Konstruksi Sejarah 3 Periode Perkembangan Tafsir Al-Quran

Majalahnabawi.com – Konstruksi sejarah barangkali oleh sebagian orang dianggap menjadi sesuatu yang sia-sia untuk dipelajari dan dipahami. Alasannya bahwa masa lalu tidak berguna banyak untuk berinovasi lebih lanjut. Menurut mereka alangkah baiknya kita tidak perlu memandang jauh ke belakang untuk memahami suatu persoalan. Dengan melihat persoalan tertentu dalam masa terkait, agaknya lebih proporsional untuk kemudian diteliti sehingga bisa dihadirkan konsep dan jalan keluar yang lebih aplikatif.

Namun nyatanya banyak para cendikia dan intelektual muslim yang merasa perlu dan bahkan sangat perlu untuk mengkaji ulang konstruksi sejarah dan atau merekonstruksinya. Hal ini bertujuan untuk memahami konsep keilmuan secara komperhensif, terlebih menimbang dengan mengkaji masa lalu dalam artian sejarah awal muncul dan perkembangannya secara periodik, kita akan bisa memahami secara empatif keadaan pada masa itu.

Mulai dari bagaimana para cendikia dan intelek merumuskan jawaban atas suatu persoalan pada masa itu, sehingga kemudian kita bisa mengambil keuntungan berupa apa yang menjadi kelebihan dan kekurangan dari paradigma yang digunakan pada saat itu.

Di lain sisi kita juga kontruksi sejarah akan sangat berguna, karena bukan hanya satu masa saja yang diteliti, namun masa-masa atau fase-fase sejak awal muncul hingga kematangannya pun juga diteleti. Inilah yang penulis setujui bahwa konstruksi sejarah akan melahirkan kepada penelitinya pemahaman yang komperhensif, sehingga kemudian mampu merumuskan persoalan baru dengan matang dan konstruktif.

Dalam hal ini, berkaitan dengan konstruksi sejarah perkembangan tafsir al-Quran, al-Dzahabi dalam al-Tafsir wa al-Mufassirun menjelaskan bahwa secara periodik, perkembangan tafsir al-Quran terbagi dalam 3 masa; masa Nabi Muhammad Saw. dan para sahabat, masa tabi’in dan masa tadwin.

Perkembangan Tafsir

Pertama, perkembangan tafsir pada masa Nabi Muhammad Saw. dan para shahabat. Sebagaimana dikemukakan di atas, ulama berbeda pendapat mengenai apakah Nabi Muhammad Saw. menafsirkan al-Quran seluruhnya atau tidak. Salah satu ulama yang berpendapat bahwa Nabi Muhammad Saw. menafsirkan al-Quran secara keseluruhan ialah Ibnu Taymiyah dalam karyanya Muqaddimah fi Ushul at-Tafsir. Ia mengatakan bahwa perlu diketahui bahwasanya Rasulullah menjelaskan semua makna yang terkandung dalam al-Quran.

Lain hal ulama lainnya yang mengatakan bahwa Rasulullah hanya menjelaskan sebagian dari keseluruhan kandungan al-Quran. Demikian yang disampaikan salah satunya oleh as-Suyuthi dengan landasan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh al-Bazzar dari Siti ‘Aisyah.

Namun perlu dipahami bahwa penafsiran yang dilakukan oleh Nabi Muhammad dilihat dari sifat dan karakteristiknya adalah merupakan usaha penegasan makna (bayan at-tashrif) dan perincian makna (bayan at-tafshil). Dan jika dilihat dari tujuannya, penafsiran Nabi Muhammad cenderung kepada usaha pengarahan (bayan al-irsyad), penerapan (bayan at-tathbiq) dan atau koreksian atas penafsiran sahabat yang keliru (bayan at-tashhih).  Adapun ciri dari penafsiran Nabi Muhammad Saw. terhadap al-Quran adalah bahwa Nabi Muhammad menafsirkan al-Quran dengan al-Quran atau menafsirkannya melalui sunnahnya, di mana pemahaman yang didapat oleh Nabi tentu berasal dari wahyu Allah Swt.  sunnah tersebut dapat berupa qauliyah maupun fi’liyah.

Kala Nabi Muhammad Saw. masih hidup, para sahabat menjadikan Nabi sebagai sentral bertanya mereka jika menemukan hal-hal yang belum jelas bagi mereka dari al-Quran. Namun kemudian setelah Nabi Muhammad Saw. wafat, para sahabat sebagai penerus panji perjuangan dakwah Nabi, mereka dituntut mampu untuk menafsirkan al-Quran, terlebih para sahabat yang memang dikatakan mempunyai kapaibilitas sebagai penafsir al-Quran. Para sahabat yang masih menemukan kebingungan dalam memahami makna ayat al-Quran, kemudian bertanya kepada para sahabat lain yang berkapabilitas untuk menafsirkan al-Quran seperti Ibnu ‘Abbas, Ibnu Mas’ud, Abu Musa al-Asy’ari dan lainnya. 

Para sahabat ahli tafsir ini dikatakan mampu untuk menafsirkan al-Quran karena memang sejak Nabi Muhammad Saw. hidup, mereka lah yang selalu dekat dengan Nabi. Sehingga kala wahyu turun kepada Nabi Muhammad, mereka menyaksikan langsung kejadian tersebut dan mereka pun memahami apa dan bagaimana peristiwa yang melatar belakangi sebuah ayat al-Quran itu turun, sehingga maksud dan tujuan ayat pun mereka pahami di samping mereka paham ayat tersebut secara redaksional.  Pada akhirnya dari pemahaman yang matang tersebut, para sahabat ini kemudian mampu berijtihad dengan sendirinya untuk menjawab persoalan-persoalan baru yang muncul setelah Nabi wafat, tentu dengan merujuk kepada al-Quran, hadis Nabi serta asbabun nuzul ayat terkait. Beberapa sahabat ahli tafsir di antaranya ialah 4 khulafa ar-rasydin, Ibnu ‘Abbas, Ibnu Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubeir dan Abu Musa al-Asy’ari.

Penjelasan lebih detail dijelaskan oleh al-Dzahabi dalam at-Tafsir wa al-Mufassirun bahwa para sahabat memiliki karakteristik tersendiri dalam menafsirkan al-Quran yang terlihat dari bagaimana mereka menafsirkan al-Quran melalui langkah-langkah antara lain; a) Meneliti kandungan ayat-ayat al-Quran, apakah ayat tersebut ‘am atau khash, apakah ayat tersebut muthlaq atau muqayyad, serta apakah ayat tersebut umum atau khusus, b) Merujuk kepada penafsiran Nabi Muhammad Saw. berupa sunnah qauliyah dan atau sunnah fi’liyyah-nya, c) Berijtihad mandiri dengan ra’yu, jika memang tidak ditemukan jawaban pada al-Quran itu sendiri maupun penafsiran Nabi, d) Bertanya kepada ahli kitab berkaitan dengan isi al-Quran yang berbicara persoalan para nabi dan umat-umat terdahulu. 

Kedua, perkembangan tafsir periode tabi’in. Tabi’in merupakan generasi penerus panji perjuangan dakwah Nabi Muhammad Saw. setelah para sahabat telah tiada. Dikatakan tabi’in ialah mereka yang bermulazamah kepada seorang sahabat atau beberapa sahabat, baik frekuensi mulazamahnya lama ataupun sebentar. Di antara sekian ilmu yang diwariskan dari para sahabat kepada tabi’in, salah satunya adalah ilmu penafsiran al-Quran. Setidaknya karakteristik penafsiran al-Quran masa dapat dilihat dari sumber yang digunakan oleh mereka dalam menafsirkan, yakni; 1) al-Qur`an, 2) Hadis Nabi, 3) pendapat sahabat Nabi, 4) informasi dari ahli kitab, dan 5) ijtihad yang dapat dipertanggungjawabkan. 

Adapun karakteristik lain mengenai tafsir tabi’in ini disampaikan oleh Abdul Manaf dalam jurnalnya Sejarah Perkembangan Tafsir. Beliau memaparkan bahwa tafsir tabi’in memiliki karakteristik di antaranya; 1) pada masa ini tafsr belum terkodifikasi menjadi sebuah fan tersendiri, 2) tradisi tafsir masih bersifat hafalan dan melalui periwayatan, 3) mulai banyak masuk israiliyyat dalam tafsir al-Quran, 4) mulai banyak muncul perbedaan pendapat antara tabi’in sendiri dan antara tabi’in dengan sahabat, 5) tafsir al-Quran pada masa ini sudah terlihat corak-corak tersendirinya sesuai latar belakang keilmuan tabi’in penafsir terkait, dan 6) pada masa tabi’in ini juga sudah mulai berkeliaran perselisihan pendapat seputar ayat yang berkaitan dengan aqidah.  Hal yang sama juga dikemukakan oleh Ulin Nuha, bahwa tafsir al-Quran pada masa tabi’in cenderung lebih banyak bila dibandingkan masa sahabat Nabi. Hanya saja pada masa tabi’in ini sudah mulai banyak infiltrasi oleh riwayat palsu dan israiliyat dan sifat tafsir pada masa tabi’in ini juga cenderung ke arah penafsiran sekterianis atau apologis, walaupun penafsiran mereka masih disampaikan secara oral sebagaimana pada masa sahabat.

Berkaitan dengan penafsiran al-Qur`an pada masa tabi’in ini, Syeikh Ali ash-Shabuni memberi klasifikasi atas tokoh penafsirnya. Beliau menyatakan bahwa penafsir pada masa tabi’in terbagi ke dalam 3 thabaqah; thabaqah Mekkah, thabaqah Madinah, thabaqah Irak.  Di antara ketiga thabaqah ini, masing-masing memiliki muara keilmuan tafsir tersendiri dari sahabat Nabi tertentu. Thabaqah Mekkah dengan tokoh-tokohnya yang masyhur antara lain; Mujahid bin Jabir (w. 104 H.), ‘Atha ibn Abi Rabi’ah (w. 114 H.), ‘Ikrimah maula Ibnu ‘Abbas (w. 106 H.), Sa’id bin Jubair (w. 96 H.) dan Thaus bin Kaisan, di mana mereka semua ini merupakan murid dari sahabat Nabi Ibnu ‘Abbas ra. Kemudian thabaqah Madinah dengan tokoh-tokohnya yang masyhur antara lain; Zaid bin Aslam (w. 136 H.), Abu al-‘Aliyah (w. 93 H.), Muhammad bin Ka’ab al-Qurazhi (w. 108 H.), di mana mereka merupakan murid dari seorang sahabat Nabi Ubay bin Ka’ab ra. Serta thabaqah Irak, tepatnya di wilayah Kuffah dengan tokoh-tokohnya yang masyhur antara lain; ‘Alqamah ibn Qais (w. 62 H.), Abu ‘Amr al-Hamadani asy-Sya’bi (w. 103 H.), al-Aswad bin Yazid , Hasan al-Bashri, Ibrahim an-Nakha’I (w. 96 H.) dan Qatadah, di mana mereka ini merupakan murid dari seorang sahabat Nabi Ibnu Mas’ud ra.

Ketiga, perkembangan tafsir al-Quran pada masa kodifikasi tafsir. Awalnya tafsir al-Quran masih terhimpun dalam kitab-kitab hadis, terlebih bahwa sejatinya masa setelah shahabat Nabi dan setelah tabi’in ini merupakan masa pembukuan hadis. Dimulai dar kesadaran akan usaha mengklasifikasi hadis-hadis ke dalam satu muara tema tertentu yang baru muncul pada masa awal Dinasti Abbasiyah. Sehingganya dengan sebab ini kemudian subtema mengenai tafsir al-Qur`an hadir dalam kitab hadis, sebagaimana yang lumrah kita temui misalnya dalam kitab hadis Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim.  Masa ini terus berlangsung hingga kemudian lahir kesadaran untuk mengumpulkan pembahasan tafsir ke dalam sebuah studi tersendiri. Masa pengumpulan dan pemisahan ini kemudian dinamai dengan istilah fase tashnif. Dikatakan bahwa pada fase ini para penafsir al-Qur`an lebih mengedepankan tafsir bi al-ma’tsur atau bi ar-riwayah.  Di antara tokoh mufassir pada fase ini antara lain: Ibnu Jarir ath-Thabari (w. 310 H.), Abu Bakar al-Munzir an-Naisaburi (W. 318 H.), Ibnu Abi Hatim (w. 327 H.) dan lainnya, di mana para mufassir ini menggunakan tafsir bi al-ma’tsur dengan mengambil riwayat penafsiran dari Nabi Saw., para sahabat, tabi’in, serta mengambil pula dari tabi’ tabi’in.

Setelah berangsur-angsur ulama tafsir merangkai keseluruhan sanad bi al-ma’tsur untuk menafsirkan sebuah ayat, masuk fase berikutnya yang dinamai dengan fase peringkasan sanad riwayat tafsir. Pada fase ini penafsiran al-Quran masih mengedepankan tafsir bi al-ma;tsur, walaupun riwayat-riwayat tersebut masih tercampur antara yang shahih dan dha’if bahkan maudhu’. Oleh sebab ini beberapa ulama kemudian berpikir bahwa kiranya perlu untuk memotong sanad dan mengambil maknanya saja. Pada fase ini juga makin berkeliaran ijtihad-ijtihad baru dalam menafsirkan al-Quran sehingga melahirkan suatu metode tafsir baru yang mengarah kepada tafsir bi ar-ra`yi, serta banyak dari ulama tafsir pada fase ini bersentuhan dengan riwayat israiliyyat.

Fase peringkasan sanad telah dilalui, kemudian perkembangan tafsir al-Qur`an pada masa kodifikasi ini memasuki fase kematangan, dalam artian penafsiran al-Qur`an sudah berkembang sedemikian dan membuka pintu lebar akan tafsir bi al-ra`yi. Penafsiran pada fase ini dikatakan lebih banyak menggunakan rasio. Hal ini tidak lain disebabkan karena perluasan wilayah Islam dan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan Islam seperti disiplin ilmu fikih, ilmu hadis dan ilmu kalam.  Maka lahirnya selanjutnya para mufassir seperti; al-Zamakhsyari (w. 528 H.), al-Wahidi (w. 468 H.), ats-Tsa’labi (w. 427 H.), al-Razi (w. 610 h.) dan lainnya, di mana masing-masing mufassir ini memiliki corak dan latar belakang pemikiran tersendiri, sehingga menambah kekayaan khazanah ilmu tafsir al-Quran dengan coraknya yang berbeda-beda.

Fase berikutnya adalah fase kontemporer hingga saat ini. Pada fase ini perkembangan tafsir al-Qur`an lebih terkesan ke arah modernisasi Islam yang muara bangkitnya dilakukan di Mesir. Dimulai oleh Jamaluddin al-Afghani (w. 1315 H.) yang melakukan gerakan modernisasi Islam dan melahirkan beberapa tokoh modernis Islam di antaranya Muhammad Abduh (w. 1323 H.) dan Rasyid Ridho (w. 1354 H.), di mana kedua orang ini menghasilkan sebuah karya tafsir al-Qur`an yakni Tafsir al-Manar. Dari tafsir al-Manar ini kemudian menjadi pengaruh besar bagi banyak karya tafsir al-Qur`an pada fase kontemporer ini, beberapa di antaranya seperti Tafsir al-Jawahir karya Tanthawi Jauhari, Tafsir al-Maraghi dan lainnya.

Di saat yang sama ulama di Indonesia juga sudah mulai gencar menghasilkan karya tafsir al-Quran, baik hanya berupa terjemahan hingga penafsiran utuh 30 juz. Di antara banyak karya tafsir momumental yang dikarang oleh ulama Nusantara adalah Faidhurrahman fi Tarjamati Kalam Malik ad-Dayyan karya Kiai Sholeh Darat, Tafsir al-Ibriz karya KH. Bisri Mushtafa, Tajul Muslimin karya KH. Misbah Zainul Mushtafa, Tafsir al-Nur dan Tafsir al-Bayan yang keduanya dikarang oleh Hasbi ash-Shiddiqi, Tafsir al-Azhar karya Buya Hamka, Tafsir al-Mishbah karya M. Quraisy Shihab, hingga al-Quran dan Tafsirnya yang dihasilkan oleh Kementrian Agama Republik Indonesia.

Similar Posts