlepas dari alam jismiyyah/tubuh.

Jika kita berziarah ke makam KH. Romli Tamim, salah satu pengasuh Pondok Pesantren Darul Ulum, Jombang era kemerdekaan. Kita akan melihat ayat tersebut tertulis di tembok pintu masuk makam. Penulis memahami bahwa yang dikehendaki dari penulisan ayat tersebut adalah bahwa para kiai yang telah wafat masih tetap hidup bersama kita namun berada di alam yang lain.

Adalah penulis sendiri, seorang santri yang memercayai bahwa kiai akan selalu membimbing santrinya di manapun dan dalam keadaan apapun kiai itu berada, bahkan setelah wafatnya beliau. Tentu saja itu semua tetap atas izin dari Allah Yang Maha Kuasa.

Bimbingan Sang Guru dari Alam Lain

Berbicara tentang Darus-Sunnah, maka akan terlintas di otak santrinya bahwa kiai kami yaitu al-maghfur lahu KH. Ali Mustafa Yaqub. Penulis yang baru menempuh masa pendidikannya di Darus-Sunnah pada tahun 2019 sudah pasti tidak pernah bertemu langsung dengan beliau yang wafat pada tahun 2016.

Meskipun begitu, atas kepercayaan yang penulis anut, doa-doa selalu dihaturkan kepada beliau salah satunya dengan kegiatan yang juga dilakukan oleh santri madrasah Darus-Sunnah yang dikenal dengan istilah tahlilan.

Penulis yang saat ini sedang dalam proses pembuatan takhrij juga tidak lupa untuk melakukan kegiatan tahlil sebagaimana biasanya. Hingga saat itu pada hari Sabtu, 1 Oktober 2022 penulis melakukan tahlilan dan entah mengapa di salah satu kalimatnya penulis mengatakan, “Tegurlah kami apabila kami masih melenceng dari jalan yang diridai Allah dan Kiai.”

Sampailah pada waktu Seminar Proposal Takhrij pada tanggal 5 Oktober dan ternyata judul yang penulis ajukan sudah pernah diteliti sebelumnya. Padahal, penulis sudah mencari dengan sepenuh hati namun tak menemukan judul yang sama. Pikiran seolah buyar dan hati rasanya tak karuan, namun kembali tersenyum saat ingat bahwa penulis ingin ditegur apabila masih melenceng dari jalan yang diridai.

Mengapa penulis tersenyum seolah hal tersebut bukan suatu masalah? Tentu saja itu merupakan masalah, namun penulis merasa diperhatikan oleh Allah Swt dan Kiai, KH. Ali Mustafa Yaqub. Penulis yang merasa masih jauh dari kebaikan dan menginginkan untuk ditegur kemudian saat itu juga teguran itu tiba.

Mari Berjalan di Jalan Yang Allah dan Kiai Ridai

Penulis menerima apabila para pembaca menganggap penulis terlalu mengkorelasikan peristiwa satu dengan yang lain dan mungkin hanya suatu kebetulan. Namun bagi penulis, hal ini merupakan sesuatu yang membuat penulis yakini bahwa para orang yang dekat dengan Allah akan selalu mendapatkan tempat mulia di sisi-Nya yang juga masih bisa mengawasi kita, tentu alasan akan hal ini sudah penulis paparkan di atas.

Pelajaran yang dapat diambil adalah penulis mengajak bagi diri penulis sendiri dan para pembaca untuk kembali ke jalan-jalan yang diinginkan Kiai Ali lewat tuturan para santri yang bertemu beliau langsung. Tentu saja ini pengalaman pribadi penulis dan penulis tidak memaksakan harus memercayai ini juga. Semoga kita semua diberikan petunjuk dan kekuatan oleh Allah Swt dalam menjalankan amal-amal kebaikan.