http://majalahnabawi.com – Sahabat mungkin sedikit terkejut ketika melihat judul tulisan ini. Tapi memang demikianlah kenyataannya. Imam Syafi’i, seorang ulama besar yang pendapatnya diikuti oleh hampir seluruh umat muslim di Indonesia, ternyata memiliki pendapat “nyeleneh” terkait hukum menikahi putri kandung.

Tulisan ini akan menjelaskan landasan Imam Syafi’i ketika ia memperbolehkan seorang ayah menikahi putri kandungnya. Agar tak salah paham, sahabat harus membaca ini sampai tuntas. Kalau sedang tidak punya waktu banyak, sebaiknya tunda terlebih dahulu bacaan ini.

Jenis Perempuan Yang Haram Dinikahi

Menikah adalah bagian penting dari kehidupan manusia. Hampir seluruh manusia menginginkan adanya pernikahan. Oleh karena itu Allah Swt memberikan rambu-rambu khusus untuk mengatur pernikahan umat manusia. Salah satunya adalah tentang status perempuan yang boleh dinikahi. Rambu-rambu ini tertulis dalam al-Quran:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَٰتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَٰتُكُمْ وَعَمَّٰتُكُمْ وَخَٰلَٰتُكُمْ وَبَنَاتُ ٱلْأَخِ وَبَنَاتُ ٱلْأُخْتِ وَأُمَّهَٰتُكُمُ ٱلَّٰتِىٓ أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَٰتُكُم مِّنَ ٱلرَّضَٰعَةِ وَأُمَّهَٰتُ نِسَآئِكُمْ وَرَبَٰٓئِبُكُمُ ٱلَّٰتِى فِى حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ ٱلَّٰتِى دَخَلْتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمْ تَكُونُوا۟ دَخَلْتُم بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَٰٓئِلُ أَبْنَآئِكُمُ ٱلَّذِينَ مِنْ أَصْلَٰبِكُمْ وَأَن تَجْمَعُوا۟ بَيْنَ ٱلْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَّحِيمًا

Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anak perempuanmu, saudara-saudara perempuanmu, saudara-saudara perempuan ayahmu, saudara-saudara perempuan ibumu, anak-anak perempuan dari saudara laki-lakimu, anak-anak perempuan dari saudara perempuanmu, ibu yang menyusuimu, saudara-saudara perempuanmu sesusuan, ibu istri-istrimu (mertua), anak-anak perempuan dari istrimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu) dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum bercampur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), tidak berdosa bagimu (menikahinya), (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan (diharamkan pula) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali (kejadian pada masa) yang telah lampau. Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Nisa 4:23)

Melalui ayat ini Allah Swt menjelaskan kepada para lelaki terkait perempuan-perempuan yang haram mereka nikahi. Di antaranya ada yang sebabnya karena nasab, sepersusuan, dan mushaharah (hubungan menantu dan mertua). Berikut perinciannya.

Haram sebab hubungan nasab:
  1. Ibu kandung
  2. Anak perempuan
  3. Saudari perempuan
  4. Saudari ayah (ammah)
  5. Saudari ibu (kholah)
  6. Anak perempuan dari saudara laki-laki (keponakan)
  7. Anak perempuan dari saudara perempuan (keponakan)
Adapun yang haram sebab persusuan:
  1. Perempuan yang menyusui kita ketika bayi
  2. Saudara perempuan sepersusuan
Haram sebab mushaharah
  1. Ibu dari istri (mertua)
  2. Anak perempuan istri (anak Tiri)
  3. Istri dari anak laki-laki (menantu)

Selain perempuan-perempuan di atas, seorang laki-laki juga haram menikahi saudari perempuan dari istrinya dalam satu pernikahan. Semisal ada dua orang perempuan kakak beradik, maka seorang laki-laki tidak boleh menikahi keduanya.

Adapun maksud dari perkataan “dalam satu pernikahan”, yakni seorang laki-laki haram berpoligami dengan menikahi keduanya. Baik dalam waktu yang bersamaan atau pun tidak. Sehingga apabila seorang laki-laki menikahi seorang perempuan, kemudian perempuan itu meninggal lalu ia menikah lagi dengan saudari perempuan dari istrinya yang sudah meninggal itu, maka hal ini boleh saja.

Dalam ayat lain Allah Swt juga melarang laki-laki menikahi perempuan yang pernah dinikahi oleh ayah kandungnya. (QS. al-Nisa 4:22)

Pendapat Imam Syafi’i Tentang Kebolehan Laki-Laki Menikahi Putri Kandungnya

Imam Syafi’i memiliki pendapat menarik terkait ayat ini. Tepatnya saat beliau mengomentari kata وَبَنَاتُكُمۡ . Mayoritas ulama, seperti Imam Abu Hanifah (150 H), Imam Malik bin Anas (179 H), dan Imam Ahmad bin Hambal (241 H) berpendapat bahwa seorang laki-laki haram menikahi anak kandung perempuannya, meskipun anak perempuan itu terlahir dari perbuatan zina. Hal ini dikarenakan keumuman kata وَبَنَاتُكُم.

Berbeda dengan pendapat mayoritas ulama, Imam Syafi’i justru membolehkan seorang ayah menikahi anak kandungnya sendiri, apabila anak itu adalah hasil dari hubungan di luar pernikahan atau perzinaan. Alasan yang beliau kemukakan pun logis. Beliau menganalogikannya dengan kasus anak hasil zina dalam hukum waris dan pernikahan.

Allah Swt berfirman :

يُوصِيكُمُ ٱللَّهُ فِيٓ أَوۡلَٰدِكُمۡۖ لِلذَّكَرِ مِثۡلُ حَظِّ ٱلۡأُنثَيَيۡنِۚ

Allah menwasiatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. (QS. al-Nisa 4:11)

Telah menjadi kesepakatan dikalangan ulama bahwa kata أَوۡلَٰدِكُمۡ (anak-anak kalian), terkecualikan dari makna ayat ini; anak yang kafir, anak yang membunuh orang tuanya dan anak yang lahir dari perbuatan zina. Oleh karena itu, ketiga jenis anak ini tidak bisa mendapatkan harta warisan ayahnya. Sebagaimana yang para ahli ushul fikih telah menjelaskan.

Anak perempuan yang terlahir dari perbuatan zina, meskipun ia benar-benar anak dari ayahnya, hanya saja penisbatan itu hanya dibenarkan dari sudut pandang biologis. Sedangkan apabila ditinjau dari sudut pandang syar’i ia bukan anak dari ayahnya, sehingga ia tidak berhak mendapatkan warisan darinya.

Hal ini juga terjadi dalam hukum pernikahan. Seorang ayah tidak boleh menjadi wali nikah bagi anak perempuan yang ia hasilkan dari perbuatan zina, dan ia harus menyerahkan pernikahan anaknya kepada wali hakim. Rasulullah ﷺ bersabda :

فَالسُّلْطَانُ ‌وَلِيُّ ‌مَنْ ‌لَا ‌وَلِيَّ لَه

Penguasa (pejabat KUA) adalah wali bagi perempuan yang tidak memiliki wali.” (HR. al-Tirmidzi)

Kesimpulan

Imam Syafi’i sepertinya ingin membedakan hukum antara anak secara biologis dan anak secara syar’i. Sehingga kata وَبَنَاتُكُمۡ dan kata أَوۡلَٰدِكُمۡ pada ayat tentang pernikahan dan wasiat di atas berkonotasi pada pengertian anak secara syar’i. Sehingga muncul sebuah kesimpulan “sebagaimana anak perempuan hasil zina itu tidak mendapatkan warisan dari ayahnya, ia juga boleh dinikahi oleh ayahnya”.

Waallahu A’lam.

Informasi ini penulis dapatkan dari kitab Tafsir Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin al-Razi (606 H) dan Tafsir al-Quran al-‘Adzim karya Ibnu Katsir (884 H).