Mufassir Kekinian: Obesitas Penafsiran Liberalis
Majalahnabawi.com – Al-Quran menjadi sesuatu yang fundamental dalam Islam. Bagaimana tidak, ia adalah kitab suci sekaligus sumber hukum pertama dalam Islam. Untuk memahami al-Quran secara objektif, dibutuhkan penafsiran dari para ulama yang mumpuni dalam bidang tafsir, yang tentunya didukung oleh piranti-piranti ilmu yang lain.
Untuk menjadi seorang mufassir, tentu bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Dibutuhkan keahlian dan penguasaan berbagai macam fan ilmu untuk mendukung penafsiran. Kira-kira apa saja piranti-piranti yang dibutuhkan untuk menjadi seorang mufassir? Lalu bagaimanakah kira-kira hasil penafsiran kaum liberalis yang sempat menjadi trending topic dalam kajian keislaman, apakah diterima atau ditolak sepenuhnya? Hal ini bagi Penulis menjadi sesuatu yang cukup menarik untuk kita bahas di sini.
Syarat-Syarat Mufassir
Imam Jalaluddin al-Suyuthi dalam bukunya al-Itqan, menyebutkan cukup banyak persyaratan bagi siapa saja yang ingin menjadi mufassir. Syarat-syarat tersebut yaitu sebagai berikut:
- Ilmu Bahasa Arab, yang karenanya dia mengetahui makna kosakata dalam pengertian kebahasaan dan mengetahui pula yang musytarak.
- Ilmu Nahwu, karena makna dapat berubah akibat perubahan I’rab.
- Ilmu Sharaf, karena perubahan bentuk kata dapat mengakibatkan perbedaan makna.
- Pengetahuan tentang isytiqaq (akar kata). Karena dia menentukan makna kata, seperti kata al-Masih, apakah dari kata saha atau masaha.
- Ilmu al-Ma’aniy, yaitu ilmu yang berkaitan dengan susunan kalimat dari sisi pemaknaanya.
- Ilmu al-Bayan, yaitu ilmu yang berkaitan dengan perbedaan makna dari sisi kejelasan atau kesamarannya.
- Ilmu al-Badi, yaitu ilmu yang berkaitan dengan keindahan susunan kalimat.
- Ilmu al-Qira’at, yang dengannya dapat diketahui makna yang berbeda-beda sekaligus membantu dalam menetapkan salah satu dari aneka kemungkinan makna.
- Ilmu Ushuluddin, karena dalam al-Quran ada ayat-ayat yang lafadznya mengesankan kemustahilannya dinisbahkan kepada Allah.
- Ilmu Ushul al-Fiqh, yang merupakan landasan dalam menetapkan hukum yang dikandung oleh ayat.
- Asbab al-Nuzul, karena dengannya dapat diketahui konteks ayat guna kejelasan maknanya.
- Naskh dan Mansukh, yakni ayat-ayat yang telah dibatalkan hukumnya, sehingga dapat diketahui yang mana yang masih berlaku.
- Fikih/Hukum Islam.
- Hadis-hadis Nabi yang berkaitan dengan penafsiran ayat.
- Ilmu al-Mauhibah, yakni sesuatu yang dianugerahkan Allah kepada seseorang sehingga menjadikannya berpotensi menjadi mufassir. Itu bermula dari upaya membersihkan hati, meluruskan akidah, atau apa yang diistilahkan oleh sementara ulama dengan shihhah al-Aqidah (akidah yang lurus).
Dari kutipan di atas, kita menjadi lebih yakin ternyata jadi seorang mufassir itu tidaklah mudah. Tapi jika hanya menguasai beberapa fan ilmu saja, apakah seseorang boleh menafsirkan al-Quran? Sebetulnya yang paling fundamental dari lima belas syarat diatas, cuma ada tiga fan ilmu yang harus dikuasai, yaitu ilmu gramatikal bahasa arab, Asbab al-Nuzul dan Naskh wa Mansukh. Artinya, selama ia menguasai ketiga fan ilmu tersebut, ia sudah cukup untuk bisa menafsirkan al-Quran.
Tafsiran Nikah Beda Agama Persfektif Kaum Liberal
Kita tidak menafikan bahwa adakalanya pemahaman liberal itu ada baik dan benarnya juga. Tapi di sisi lain, dalam isu-isu tertentu adakanya paham mereka mengundang banyak kontroversi. Salah satu yang paling banyak diperbincangkan yaitu soal kebolehan nikah beda agama antara Muslim dan non-Muslim secara luas yang padahal secara nash al-Quran hal tersebut jelas-jelas dilarang.
Kaum liberal ini berargumen bahwa soal pernikahan laki-laki non-Muslim dengan wanita Muslim merupakan wilayah ijtihadi dan terikat dengan konteks tertentu, diantaranya konteks dakwah Islam pada saat itu. Yang mana jumlah umat Islam tidak sebesar saat ini, sehingga pernikahan antar agama merupakan sesuatu yang terlarang.
Karena kedudukannya sebagai hukum yang lahir atas proses ijtihad, maka menurut mereka amat dimungkinkan bila dicetuskan pendapat baru, bahwa wanita Muslim boleh menikah dengan laki-laki non-Muslim, atau pernikahan beda agama secara lebih luas amat diperbolehkan, apapun agama dan aliran kepercayaannya.
Di sini jelas bahwa mereka menghalalkan pernikahan beda agama secara mutlak. Bahkan mereka mengakui bahwa pendapatnya telah sesuai dengan semangat yang dibawa oleh al-Quran itu sendiri. Asumsi rasio mereka membolehkan pernikahan beda agama adalah atas dasar persamaan hak dan keberagamaan (pluralisme).
Bantahan dari Kiai Ali Mustafa Yaqub
Menurut Pak Kiai, permasalahan tersebut tidak bisa dimasukan ke dalam wilayah ijtihadi. Sebab dalil-dalil naqli-nya sudah jelas. Oleh karenanya dalam hal ini tidak ada ruang untuk berijtihad. Sehingga, asumsi rasio mereka terkait pluralisme tidak bisa dibenarkan.
Islam sendiri tidak mengajarkan pluralisme, Islam hanya mengakui adanya pluralitas agama. Pluralisme sendiri adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa kebenaran agama-agama itu relatif. Masing-masing agama tidak boleh mengklaim bahwa ajarannya saja yang benar, karena kebenaran mutlak adalah milik Tuhan.
Pada masa Nabi Saw, sudah ada yang namanya pluralitas agama, yaitu kenyataan bahwa warga jazirah Arab memeluk berbagai agama. Sama halnya dengan keadaan Indonesia sekarang ini, dimana warganya memeluk berbagai agama. Tetapi pada masa Nabi Saw tidak ada pluralisme agama.
Kebolehan Menikahi Ahli Kitab
Dalam nash, termaktub kebolehan laki-laki Muslim menikahi wanita ahli kitab, akan tetapi tidak sebaliknya wanita Muslimah menikah dengan laki-laki Muslim yang mana diperbolehkan oleh kalangan liberalis.
Menurut Pak Kiai Ali Mustafa, masalah pernikahan laki-laki Muslim dengan perempuan Ahli Kitab hanyalah suatu kebolehan saja, bukan anjuran apalagi perintah. Pada saat itu, kebolehan laki-laki Muslim menikahi wanita ahli kitab karena memang jumlah wanita Muslimah masih sedikit. Adapun konteksnya sekarang, jumlah wanita Muslimah sudah sedemikian banyak. Maka dengan sendirinya, kebolehan itu tidak berlaku lagi.
Hal ini justru diputarbalikan oleh kaum liberal. Mereka berasumsi bahwa konteks dakwah Islam pada saat tidak diperbolehkannya pria non-Muslim menikahi wanita Muslimah, karena kuantitas umat Islam tidak sebesar saat ini. Karenanya, ketika umat Islam sekarang sudah bertambah banyak, maka menurut mereka pernikahan beda agama secara luas diperbolehkan, apapun agama dan aliran kepercayaannya.
Siapa Ahli Kitab Itu?
Perlu pembaca ketahui, ada banyak persepsi tekait ahli kitab ini. Pada masa Rasulallah Saw dan Sahabat, term ahli kitab itu ditujukan kepada kaum Yahudi dan Nasrani. Kemudian pada masa tabi’in mengalami perkembangan, kaum Shabi’un juga termasuk ahli kitab yang membaca kitab Zabur.
Menurut Imam Abu Hanifah dan sebagian mazhab Hanbali berpendapat; siapapun yang mempercayai salah seorang Nabi, atau kitab yang diturunkan Alla, maka ia termasuk ahli kitab. Jadi tidak terbatas pada kelompok penganut Yahudi dan Nasrani saja.
Menurut Imam al-Syafi’i sendiri, istilah ahli kitab hanya menunjuk pada orang-orang Yahudi dan Nasrani dari keturunan Bani Isra’il. Dan pendapat ini yang dipake oleh fatwa MUI terkait keharaman seorang laki-laki Muslim menikahi wanita Kristen dan penganut agama-agama lain selain Islam.
Sementara al-Tabari memahami term ahli kitab secara ideologis. Menurutnya, mereka adalah para pemeluk agama Yahudi dan Nasrani dari keturunan siapapun mereka.